Hikmawan Firdaus | A Ratna Sofia S
Leony Trio Kwek Kwek (Instagram/leonyvh)
A Ratna Sofia S

Leony Vitria, mantan personel Trio Kwek-Kwek, kembali menyita perhatian publik setelah melontarkan kritik pedas terhadap Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Pemkot Tangsel). Ia menyoroti anggaran alat tulis kantor (ATK) Pemkot Tangsel yang mencapai Rp38 miliar per tahun.

Melalui unggahan di media sosial, Leony menyindir jumlah anggaran tersebut dengan nada sarkastis. Ia mempertanyakan apakah dana sebesar itu benar-benar hanya untuk membeli alat tulis kantor atau justru sampai membeli pabriknya.

Kritik Leony pun langsung viral dan memicu diskusi hangat di kalangan warganet mengenai transparansi serta prioritas anggaran pemerintah daerah.

Tak hanya itu, Leony juga membandingkan besarnya anggaran ATK dengan bantuan sosial (bansos) untuk warga miskin di Tangsel.

Dari laporan resmi yang dipostingnya, bantuan sosial hanya berjumlah Rp136 juta untuk 43 ribu penduduk miskin, atau sekitar Rp3.148 per orang per tahun, yang disebut Leony hanya cukup membeli satu bungkus mi instan.

Rincian Anggaran ATK Rp38 Miliar

Leony juga menyoroti alokasi Rp6 miliar yang hanya digunakan untuk kertas dan cover. Dalam salah satu unggahannya ia menuliskan, "Beli alat tulis kantor 38 miliar? Terus kertas, ada lagi sendiri, 6,7 miliar," tanya Leony dengan nada heran, seperti dikutip dari Suara.com pada Senin (29/09/2025).

Selain anggaran ATK, Leony menyinggung pos lain yang dinilai tak masuk akal, seperti perjalanan dinas sebesar Rp117 miliar, suvenir Rp20 miliar, dan konsumsi rapat Rp60 miliar.

Sementara itu, anggaran pemeliharaan jalan hanya Rp731 juta, jumlah yang dianggap terlalu kecil dibanding kebutuhan infrastruktur.

Menanggapi sorotan publik, Wali Kota Tangsel Benyamin Davnie menjelaskan detail penggunaan anggaran tersebut. Dari Rp38 miliar, Rp21,6 miliar dialokasikan untuk 37 perangkat daerah di lingkungan Pemkot Tangsel. Sedangkan Rp16,4 miliar berasal dari dana BOS pusat yang langsung dipakai sekolah-sekolah.

Ia juga menegaskan, anggaran itu tidak hanya untuk membeli kertas dan pulpen, tetapi juga mencakup kebutuhan cetakan dan formulir untuk berbagai layanan publik.

Mulai dari formulir pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dokumen kependudukan seperti KTP dan KK, resep di Dinas Kesehatan, hingga cetakan layanan pasien di rumah sakit daerah.

Dengan demikian, menurut Benyamin, angka Rp38 miliar adalah kebutuhan kolektif satu tahun untuk seluruh perangkat daerah. Dinas teknis pun memanfaatkannya, misalnya Dinas Pendapatan untuk cetakan pajak, Dinas Dukcapil untuk dokumen identitas, serta rumah sakit untuk formulir medis pasien.

Meski begitu, publik tetap menilai angka tersebut terlalu besar. Banyak yang mendukung sikap kritis Leony karena dinilai membantu membuka mata masyarakat terhadap penggunaan uang negara.

Leony sendiri menekankan bahwa kritiknya bukan sekadar menyindir, tetapi juga ajakan agar masyarakat ikut peduli dan mengawasi anggaran. Ia mengingatkan bahwa transparansi adalah hak warga negara, dan kritik adalah bagian dari demokrasi.

Kasus anggaran ATK Rp38 miliar ini menunjukkan pentingnya keterbukaan informasi publik dan partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Kritik Leony menjadi alarm agar pemerintah daerah lebih berhati-hati dalam menetapkan prioritas belanja, sekaligus memastikan bahwa anggaran benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat kecil.