Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rosalina Omega
All We Imagined as Light (IMDb)

Apakah Anda pernah merasakan pesona film yang diangkat dari festival bergengsi? All We Imagine as Light adalah salah satunya, dipuji setinggi langit di berbagai festival termasuk Cannes, dan berhasil meraih dua nominasi di ajang Golden Globe yang akan datang. 

Disutradarai oleh Payal Kapadia, sineas perempuan asal India, film ini merupakan produksi patungan dari berbagai studio di India, Perancis, Italia, dan Belanda. 

Dengan segudang pujian, apa sebenarnya kekuatan film ini? Beruntung, film ini sempat diputar di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2024 baru-baru ini.

Sinopsis All We Imagined as Light

Film ini mengisahkan tentang Prabha (Kani Kusruti) dan Anu (Divya Prabha), dua perawat yang mencoba mengadu nasib di Mumbai. Keduanya menjalani hidup seadanya di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur. 

Prabha, seorang istri yang kesepian karena suaminya bekerja di Jerman tanpa kabar jelas, berbeda dengan Anu, perempuan muda yang bebas dan berhubungan dengan Shiaz, seorang lelaki muslim. 

Prabha juga dekat dengan Parvaty (Chhaya Kadam), yang rumahnya akan digusur untuk dijadikan apartemen mewah. Plot film ini berfokus pada rutinitas harian yang diwarnai masalah personal dan tekanan sosial di sekitar mereka.

Ulasan Film All We Imagined as Light

Seperti kebanyakan film berorientasi festival, All We Imagine as Light bukan untuk tontonan awam, melainkan untuk penikmat film kelas kakap atau cinephile. 

Plotnya tidak secara gamblang bisa dipahami, terlebih pesan yang disampaikan melalui pendekatan visual yang tidak biasa. 

Menonton film ini mengingatkan pada gaya "French New Wave" yang bermain dengan elemen sinematik dan spontanitas. Sisanya adalah gaya bertutur dan pilihan visual dari Kapadia sendiri yang telah tampak pada film-film pendeknya.

Penikmat yang mengenal film-film ikonik French New Wave, seperti 400 Blows, Bande à Part, Breathless, hingga Cleo from 5 to 7, akan memahami kesamaannya. 

All We Imagine seolah memindahkan suasana Paris yang eksotis ke Mumbai. Film ini mendominasi suasana Mumbai dengan jalanan kota yang kumuh dan riuh, pasar, jembatan, hingga kereta api. 

Gaya kamera "kasar" (handheld) dengan tone warna soft dan efek grainy sering kali mengikuti tokoh-tokohnya dengan gaya "candid".

Aksi dan polah tokohnya, terutama Anu, mengingatkan pada tokoh protagonis French New Wave yang spontan dan konyol. Mulai dari mengikuti gerak patung di akuarium, berkomentar tentang foto-foto pria di medsos, hingga berdansa bersama Parvaty. 

Aksi "humor" melempar batu ke poster raksasa yang dilakukan Prabha dan Parvaty adalah salah satu selipan kecil. Aroma French New Wave semakin terasa dengan alunan piano jazz yang mengiringi beberapa momennya. 

Beberapa elemen estetik, seperti penggunaan teks chat hingga suara dialog yang terdengar sebelum adegan muncul, memiliki spirit yang sama.

Rasa penasaran membuat saya menonton empat film pendek karya Kapadia di kanal YouTube, yakni Watermelon, Fish and Half Ghost, The Last Mango before the Monsoon, Afternoon Clouds, dan What is the Summer Saying. 

Gaya penuturan dan estetik film-film pendek ini kontras dengan gaya "new wave" di atas, yakni menyajikan komposisi gambar terukur, set gelap, plot lambat, serta nuansa mistik yang kental. 

Elemen-elemen ini juga dijumpai dalam segmen kedua All We Imagined, yang berpindah ke desa asal Parvaty yang senyap, kontras dengan Mumbai yang ingar bingar.

Didominasi suara deburan ombak dan bising serangga malam, segmen paruh kedua menjadi unjuk kemampuan Kapadia yang sudah menjadi tradisi dalam film-film pendeknya. 

Suasana hutan dengan nuansa suramnya, serta shot panjang dengan ambience kuat suara serangga hutan, makin dieksplorasi. 

Ini terlihat pada adegan intim antara Anu dan Shiaz hingga Prabha dengan "sang suami" yang menggunakan extreme close-up. 

Aksi sureal antara Prabha dan "suami" imajinasinya juga telah dieksplorasi Kapadia dalam beberapa film pendeknya, termasuk simbol dan tulisan di gua tepi pantai.

Pendekatan estetik "French New Wave" yang berpadu dengan gaya personal Kapadia menjadikan All We Imagined as Light sebagai karya unik berkelas dengan tema sosial dan perempuan yang menohok. 

Kapadia mampu memperlihatkan keterasingan dan jarak antara protagonis dengan laki-laki serta lingkungan sekitarnya. Aksi memeluk mesin rice cooker adalah salah satu contoh brilian. 

Walau All We Imagine lebih tegas dan gamblang dibanding film-film pendeknya yang absurd, ini justru mampu menyelipkan pesan sosial dan tema perempuan lebih efektif.

Ending yang manis dan menyentuh diiringi suara debur ombak dan lampu kafe yang berkelipan, menunjukkan bagaimana para protagonis mampu berdamai dengan diri dan semesta. 

Tak diragukan, Payal Kapadia adalah sineas bertalenta tinggi yang mampu membawa lokalitas dan isu universal dengan kemasan estetik yang sangat berkelas.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Rosalina Omega