Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Juwita Anggun
Downfall The Case Against Boeing (imdb.com)

Reputasi Boeing sebagai perusahaan rancang bangun produksi pesawat terbang terbesar dan teraman di dunia, akhir-akhir ini sedang dipertanyakan. Peristiwa besar yang memicu Boeing menghadapi krisis kepercayaan publik di seluruh dunia adalah terjadinya dua kecelakaan yang melibatkan pesawat tipe 737 MAX di 2018 dan 2019.

Dua peristiwa kecelakaan itu mengguncang dunia aviasi. Seluruh mata dunia menyoroti kejadian tersebut karena kecelakaan hanya berselang selama lima bulan dan menggunakan tipe pesawat yang sama yaitu 737 MAX 8.

Lebih mengejutkannya lagi, 737 MAX adalah tipe pesawat terbaru yang dirilis Boeing pertama kali pada tahun 2017.

Kecelakaan pertama dialami oleh maskapai Lion Air dari Jakarta menuju Pangkal Pinang dengan nomor penerbangan JT610 dan nomor registrasi PK-LQP pada 29 Oktober 2018 yang memakan korban jiwa 189 orang.

Kecelakaan kedua terjadi pada 10 Maret 2019, Ethiopian Airlines Penerbangan 302 dari Ethiopia menuju Nairobi, Kenya dengan korban jiwa sebanyak 157 orang. 

Tentu saja kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar di dunia penerbangan maupun bagi orang awam "apa yang sebenarnya terjadi pada pesawat 737 MAX 8 produksi terbaru Boeing tersebut?" 

Film dokumenter Downfall: The Case Against Boeing (2022) garapan Roy Kennedy mengungkap sisi gelap, fakta mencengangkan di balik pembuatan Boeing 737 MAX. Film ini menampilkan rekaman arsip, juga mewawancarai orang-orang terkait mulai dari jurnalis, pilot senior, stakeholder Federal Aviation Administration (FAA) hingga mantan karyawan Boeing.

1. Kesaksian Istri Pilot Lion Air JT610

Film dibuka dengan voice over “If it’s not Boeing, I’m not going”, melambangkan seberapa besar kepercayaan publik terhadap sistem keamanan pada seluruh pesawat buatan Boeing.

Kemudian Garima Sethi, istri pilot Lion Air JT610 Bhavye Suneja mengungkapkan setelah terjadinya kecelakaan JT610, Boeing justru menuding maskapai Lion Air sebagai LCC (Low Cost Carrier) yang menyepelekan safety check standard penerbangan dan kurangnya training dari Lion Air untuk para pilotnya.

Pilotnya pun juga dituding kurang capable, padahal Bhavye Suneja pernah menjadi trainee pilot Boeing 737 NG. 

Dari sini sangat jelas, Boeing ingin melempar semua kesalahannya pada maskapai. Namun opini-opini yang dibangun Boeing untuk menyalahkan maskapai Lion Air dalam kecelakaan tersebut runtuh seketika dengan terjadinya kecelakaan Ethiopian Airlines.

2. Ethiopian Airlines 302, Kecelakaan Kedua Boeing 737 MAX 8

Hanya berselang lima bulan dari tragedi Lion Air JT610, terjadi kecelakaan pada Ethiopian Airlines yang diketahui keduanya menggunakan pesawat dengan tipe yang sama yaitu Boeing 737 MAX 8. 

Dari sinilah, muncul kecurigaan terhadap Boeing dan investigasi tidak hanya dilakukan oleh FAA maupun KNKT, namun juga dilakukan oleh salah satu jurnalis senior The Wall Street Journal, Andy Pasztor.

3. MCAS, Faktor Utama Penyebab Kecelakaan Boeing 737 MAX

Setelah investigasi yang dilakukan oleh beberapa pihak, ditemukan bahwa MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System) sebagai sistem terbaru yang dipasang pada Boeing 737 MAX menjadi penyebab utama jatuhnya dua pesawat tersebut.

