Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | raid taufiq
Ilustrasi APBN

Terhitung sudah tiga bulan dari kasus pertama pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia. Penyebaran virus corona begitu cepat, hingga saat ini terkonfirmasi telah menyebar di 34 Provinsi di Indonesia.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam memutus rantai penyebaran Covid-19, seperti imbauan untuk work from home, physical distancing, study from home, beribadah dari rumah, hingga adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pandemi Covid-19 ini berdampak sangat besar terhadap stabilitas negara Indonesia, mulai dari bidang kesehatan hingga berdampak negatif terhadap perekonomian.

Di Indonesia sendiri Covid-19 menyebabkan perekonomian terancam mengalami krisis, hal tersebut disebabkan menurunnya sentimen bisnis dan konsumen yang dibarengi dengan lemahnya permintaan dalam negeri. Banyak dunia usaha yang berhenti berproduksi sehingga sektor industri dan investasi terganggu.

Selain itu banyak juga masyarakat yang bekerja di sektor informal dan pariwisata tidak dapat melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemerintah pun menyiapkan anggaran besar sebagai insentif untuk penanganan dampak yang telah ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 ini.

Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah akhirnya mengambil langkah untuk merombak dan menyusun kembali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2020 dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN tahun anggaran 2020.

Pada awalnya kementerian keuangan memperkirakan bahwa pandemi ini akan mengakibatkan defisit APBN sekitar 5,07% atau Rp852,9 triliun dari Produk Domestik Bruto. Namun, setelah melihat perkembangan penggunaan anggaran penanganan pandemi Covid-19, pemerintah memastikan bahwa defisit APBN akan naik menjadi 6,34% atau Rp1.039,2 triliun dari Produk Domestik Bruto sehingga dapat dipastikan nantinya Peraturan Presiden No. 54 tahun 2020 akan mengalami revisi.

Pelebaran defisit tersebut dikarenakan adanya perubahan pada pos pendapatan negara yang mengalami penurunan dari Rp1.760,9 triliun menjadi Rp1.699,1 triliun.

Selain itu, perkembangan penanganan Covid-19 juga berdampak pada perubahan pos belanja negara yang awalnya dipatok pada angka Rp2.613,8 triliun kini naik menjadi Rp2.738,4 triliun.

Kenaikan pengeluaran APBN tersebut dikarenakan naiknya realokasi anggaran penanganan Covid-19 yang awalnya Rp405,1 triliun menjadi Rp 677,2 triliun. Realokasi anggaran tersebut digunakan untuk mengatasi dampak virus terhadap kelangsungan hidup bangsa yang terdiri atas empat hal penting.

Pertama, digunakan untuk memperbaiki fasilitas kesehatan dan menunjang percepatan penanganan Covid-19, seperti pengadaan alat kesehatan, alat perlindungan diri atau APD bagi tenaga medis.

Kedua, digunakan sebagai jaringan pengamanan sosial, seperti penambahan anggaran kartu pra kerja, penambahan anggaran kartu sembako serta subsidi listrik. Ketiga, dukungan terhadap industri perekonomian yang mencakup stimulus terhadap Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta insentif Pajak dan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (DTP).

Terakhir untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, mencakup pembiayaan dan penjaminan dunia usaha termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta restrukturisasi kredit bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19.

Sejalan dengan hal tersebut, maka diperlukan adanya fleksibilitas anggaran oleh pemerintah. Berbagai realokasi anggaran tersebut diprioritaskan untuk mengatasi ancaman krisis ekonomi nasional dan percepatan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.

Meskipun demikian, APBN Tahun 2020 masih dikatakan andal dan kredibel dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia serta dapat menjadi instrumen yang fleksibel dan efisien dalam menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia saat ini.

Oleh: Raid Taufiq/Mahasiswa Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta

raid taufiq

Baca Juga