Hernawan | R. Josaphat Bhismantaka Nugroho Bagaskara
Gachiakuta menggabungkan konsep yang jarang dipakai oleh manga-manga lain. Yakni memadukan seni gambaran khas manga dengan seni jalanan. (World Take Over.com/Gachiakuta Anime)
R. Josaphat Bhismantaka Nugroho Bagaskara

Dalam industri manga yang terus berubah, dua nilai utama yang selalu menjadi tolok ukur kesuksesan adalah orisinalitas dan kualitas seni visual. Gachiakuta, karya Kei Urana, menjadi contoh nyata dari perpaduan keduanya.

Manga ini terkenal dengan tempo cerita yang cepat, latar dunia dystopia yang suram namun memikat, serta gaya seni yang berani dan tidak konvensional. Namun, hal yang membuatnya benar-benar berbeda dari manga lain adalah keberanian Urana untuk memasukkan elemen seni graffiti. Sesuatu yang sangat jarang dijumpai dalam dunia manga arus utama.

Graffiti, yang selama ini identik dengan ekspresi kebebasan dan perlawanan di lingkungan urban, sering disalahartikan sebagai simbol pemberontakan atau ketidakteraturan. Menariknya, makna itu sejalan dengan perjalanan sang tokoh utama, Rudo, yang diusir dari masyarakat dan dibuang ke “Abyss” karena tuduhan palsu atas kejahatan yang tak pernah ia lakukan.

Seperti graffiti yang dianggap kotor oleh sebagian orang, Rudo pun dicap sebagai sampah oleh masyarakatnya. Namun, baik graffiti maupun Rudo sama-sama menjadi simbol perjuangan identitas dan kebebasan untuk mengekspresikan diri di tengah sistem yang menindas.

Dalam sebuah wawancara mengenai proses kreatif Gachiakuta, Kei Urana mengungkapkan alasan di balik keputusannya untuk menggabungkan gaya seni manga tradisional dengan graffiti. Ia menjelaskan bahwa dunia manga sendiri memiliki sisi “bawah tanah” yang selaras dengan semangat graffiti.

“Karena dunia manga itu cukup underground, aku pikir graffiti akan cocok banget. Jadi kami coba, dan hasilnya ternyata keren sekali,” ujar sang mangaka, Kei Urana dalam sebuah wawancara di YouTube Gachiakuta PR.

Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa Urana tidak hanya berusaha menciptakan visual yang menarik, tetapi juga berupaya menghadirkan jiwa pemberontakan dan kebebasan artistik dalam karyanya.

Graffiti di Gachiakuta bukan sekadar ornamen latar, tetapi menjadi bagian dari narasi dan atmosfer dunia yang ia bangun: menggambarkan sisi gelap, kasar, sekaligus indah dari masyarakat yang membuang “sampah”-nya ke jurang.

Selain itu, kehadiran graffiti di manga ini mencerminkan perubahan tren dalam dunia seni visual Jepang. Dengan semakin kuatnya pengaruh media sosial dan budaya pop modern,

Gachiakuta menunjukkan bahwa manga kini tidak lagi terpaku pada gaya tradisional. Urana berhasil membawa nuansa baru: sebuah manga dan anime manga perpaduan antara seni jalanan, subkultur urban, dan ekspresi personal yang mendalam.

Kolaborasi Kei Urana dan Hideyoshi Andou: Dua Seniman, Satu Visi

Hideyoshi Andou (kiri) dan Kei Urana (kanan) menceritakan dan menjelaskan makna seni visual yang mereka torehkan dalam Gachiakuta (YouTube.com/@Gachiakuta_PR)

Keberhasilan Gachiakuta dalam menghadirkan nuansa visual yang segar tidak terlepas dari kolaborasi antara Kei Urana dan Hideyoshi Andou, seorang seniman graffiti yang turut berperan besar dalam menciptakan identitas visual manga ini.

Dalam wawancara yang sama, Urana menuturkan bahwa bekerja bersama Andou merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan dan memperkaya proses kreatifnya.

Urana mengaku bahwa dirinya biasanya tidak suka berkompromi dalam menciptakan manga, tetapi ia selalu terbuka terhadap ide-ide Andou, terutama dalam hal menambahkan kedalaman dan ekspresi emosional pada adegan-adegan penting.

Menurutnya, gaya Andou membantu memperkuat pesan visual manga dan memberikan dimensi tambahan pada dunia Gachiakuta. Graffiti yang ia tambahkan bukan hanya memperindah, tetapi menegaskan atmosfer sosial dan emosional dalam cerita, menjadikan setiap panel terasa hidup dan berkarakter.

Di sisi lain, Hideyoshi Andou juga membagikan pandangannya tentang kerja sama tersebut. Ia mengungkapkan bahwa hubungannya dengan Urana tidak hanya sebatas rekan kerja, tetapi juga sebuah hubungan kreatif yang saling menantang dan menginspirasi.

“Kadang kami saling melihat sebagai rival, kadang sebagai sesama kreator. Dan di lain waktu, aku ingin mendukungnya sebagai teman. Urana adalah satu-satunya orang yang memberiku dinamika seperti ini. Itu berarti segalanya bagiku,” ujarnya.

Ucapan Andou menggambarkan betapa kuatnya ikatan profesional sekaligus emosional antara keduanya.

Hubungan itu tidak hanya menghasilkan karya visual yang luar biasa, tetapi juga semangat kolaboratif yang mencerminkan jiwa street art itu sendiri. Di mana batas antara individualitas dan kerja sama menjadi kabur, namun justru melahirkan kreativitas yang autentik.

Kolaborasi ini menjadi fondasi artistik Gachiakuta. Gaya coretan mentah khas graffiti berpadu sempurna dengan komposisi panel manga yang dinamis, menciptakan visual yang penuh energi dan kontras.

Setiap detail dalam gambar membawa pesan: bahwa keindahan bisa lahir dari kekacauan, dan bahwa ekspresi sejati tidak perlu selalu rapi untuk bisa bermakna.

Keberhasilan Urana dan Andou juga menandai pergeseran arah dalam dunia manga modern. Keduanya menunjukkan bahwa manga tidak lagi hanya sekadar bentuk hiburan visual, melainkan juga ruang bagi seni eksperimental dan eksplorasi budaya.

Melalui Gachiakuta, mereka membuktikan bahwa seni jalanan dapat hidup berdampingan dengan medium tradisional seperti manga, menciptakan jembatan antara dua dunia yang selama ini terpisah: jalanan dan halaman kertas.

Gachiakuta bukan hanya kisah tentang perjuangan Rudo di dunia penuh sampah dan ketidakadilan, tetapi juga perayaan seni dan ekspresi bebas.

Melalui kombinasi antara gaya manga dan graffiti, Kei Urana dan Hideyoshi Andou menghadirkan karya yang menantang batas estetika, menyuarakan semangat pemberontakan, dan menegaskan bahwa kreativitas sejati selalu lahir dari keberanian untuk berbeda.