Hal yang paling mencengangkan adalah para pilot tidak mengetahui sistem MCAS ini terpasang di pesawat 737 MAX.

Sejak 737 MAX rilis hingga kecelakaan terjadi, Boeing tidak pernah memberitahukan adanya sistem MCAS ke pihak maskapai dan para pilotnya.

Boeing beralasan bahwa MCAS tidak terlalu berpengaruh dan demi menghemat anggaran. Tentu saja bagian ini sangat membuat penonton emosi dan naik darah.

4. Boeing dan McDonnell Douglas Merger, Titik Awal Perubahan Drastis Orientasi Boeing 

Boeing yang sudah berdiri sekitar tahun 1916 selalu mengedepankan safety dalam setiap rancang bangun produksi pesawatnya walaupun memakan biaya sangat besar.

Namun orientasi keamanan Boeing berubah drastis sejak Boeing dan McDonnell Douglas merger pada tahun 1997. Tidak lagi soal keamanan, orientasi Boeing sejak saat itu adalah saham melejit di Wall Street.

Setelah merger, justru CEO McDonnell Douglas yang menjabat sebagai CEO Boeing, sehingga dilakukan perubahan kebijakan yang sudah melekat pada etos kerja Boeing sejak dulu  yang membuat para karyawan Boeing geram. 

Hal yang lebih membuat para karyawan Boeing dan penonton ikut geram adalah dipindahkannya  Head Office Boeing ke Chicago pada 2001.

Padahal Boeing yang berlokasi di Seattle sudah sangat identik dengan slogan Boeing is Seattle and Seattle is Boeing. Alasannya pun juga bikin penonton naik pitam, agar para karyawan tidak bisa mengintervensi dan tidak dilibatkan dalam penerapan kebijakan keamanan produksi pesawat.

5. Sisi Gelap Produksi Boeing 737 MAX

Boeing terus menunujukkan kesuperiorannya dalam dunia aviasi dan saham Wall Street, tidak ada kompetitor yang mampu menyaingi Boeing saat itu.

Sampai di antara tahun 2014 hingga 2018, Airbus sebagai kompetitor utama Boeing merilis A320Neo yang laris di pasaran sebagai pesawat narrow body yang hemat bahan bakar.

Hal ini mengakibatkan penjualan Boeing 737 tersaingi dengan kehadiran A320Neo di kelas narrow body. Boeing pun kalang kabut. Namun Boeing tidak memiliki waktu untuk mendesain pesawat baru karena untuk membuat pesawat baru dibutuhkan waktu 8 hingga 10 tahun sampai pesawat tersebut lolos uji sertifikasi.

Akhirnya Boeing merilis 737 MAX, yaitu pesawat dengan body 737 namun dibekali dengan engine terbaru sehingga bisa jauh menghemat bahan bakar. Pemasangan engine baru ini tentu akan mengubah posisi CG (Center of Gravity) pesawat yang membuat pesawat dalam posisi stall.

Untuk menstabilkan posisi pesawat, dipasanglah fitur baru bernama MCAS di bagian horizontal stabilizer. MCAS bekerja secara sinkron dengan AoA (angle of attack), sehingga apabila pesawat terindikasi stall, MCAS akan bekerja menormalkan posisi pesawat. 

Namun ternyata, MCAS sebagai fitur baru ini tidak dilaporkan Boeing saat melakukan uji sertifikasi 737 MAX ke FAA.

Alih-alih sebagai fitur baru, Boeing justru menuliskan MCAS sebagai fitur pelengkap pada speed trim dalam dokumennya sehingga tidak diperlukan training. Hal ini tentulah sangat fatal. Boeing bisa dibilang telah melakukan konspirasi besar untuk menipu FAA, pilot, dan maskapai yang membeli 737 MAX.

