Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Novan Harya Salaka
Ilustrasi Meditasi (Unsplash/Jared Rice)

Dunia hari ini terasa berjalan begitu cepat. Banyak orang merasa berkewajiban mengejar banyak pencapaian sekaligus, entah itu material, karier, atau status sosial. Seolah tidak ada waktu untuk merenungkan apa yang sungguh-sungguh diinginkan, orang terus saja berlari tanpa henti. Bila kamu mulai merasakan ini, barangkali gaya hidup slow living perlu dicoba.

Mengutip VOI, dalam survey yang dilakukan Harvard Business School, sekitar 94% pekerja profesional bekerja lebih dari 50 jam per minggu. Studi lain pada tahun 2016 oleh Creative Economy Agency menemukan, sepertiga dari jumlah pekerja di industri kreatif bekerja lebih dari 48 jam per minggu. Dari studi ini, dapat disimpulkan bahwa para pekerja seolah-olah tidak memiliki pilihan lain. Sebagian besar hidup para pekerja ini dihabiskan untuk bekerja dan bekerja.

Kehidupan serba cepat membuat fisik dan mental menjadi rentan terhadap berbagai gangguan. Bila kamu merasa lelah bahkan sakit secara fisik maupun mental, cobalah untuk mundur sejenak dan bertanya kepada diri sendiri, apakah kamu memang menginginkan semua ini? Menurunkan pace dalam hidup inilah yang disebut slow living.

Sesuai namanya, slow living adalah konsep gaya hidup yang membuat kita menurunkan kecepatan sejenak dalam kehidupan dan menikmati momen-momen yang sedang berlangsung. Slow living adalah sebuah respons terhadap rutinitas yang begitu cepat, teratur, dan kesibukan tiada henti.

Cikal bakal dari konsep ini berasal dari Slow Food Movement yang dicetuskan Carlo Petrini pada 1986. Pada waktu itu, ia melakukan kampanye Slow Food Movement untuk melawan gerakan fast food, terutama oleh McDonald’s yang membuka outlet di Roma, Italia.

Ide pokok dari kampanye slow food movement adalah melindungi makanan tradisional dan kultur gastronomi, yang dianggap lebih sehat dan lezat. Berawal dari sini, konsep slowing down kemudian diaplikasikan pada aspek-aspek yang lebih luas dan menyeluruh, yakni slow living.

Artikel dalam Martha Stewart menjelaskan bahwa slow living adalah tentang melakukan segala sesuatu dalam kecepatan yang sesuai. Artinya, memang ada kalanya melakukan sesuatu dengan cepat dan menenggelamkan diri dalam kesibukan, tetapi ada pula saat-saat untuk melambatkan diri. Kuncinya adalah mendorong kita untuk menciptakan hidup yang lebih seimbang, sehat, bahagia, serta manusiawi.

Lebih jauh, hal yang penting dalam memulai slow living adalah jangan takut merasa “ketinggalan.” Daripada merasa harus melakukan segalanya sekaligus, fokuslah mengasah hal-hal yang kamu anggap penting. Dengan begitu kamu akan belajar untuk berhenti sejenak, merenung, dan menentukan prioritas mana yang harus diutamakan.

Novan Harya Salaka