Scroll untuk membaca artikel
Fabiola Febrinastri | Fabiola Febrinastri
Bagaimana Menyelamatkan Generasi Muda yang Terkungkung Pornografi?

Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap 4.500 pelajar SMP dan SMA di 12 kota menunjukkan, 97 persen dari mereka mengakses konten pornografi. Kemudian survei yang dilakukan PornHub pada 2015 - 2016 menemukan, Indonesia menempati rangking kedua pengakses pornografi setelah India, yang mana sekitar 74 persen adalah generasi muda dan selebihnya adalah generasi tua (amp.katadata.co.id, 6/2/2018).

Anak-anak dan orang dewasa marak menjadi pelaku ataupun korban pelecehan seksual, pemerkosaan, sodomi, pencabulan dan kekerasan seksual lainnya. Pornografilah pemicu utamanya. Ide kebebasan semakin membuka lebar kran pornografi hingga menyuburkan kerusakan mental dan menghancurkan gerenasi secara massif.

Ini jugalah yang terjadi baru-baru ini di Garut pada 14 April 2019. Sebuah media online memberitakan tengah menyelidiki kasus belasan bocah yang diduga ketagihan seks menyimpang. Bahkan ada yang mengalami ketagihan seks tak lazim, dengan melakukan adegan syur layaknya penyuka sesama jenis setelah menonton video porno.

Kapolres Garut, AKBP Budi Satria Wiguna mengatakan, sudah ada orangtua anak yang menjadi korban melapor ke Polres Garut.

Bahaya pornografi, sebagaimana hasil penelitian Dr. Donald Hilton Jr., ahli bedah otak dari AS, mengatakan, pornografi telah merusak struktur dan fungsi otak. Bila napza mampu merusak tiga bagian otak, maka kecanduan pornografi akan merusak lima bagian otak.

Adapun bagian yang berdampak paling besar adalah Pre Frontal Cortex (PFC). Ini membuat orang yang sudah kecanduan tidak mampu membuat perencanaan, tidak bisa mengendalikan napsu dan emosi, serta tidak bisa mengambil keputusan dan berbagai peran eksekutif otak sebagai pengendali implus-implus. PFC sendiri merupakan bagian yang membedakan manusia dengan binatang.

Saking berbahayanya, manusia bisa menjadi seperti binatang atau mungkin lebih buruk dari itu, akibat rusaknya PFC.

Allah SWT berfirman dalam Quran Surat Al-A’raf ayat 179, yang terjemahannya “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk meihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Maha benar Allah SWT atas firmanNya.

Kasus di Garut dan kasus serupa lainnya menunjukkan bahwa manusia sebagai hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Melakukan hubungan seksual tanpa pernikahan, tak ubahnya binatang kawin. Melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis yang saat ini marak terjadi, mereka kaum pelangi berlindung dengan dalih hak asasi.

Padahal kambing jantan saja, bila bertemu dengan kambing jantan lainnya akan berkelahi demi memperebutkan kambing betina, sedangkan manusia justru melakukan hubungan seksual padahal sama-sama jantan atau sama-sama betina. Inilah yang disebut lebih sesat dari binatang.

Masih dikutip dari sebuah media online, kasus lain terjadi di Probolinggo, dimana seorang siswa SD dan siswa SMP memperkosa hingga menghamili siswi SMA. Kapolres Probolinggo, AKBP Eddwi Kurniyanto mengatakan bahwa korban masih berkerabat dengan pelaku yang SMP.

Korban tinggal di rumah pelaku sejak kecil. M merupakan sepupu korban dan M sendiri, meski sudah berusia 18 tahun, masih duduk di bangku SMP karena beberapa kali tidak naik kelas.

Sementara itu, pelaku masih SD berusia 13 tahun. Korban pertama kali diperkosa pada April tahun lalu oleh M. Penolakan korban berakhir sia-sia, karena M mengancam akan mengusir korban dari rumah orangtuanya jika menolak permintaannya.

Di lain waktu, M mengulangi perbuatannya. Namun kali ini, M mengajak temannya yang masih SD untuk memperkosa korban. Perbuatan ketiga dan selanjutnya dilakukan berbarengan dan ada yang dilakukan pelaku SD sendirian.

Generasi dalam dekapan pornografi rupanya benar-benar terjadi di Bumi Pertiwi.

