Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | IKLIMA DEVI GRAFITANTI
Ilustrasi guru mengajar. (Shutterstock)

Bukan rahasia apabila jumlah populasi Indonesia berada di urutan terbesar nomor 4 (empat) di dunia. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bangsa Indonesia akan mengalami bonus demografi pada rentang 2020 s.d. 2030, yaitu ketika jumlah usia produktif 2 per 3 dari jumlah penduduk keseluruhan.

Bonus demografi ini dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi kemajuan bangsa, berkah atau justru menjadi bencana.

Dalam menghadapi era bonus demografi yang bersamaan dengan era revolusi industri 4.0, kemajuan bangsa sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia tentu tidak terlepas dari pendidikan.

Lantas strategi apa yang Indonesia perlukan dengan melihat kondisi bangsa saat ini? Menjadi suatu urgensi mengingat perkembangan dunia yang pesat mendorong persaingan yang ketat dalam dunia kerja.

1. Strategi pertama

Pengembangan guru menjadi hal yang utama perlu dilakukan. Abdul Malik Fajar, Menteri Pendidikan 2001 - 2004, berpandangan bahwa guru merupakan cermin pendidikan dan keberadaan pendidikan itu tercermin pada pendidik. Saya pun sependapat dengan pandangan tersebut.

Apabila guru dapat memberikan impact yang luar biasa, maka siswa dan lingkungan akan menjadi luar biasa pula. Bagi saya, guru ibaratkan center of change agent. Tak jarang terjadi siswa menyukai pelajaran tertentu, belum tentu karena bukunya, melainkan karena guru yang menyampaikan pelajaran tersebut.

Secara etimologis, kata Guru (Bahasa Sansekerta) berasal dari Gu artinya kegelapan dan Ru artinya membebaskan dari atau menyingkirkan. 

Dengan demikian, tidak salah metafora dalam lirik lagu hymne guru yang biasa kita nyanyikan ketika acara pelepasan sekolah berbunyi, “..Engkau sebagai pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan...”

Di satu sisi, data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa hasil uji kompetensi guru pada tahun 2017 memberikan informasi capaian yang masih jauh dari standar kompetensi guru yang dipatok oleh pemeritah.

Capaian rerata paling tinggi diraih oleh guru SMA yang mencapai 69,55 dan rerata paling rendah diraih oleh guru SD yang mencapai 62,22. Selain itu, berdasarkan data pokok pendidikan tahun 2017, tercatat kekurangan guru mencapai 707.324 orang.

Hasil data tersebut setidaknya memberikan gambaran tentang kapabilitas dan kuantitas tenaga pengajar yang tentunya berdampak pada kualitas pendidikan.

Di Finlandia, mengajar merupakan bidang yang sangat dihormati dan profesional. Sebagian besar guru SD bergelar master dengan subsidi dari pemerintah.  Sepuluh besar guru merupakan lulusan terbaik di 10 perguruan tinggi ternama. Bahkan, profesi guru pada tahun 2010 sangat diminati, tercatat sebanyak 6.600 orang bersaing memperebutkan 660 kursi guru SD.

Jika berkaca pada Finlandia, di Indonesia profesi guru masih kurang diminati Generasi Milineal dibandingkan dengan profesi lain seperti youtuber , dokter atau pengacara yang dinilai menjanjikan dari segi finansial. Mirisnya lagi, peminat profesi guru adalah mereka dengan nilai akademis di bawah rata-rata.

Di samping itu, tidak sedikit “kampus seadanya” institut kependidikan maupun ilmu pendidikan yang “memaksakan” untuk mencetak guru. Akibatnya, ditemukan tenaga pendidik yang belum siap menjadi guru.

Belum lagi, selama ini, marak kita temukan tayangan media TV yang mengkerdilkan citra guru. Masih ingat tentang iklan salah satu produk minuman yang menggambarkan kegiatan mengajar dikelas?

Seorang guru menerangkan pentingnya air bagi ketahanan tubuh, tetapi ketika menoleh ke belakang, siswanya telah kabur dari kelas lalu minum produk yang diiklankan. Bahkan, pada suatu sinetron, guru digambarkan tidak dihargai dengan dipermainkan oleh siswa-siswi di kelasnya.

Pencitraan media atas guru tersebut dapat mengaburkan profesi guru yang berujung pada rendahnya minat terhadap profesi guru. Terkait hal ini, Pemerintah melalui kebijakannya harus membuat regulasi larangan tegas penanyangan baik iklan, sinetron, dan hiburan yang kurang/tidak menghargai martabat guru.

Kemudian, kesejahteraan guru harus ditingkatkan, dalam hal ini adalah guru honorer, sedangkan guru PNS rata-rata sudah cukup sejahtera. Masih ingat kisah Pak Untung, guru honorer di MI Miftakhul Ulum Sumenep yang telah mengabdi selama 23 tahun dan merasa ikhlas dengan honor terbarunya yang tidak mencapai 500 ribu per bulan.

Meski tidak memiliki lengan, Pak Untung mengajar dengan menggunakan kaki untuk menulis di papan, bahkan bisa mengoperasikan laptop.

