Siapa yang menyangka bahwa patuh terhadap perintah orang tua juga dapat merusak psikologis anak? Tidak banyak bukan? Namun tanpa disadari, pada kenyataanya, itu benar terjadi.
Di tengah pandemi Covid-19, dunia sedang mengalami kejadian yang mengharuskan orang tua dan anak untuk diam di rumah dan memiliki lebih banyak waktu bersama. Hal ini seharusnya memberikan peluang bagi kedua belah pihak untuk saling dapat memenuhi kebutuhan moral atas rasa kasih dan sayang dalam keluarga.
Namun sayangnya, walaupun mereka berada di rumah dan memiliki rentang waktu yang lebih panjang untuk bersama, mereka tetap disibukkan dengan berbagai pekerjaan. Entah itu pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, maupun pekerjaan kantor.
Dengan kesibukan dan tuntutan pekerjaan yang masih akan terus berlangsung dimasa pandemi, mereka bisa jadi malah tidak saling bicara dan terfokus pada pekerjaan yang sedang mereka kerjakan atau bahkan lebih sering beradu argumen atas satu dua hal.
Dengan begitu, stress, kecemasan, dan berbagai perasaan emosional lainnya pun akan mudah untuk terpengaruh. Hal ini dapat membuat baik orang tua maupun anak tidak dapat menghadirkan suasana hangat dalam kekeluargaan. Justru sebaliknya, yang mereka hadirkan adalah tekanan-tekanan imbas dari ego yang telah menguasai diri.
Ketika sampai pada titik tertentu dalam kecemasan ini, umunya ego orang tua lah yang tetap akan menang melawan anak. Sejauh ini, banyak didapati bagaimana orang tua tidak mau disanggah dan menggunakan budaya bahwa anak harus berbakti kepada orang tua untuk 'memerintah' anak mereka.
Pada nyatanya, tidak ada kata-kata yang mengatakan hal tersebut terjadi oleh karena kurangnya aktivitas bersama antara orang tua dan anak. Apalagi dimasa pandemi seperti ini. Karena pada dasarnya jika orang tua bersikeras tidak mau disanggah dan tidak mau kalah, tetap saja kasus penjara psikologis dari orang tua terhadap anak akan terus terjadi.
Semakin berlarut dengan masa pandemi ini, kian banyak permasalahan antara anak dan orang tua. Bahkan hal sepele seperti tidak meletakkan barang kembali pada tempatnya setelah digunakan pun bisa menjadi sumber amarah. Tak jarang pula para orang tua ini membentak dan seakan mengutuk anak mereka sebagai anak yang durhaka jika tidak menuruti perintahnya.
Terlebih lagi sebagai masyarakat Indonesia yang begitu menjunjung tinggi tradisi dalam keluarga, tradisi berupa sikap berbakti dan hormat kepada orang tua ini adalah suatu hal yang lumrah. Bahkan dalam pelaksanaannya, dua hal tersebut telah menjadi sebuah kewajiban bagi seorang anak.
Namun, kembali lagi pada pernyataan bahwa orang tua selalu bersikeras tidak mau kalah, menjadikan tradisi ini tak ayal telah menjadi sebuah sistem perusak psikologis anak sebagai pemuas ego orang tua. Banyak orang tua yang menggunakan ‘kewajiban’ anak tersebut untuk kepentingannya sendiri, khususnya untuk ‘memerintah’ anak mereka. Hal ini dapat menyebabkan beberapa permasalahan antara anak dan orang tua.
Seperti contohnya ketika sedang berbicara bersama orang tuanya. Pada saat seperti itu ditemukan banyak anak yang enggan mengungkapkan dan mengajukan pendapat atau pertanyaannya untuk menanggapi pernyataan orang tua.
Ditambah lagi dengan frekuensi penggunaan kata-kata sinis berupa serangan verbal yang sangat mengikat ketika bicara seperti, “Sudah, menurut saja. Papa dan mama lebih tau daripada kamu!” atau “Kan sudah dibilang, nggak usah ikut campur urusan orang tua. Pokoknya ikuti saja keputusannya!”. Pada akhirnya, anak akan tetap dipaksa untuk tunduk. Seakan respon anak dalam pembicaraan hanyalah formalitas belaka yang tiada maknanya. Begitulah kiranya cara orang tua memasung mentalitas seorang anak dengan mengatasnamakan pendidikan dalam keluarga.