Bagaimana tidak? Negara yang memisahkan kehidupan dunia dengan agama menjadi corong kebebasan berekspresi, termasuk dengan pakai pakaian mini-mini yang meningkatkan birahi. Tayangan televisi pun kerap menampilkan sosok wanita-wanita seksi yang pamer bodi serta humor yang menjurus ke konten pornografi.

Belum dengan beredarnya situs-situs yang membuat sekaligus menyebarkan konten pornografi. Ideologi kapitalisme yang bercokol di negeri ini telah menjadikan pornografi sebagai ladang bisnis.

Pornografi membuat traffic meningkat, sehingga suatu website pasti bisa menghasilkan uang yang banyak dari iklan. Bisnis pornografi yang terkesan cepat dalam menghasilkan uang menjadi alasan utama seseorang melakukan bisnis tersebut, apalagi adanya kesenjangan ekonomi.

Payung Pelindung adalah Negara
Untuk mengurangi peredaran konten pornografi, Kemenkominfo telah memberlakukan kebijakan penapisan dan menemukan lebih dari 1 juta website yang mempromosikan konten pornografi.

Bahkan sejak Agustus 2018, Kemenkominfo telah menerapkan metode Forced Save Search Engine untuk membuat perncarian hal-hal berbau porno di internet tidak berjalan. (kominfo.go.id, 13/9/2018).

Banyak bukti memperlihatkan, meskipun di Indonesia penyebaran produk pornografi dilarang dan berbagai konten pornografi telah dihapus, tetapi peredaran produk pornografi secara ilegal tetap berkembang luar biasa besar.

Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Endang mengatakan, polisi melakukan dua hal yakni menjerat hukum kepada pelaku serta memberikan bantuan psikologis bagi korban.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang hukum pidana, pelaku pelecehan seksual di muka publik dapat diganjar dengan hukuman dua tahun delapan bulan penjara. Jika pelecehan seksual menyerang pada anak-anak di bawah umur, maka akan dihukum setidaknya lebih 15 tahun.

Bagi anak-anak di bawah umur yang menjadi pelaku ataupun korban, biasanya akan menjalani masa rehabilitasi. Bila dia pelaku maka dihukum di lapas, dia akan menjalani masa rehabilitasi setelah keluar dari lapas.

Salah satunya, Panti Rehabilitasi Anak Berhadapan dengan Hukum (PSRABH) di Cileungsi, Jawa Barat. Namun hukum dan rehabilitasi ini tetap tidak mengecilkan angka kekerasan seksual pada perempuan dan anak, seolah negara tidak bisa melindungi dan membuat rakyatnya merasa aman.

Dari semua upaya yang telah dilakukan oleh negara sebagai payung pelindung, ternyata belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Justru pelaku semakin menjadi-jadi.

Rupanya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah belum menyentuh akar persoalan dari terkungkungnya generasi dalam dekapan pornografi. Bisa dikatakan solusi yang dihadirkan hanya bersifat parsial, sedangkan semestinya solusi tersebut bersifat holistik.

Dari paparan di atas bisa diketahui, akar masalah adalah telah bercokolnya ideologi kapitalisme-sekuler yang memisahkan kehidupan dunia dari agama, sehingga manusia mudah gelap mata dan bebas bertindak apa saja dengan semboyan “liberty” bahkan sampai menganggap hak asasi.

Akidah umat telah tergerus, sampai-sampai ada yang berpikir mempertontonkan aurat sebagai hal biasa bahkan dijadikan candaan. Belum lagi, kapitalisme yang menimbulkan kesenjangan ekonomi semakin besar, serta selalu menggembar-gemborkan harta dunia sebagai kunci kesuksesaan telah membuat orang menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan, termasuk dengan membuat website berkonten pornografi.

Untuk itu, solusinya adalah dengan mengganti ideologi kapitalisme-sekuler dengan ideologi dari Sang Pencipta, yakni ideologi Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Quran Surat Al-Baqarah ayat 208, yang terjemahannya, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”

Hanya sistem Islam yang mampu melindungi generasi dari kerusakan media, pergaulan bebas dan kungkungan pornografi secara komprehensif.

Pengirim : Anisa Fitri Mustika Bela, mahasiswi Universitas Negeri Jakarta

Array