Berdasarkan persoalan yang terjadi di atas, penulis mengusulkan adanya pembenahan dari input Guru, yaitu dengan mencetak tenaga pengajar melalui sistem pendidikan kedinasan seperti PKN STAN.

Levitt dan Dubner dalam bukunya Superfreakonomics, menyakini peranan insentif dapat menstimulus kehidupan sebagai solusi permasalahan. Asalkan dikelola dengan tepat, insentif dapat mengarahkan manusia menemukan teknologi, bahkan bisa menumbuhkan sikap sosial dalam masyarakat yang lebih murah dan menguntungkan.

Lalu, apa hubungannya insentif dengan sekolah kedinasan guru?  Sekolah kedinasan guru menjadi skema baru insentif untuk menarik minat siswa menjadi guru professional berkarakter. Skema tersebut antara lain pendidikan dibiayai oleh negara/ikatan dinas/ikatan kerja dengan melalui sistem rekrutmen yang ketat.

Dengan demikian, diharapkan dapat menjaring input terbaik dan menghasilkan tenaga pendidik yang mumpuni secara kapabilitas tetapi juga memiliki skill leader. Hal ini disebabkan karena peranan guru yang krusial dalam memotivasi anak didiknya, menebarkan inspirasi, dan menanamkan karakter yang tidak bisa tergantikan oleh derasnya arus informasi dan teknologi.

Profesi guru akan menarik dan menjadi favorit untuk the best student, tidak lagi menjadi cita-cita alternatif mengingat tugas mulia guru mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketidakmerataan tenaga pendidik diharapkan dapat terselesaikan karena setiap lulusan ikatan dinas/kerja siap ditempatkan di seluruh Indonesia sebagaimana tertuang dalam perjanjian ikatan dinas/kerja.

Terkait standar kualitas guru, dengan skema ikatan dinas/kerja, institut untuk mencetak para guru diprediksi menghasilkan lulusan guru yang mendekati sama kualitasnya, sehingga ketika lulusan calon guru ditempatkan di seluruh daerah Indonesia, diharapkan output siswa yang diajar juga tidak mengalami gap kualitas dengan siswa yang berasal dari daerah terpelosok/terpencil.

2. Strategi kedua

Perkuat peran orang tua/wali siswa. Kunci keberhasilan seorang anak tidak lepas dari peran orang tua. Orang tua dan tenaga pendidik harus memiliki visi yang sama.

Untuk mewujudkannya, perlu komunikasi yang baik dalam membimbing siswa agar saat di sekolah, guru dapat melaksanakan perannya tidak bertentangan dengan orang tua. Sekolah dapat memanfaatkan perkembangan sarana komunikasi saat ini seperti grup whatshap misalnya. 

Beberapa waktu yang lalu, sempat viral di media sosial kasus guru honorer SDN Jambi Baru, Aceh, ditonjok oleh oknum wali murid karena melerai pertengkaran dua muridnya yang salah satunya adalah anak oknum wali murid tersebut. Oleh karena itu, perlu ada komitmen yang kuat antara guru dan murid sejak siswa diterima di sekolah.

Dengan demikian, tidak terjadi wali murid yang hanya memasrahkan pendidikan kepada guru mengingat pendidikan berhasil bila guru bersama wali murid saling sinergis. Sebaliknya, diharapkan tidak ada wali murid yang tidak rela anaknya dididik oleh guru, kecuali memang tidak didik dengan cara yang tidak mendidik.

Tidak sedikit kita mendengar guru diadukan ke polisi oleh oknum orang tua karena percaya dengan aduan anak, padahal guru tersebut hanya memperingatkan anak didiknya yang ketauan merokok atau bermain gawai. Ingat! Sekolah pertama anak adalah keluarga.

3. Strategi ketiga

Mengembangkan budaya yang melibatkan siswa seperti metode pembelajaran yang menyenangkan.  Siswa dipicu untuk bertanya dan berdiskusi. Selain itu, siswa diberikan tugas atau proyek implementasi dari teori.

Terlebih lagi, Pemerintah tengah membangun Palapa ring yang dapat dimanfaatkan khusunya siswa di daerah untuk menggunakan internet dalam pembelajarannya. Pada penghujung tahun 2019, Menteri Pendidikan Nadiem Makariem menggagas kebijakan “Merdeka Belajar“ sebagai strategi link and match antara pendidikan dan industri.

Salah satu kebijakan tersebut adalah mengganti USBN dengan bentuk penilaian komprehensif yang disebut dengan Assesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Ujian Nasional dianggap melahirkan generasi yang jago menghafal, sedangkan dalam dunia kerja yang terpenting adalah inovatif, berpikir kritis, dan kreatif bukan menghafal. 

Sebagai generasi yang “lahir” dari Ujian Nasional, saya merasa ada hikmah dibalik Ujian Nasional. Meski materi yang diujikan kala itu cukup padat namun Ujian Nasional melatih pribadi untuk berusaha dekat dengan Tuhanan yang Maha Esa dan memperbanyak ibadah kepada-Nya.

Mari kita doakan dan kawal gebrakan Merdeka Belajar Pak Nadiem untuk SDM yang lebih berkualitas!

Oleh : Iklima Devi Grafitanti/Mahasiswa Diploma IV PKN STAN

IKLIMA DEVI GRAFITANTI