Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Inggrid Tiana
Ilustrasi outfit skena (Instagram/outfit.skena)

Istilah "anak skena" telah menjadi bagian dari budaya anak muda masa kini, terutama di wilayah perkotaan. Lebih dari sekadar label atau tren sesaat, fenomena ini mencerminkan dinamika kompleks dalam pencarian identitas, pembentukan komunitas, dan penolakan terhadap arus utama (mainstream) di kalangan generasi muda. 

Akar dari "skena" sendiri sebenarnya bersemi dari kebutuhan manusia untuk berkelompok berdasarkan minat dan kesamaan nilai.

Dalam sejarah, kita melihat berbagai subkultur muncul sebagai respons terhadap norma sosial atau sebagai wadah bagi ekspresi yang tidak terakomodasi oleh budaya dominan.

Mulai dari beatnik di era 1950-an, hippie di tahun 1960-an, hingga punk dan gothic di dekade berikutnya, setiap subkultur memiliki ciri khasnya sendiri dalam hal gaya berpakaian, preferensi musik, pandangan dunia, dan interaksi sosial.

"Anak skena" dapat dilihat sebagai evolusi dari tradisi subkultur ini, yang termanifestasi dalam konteks era digital dan globalisasi.

Salah satu karakteristik paling mencolok dari "anak skena" adalah gaya berpakaian yang unik dan personal. Mereka cenderung menjauhi tren fast fashion yang diproduksi massal dan lebih memilih pakaian dengan sentuhan individualitas.

Toko barang bekas seperti thrift shop, vintage store, atau brand-brand independen menjadi sumber utama fashion statement mereka.

Pemilihan pakaian bukan hanya soal estetika, tetapi juga merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang menyampaikan identitas dan afiliasi dengan komunitas tertentu.

Kombinasi outfit yang tidak konvensional, seringkali memadukan elemen-elemen dari berbagai era atau gaya, menjadi ciri khas yang membedakan mereka.

Selain fashion, musik dan seni alternatif memainkan peran sentral dalam pembentukan identitas "anak skena". Mereka aktif mencari dan mengapresiasi musisi dan seniman yang berada di luar radar popularitas arus utama.

Konser musik indie, pameran seni kontemporer, pemutaran film independen, atau pertunjukan teater alternatif menjadi ruang di mana mereka berkumpul dan berbagi minat.

Pengetahuan dan apresiasi terhadap karya-karya yang dianggap underrated seringkali menjadi modal sosial dalam komunitas ini.

Keterlibatan aktif dalam komunitas adalah aspek krusial lainnya. "Anak skena" tidak hanya mengagumi secara pasif, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam menciptakan dan memelihara ekosistem minat mereka.

Mereka menghadiri acara komunitas, berkolaborasi dalam proyek kreatif, dan membangun jaringan pertemanan yang kuat berdasarkan kesamaan hobi.

Ruang-ruang fisik seperti kafe independen, studio seni, atau bahkan ruang bawah tanah yang disulap menjadi venue acara menjadi pusat interaksi dan pertukaran ide.

Preferensi pada ruang dan gaya hidup yang autentik juga menjadi ciri khas. "Anak skena" cenderung mencari pengalaman yang dianggap lebih nyata dan bermakna di luar konsumerisme mainstream.

Mereka mungkin lebih memilih kafe lokal dengan karakter unik daripada jaringan kopi global, atau menghabiskan waktu di ruang kreatif yang mendukung ekspresi daripada pusat perbelanjaan mewah.

Pemilihan tempat nongkrong dan gaya hidup sehari-hari mencerminkan nilai-nilai seperti individualitas, kreativitas, dan komunitas.

Peran media sosial dalam fenomena "anak skena" tidak bisa diabaikan. Platform seperti Instagram, TikTok, dan X menjadi ruang di mana mereka berbagi estetika visual, merekomendasikan musik dan seni, mengumumkan acara komunitas, dan membangun jaringan dengan individu lain yang memiliki minat serupa.

Media sosial memungkinkan "anak skena" untuk menemukan komunitas mereka di luar batasan geografis dan memperkuat identitas mereka.

Namun, ironisnya, media sosial juga berpotensi menghadirkan tekanan untuk terus-menerus menampilkan citra diri yang keren dan sesuai dengan standar estetika komunitas.

Motivasi di balik fenomena "anak skena" sangat beragam. Bagi sebagian orang, ini adalah cara untuk mengekspresikan individualitas dan menolak konformitas. Bagi yang lain, ini adalah pencarian akan rasa memiliki dan dukungan dari komunitas yang memahami minat mereka.

Ada juga yang melihatnya sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya populer yang dianggap dangkal atau komersial. Apapun motivasinya, menjadi bagian dari "skena" seringkali memberikan rasa identitas dan validasi di tengah kompleksitas dunia modern.

Namun, fenomena "anak skena" juga tidak luput dari kritik. Beberapa orang melihatnya sebagai bentuk elitisme atau upaya untuk terlihat berbeda demi berbeda.

Ada kekhawatiran bahwa fokus pada estetika dan lifestyle terkadang mengaburkan minat atau nilai-nilai yang mendasari komunitas tersebut.

Selain itu, potensi eksklusivitas juga menjadi perhatian, di mana batasan-batasan yang tidak tertulis dapat membuat orang di luar "skena" merasa tidak diterima atau tidak memahami.

"Anak skena" adalah fenomena yang kompleks, yang berakar pada kebutuhan manusia untuk identitas, komunitas, dan ekspresi diri. Lebih dari sekadar tren fashion atau preferensi musik, ini adalah manifestasi dari upaya generasi muda untuk menemukan tempat mereka di dunia dan membangun makna melalui kesamaan minat dan nilai.

Meskipun tidak terlepas dari kritik dan potensi jebakan, "skena" juga dapat menjadi ruang yang positif untuk kreativitas, kolaborasi, dan pembentukan jaringan sosial yang autentik.

Memahami fenomena ini memerlukan kepekaan terhadap dinamika sosial dan budaya yang terus berubah, serta pengakuan bahwa di balik label "anak skena" terdapat individu-individu dengan beragam motivasi dan ekspresi diri.

Inggrid Tiana