Series Nightmares and Daydreams besutan Joko Anwar saat ini menjadi perbincangan hangat oleh para sinefil. Series yang tayang di Netflix sejak 14 Juni 2024, dan dengan gaya khas sang sutradara, Joko Anwar kembali menyuguhkan isu sosial dalam episode dua yang bertajuk: The Orphan.
Episode kedua dibintangi Nirina Zubir dan Yoga Pratama sebagai pasutri yang hidup dalam kemiskinan. Mereka hidup di ‘tempat pembuangan akhir sampah’ sebagai pemulung. Suatu ketika, mereka yang pernah punya anak, tapi anaknya meninggal pas masih kecil, kembali berkeinginan punya anak dengan niat tertentu. Ya, mereka berniat punya anak hanya demi jadi kaya raya di dunia dalam hitungan hari dengan merawat anak setan.
Suatu ketika saat informasi anak setan telah diyakini kebenarannya dan usai paham dengan konsekuensinya, mereka benar-benar mengadopsi anak itu dari yayasan yatim piatu. Anak itu memang memiliki kemampuan luar biasa untuk membawa kekayaan dalam waktu enam hari. Kekuatan yang nggak bisa ditakar oleh logika. Dalam hitungan hari mereka jadi punya segalanya. Namun, di balik berkah kekayaan, ada ancaman besar yang dipercayai tiba di hari ketujuh berupa kematian. Kematian seperti apa yang akan menimpa mereka? Tonton saja sendiri, masa diungkap di sini. Eh.
Ulasan:
Episode kedua dibuka dengan proses pemandian jenazah lalu beralih pada pemandangan kehidupan sehari-hari yang penuh kesulitan sepasang pasutri.
Secara naratif, episode dua, “The Orphan”, berhasil menyampaikan pesan tentang ketamakan dan konsekuensi dari mencari jalan pintas untuk meraih kekayaan. Joko Anwar tampaknya menggunakan kisah ini untuk mengingatkan pada penonton, bahwa segala sesuatu yang tampak terlalu baik untuk menjadi kenyataan biasanya dimulai dan diakhiri dengan hal-hal buruk.
Yang aku suka dari “The Orphan”, jelas penyajian lokasi yang tampak sangat realistis—berlatar sebuah tempat pembuangan sampah. Hal demikian terjadi mungkin karena syuting dilakukan di tempat sungguhan ya. Penampilan karakter-karakter utama, dirancang dengan begitu detail selayaknya orang-orang di lingkungan itu.
Namun demikian, ada beberapa aspek dari kehidupan di pinggiran yang mungkin nggak terlalu dalam dijelaskan, seperti perilaku sehari-hari yang sebenarnya dari penduduk lokal. Soalnya hanya fokus ke dua tokoh utama saja, dan sangat sedikit sekali interaksi karakter utama dengan orang-orang sekitar.
Memang, akhir episode ini mencapai klimaksnya dengan sebuah ending yang mengejutkan, yang menjawab misteri ‘cara dari luka di punggung yang menyebabkan kematian seseorang di pembukaan episode ini’. Sayangnya, alih-alih itu adegan yang sangat plot twist, justru timbul pertanyaan, “Mengapa harus berakhir dengan tragedi itu?”
Dari pertanyaan itu, aku jadi berpikir cukup ekstra dari episode ini, terkait dinamika cinta antara si istri dengan anak angkatnya. Dalam hitungan hari, rasa kasih sayang yang tumbuh di antara mereka mengungkapkan pertanyaan filosofis tentang cinta dan keterikatan. Apakah cinta seorang ibu angkat bisa lebih besar daripada cinta kepada suami yang telah hidup bersamanya bertahun-tahun?
Asli, aku merasa, pembatasan plot dalam hitungan tujuh hari untuk menggambarkan perkembangan perasaan karakternya, buatku terasa terlalu maksa dan kurang natural. Perkembangan emosi jadi terkesan mendadak, meskipun mencoba untuk diberi alasan, cuma nggak sepenuhnya terasa konsisten buatku.
Namun, yang jelas, “The Orphan” masih menawarkan pengalaman nonton yang menyentuh hati dengan kejutan dan refleksi sosialnya. Kamu sudah nonton, kan? Jangan sampai terlewatkan ya. Seru deh, tiap-tiap episodenya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.