Banyak pendapat yang menyatakan pendidikan yang keras ini dilakukan demi kebaikan seorang anak. Pendidikan yang keras ini dilakukan sebab orang tua yakin dan merasa lebih paham mengenai masa depan anak-anak mereka.
Mereka menganggap dengan diberlakukannya pendidikan yang keras, anak-anak akan semakin menurut dan melakukan apa yang mereka ingin anak-anak mereka lakukan. Mayoritas penduduk kita pasti sudah tidak asing lagi dengan pola asuhan yang ketat bak tirani ini. Masyarakat kita pun tidak mempermasalahkan keberadaan tradisi ini.
Dilansir dari jurnal psikologi menurut Ho (1994), hasil penelitian mengungkapkan bahwa tradisi ini disebut dengan filial piety. Filial piety ini sesungguhnya merupakan pola relasi antar orang tua dan anak yang mewajibkan seorang anak untuk berbakti dan menghormati orang tuanya. Di dalam pola relasi ini, seorang anak diwajibkan untuk melakukan perbuatan baik kepada orang tuanya.
Perbuatan baik ini juga meliputi kebutuhan perilaku berupa dukungan keuangan dan tanggung jawab seorang anak untuk merawat kedua orang tuanya; juga kebutuhan emosional berupa rasa cinta dan kasih sayang kepada orang tua. Dengan kata lain, filial piety ini menuntut seorang anak untuk membalas budi kedua orang tuanya karena telah dilahirkan ke dunia dan dirawat hingga tumbuh dewasa.
Akan tetapi, ada kalanya filial piety ini melampaui batas wajarnya hingga menghilangkan karakter dan individualitas seorang anak. Tanpa diketahui para orang tua, banyak hal yang sudah dikorbankan anak-anak mereka demi memenuhi ‘kewajiban’ kepada orang tuanya. Anak-anak ini telah mengubur impiannya, membungkam pendapat dan keinginannya hingga mereka merasa menjadi orang lain hanya untuk patuh kepada orang tuanya.
Hal ini tidak patut dibenarkan apabila sudah mengusik ranah individualitas seseorang, bahkan ranah seorang anak dalam asuhan orang tuanya. Ungkapan rasa cinta dan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya tak seharusnya dilakukan berdasarkan kewajiban dan rasa takut. Orang tua pun tidak seharusnya menguji seorang orang anak dengan melakukan tradisi ini secara tidak wajar.
Seyogianya, pola relasi ini dapat dipraktekkan dengan cara yang lebih sehat. Nilai-nilai murni dari penerapan filial piety ini dapat mempererat hubungan antara orang tua dan anak. Penghormatan juga balas budi dari generasi ke generasi. Namun, pada kenyataanya, filial piety acap kali disalahgunakan untuk bertindak semaunya terhadap anak. Hal ini harus mendapat perhatian lebih demi kebaikan hubungan orang tua dan anak.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Tips Memarahi Anak dengan Bijak dan Efektif
-
Sejumlah Perbuatan Durhaka Anak kepada Orang Tua
-
Soroti Kekerasan Terhadap Guru, Wapres Gibran: Jangan Ada Lagi Kriminalisasi!
-
Teks Doa Ziarah Kubur Orang Tua Lengkap Tulisan Arab, Latin dan Artinya
-
Ulasan Buku Seni Memahami Anak: Mendalami Perkembangan Emosional Anak
News
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Kampanyekan Gapapa Pakai Bekas, Bersaling Silang Ramaikan Pasar Wiguna
-
Sri Mulyani Naikkan PPN Menjadi 12%, Pengusaha Kritisi Kebijakan
Terkini
-
Makna Perjuangan yang Tak Kenal Lelah di Lagu Baru Jin BTS 'Running Wild', Sudah Dengarkan?
-
Ulasan Buku 'Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja', Bagikan Tips Jago Berkomunikasi
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Ditanya soal Peluang Bela Timnas Indonesia, Ini Kata Miliano Jonathans