Di film ini disajikan dokumen-dokumen Boeing yang diajukan ke FAA, MoM (minute of meeting) dan email dari Lion Air. Lion Air sebenarnya sudah meminta Boeing agar memberikan pilot training untuk 737 MAX, namun Boeing malah mencemooh Lion Air sebagai maskapai yang tidak capable.  

Boeing benar-benar tidak memiliki hati nurani. ingin mendapatkan untung selangit dengan memangkas biaya produksi 737 MAX namun mengabaikan nyawa penumpang.

6. Pengakuan Para Mantan Karyawan Boeing

Di film ini juga ditampilkan wawancara dengan mantan karyawan Boeing. Mereka mengungkapkan, Boeing saat ini sangat jauh berbeda dengan Boeing di tahun 1990-an.

Saat ini karyawan Boeing dituntut untuk melakukan produksi dengan cepat, sedangkan Boeing dulu dituntut untuk memproduksi pesawat dengan tepat dan safety. Bahkan seorang karyawan mengungkapkan, pernah suatu ketika ada baut dan tangga yang tertinggal di bagian Vertical Stabilizer pesawat.

7. Boeing 737 MAX Grounded

Setelah dua kecelakaan 737 MAX tersebut, banyak negara yang melarang terbang 737 MAX. Akhirnya seluruh 737 MAX yang ada di berbagai negara harus grounded sekitar hampir dua tahun. Dalam rentang waktu tersebut Boeing harus mengevaluasi dan melakukan sertifikasi MCAS.

8. Sanksi Boeing

Dalam film ini terlihat bagaimana seluruh para korban menuntut Boeing. Persidangan Boeing yang selalu dihadiri oleh para korban yang membawa foto korban jiwa. Hingga akhirnya Boeing didenda sekitar $2,5 miliar di tahun 2019.

Dan baru-baru ini sekitar awal Juli lalu, akhirnya Boeing mengaku bersalah atas dua kecelakaan yang melibatkan pesawat 737 MAX terbarunya tersebut, namun tetap saja, kecelakaan tersebut sangat membekas di dunia aviasi, seluruh warga dunia, dan terutama bagi keluarga para korban.

9. Campur Aduk Emosi Penonton

Saat menyaksikan film berdurasi 89 menit ini, perasaan dan emosi penonton akan terasa diaduk-aduk dengan pemaparan yang disajikan.

10 hingga 15 menit pertama penonton akan larut dengan perasaan sedih bahkan sampai meneteskan air mata untuk menyaksikan adegan terberat ketika menyaksikan keluarga para korban yang kehilangan orang-orang tersayang, melihat puing-puing pesawat yang ditemukan, serta barang-barang para penumpang.

Kemudian dibuat emosi, marah, mengelus dada dengan semua konspirasi yang dilakukan Boeing untuk menutupi MCAS agar tidak bocor ke pihak luar.

Perasaan penonton untuk “membenci” Boeing pun semakin terasa saat CEO Boeing saat itu  Dennis Muilenburg selalu mengatakan Boeing tidak bersalah dan 737 MAX sudah memenuhi standard keselamatan dan keamanan.

Penonton juga akan ikut merasakan kepanikan, kengerian, kebingungan pilot dan penumpang di pesawat nahas tersebut ketika ditampilkan scene rekaman kondisi cockpit JT610, saat semua warning menyala, dan terdengar stall…stall...pull up..pull up. 

Dari Downfall, penonton akan mendapatkan pengetahuan yang luas terkait dunia penerbangan, pelajaran bahwa jangan terlalu mendewakan perusahan-perusahaan besar, karena mereka pun selalu dituntut meraih keuntungan dengan berbagai cara.

Film dokumenter ini wajib ditonton khususnya buat kamu para penggemar Aviasi karena juga memberikan ilmu penerbangan. Selain itu dari film ini juga terdapat pesan moral bahwa bisnis apa pun jangan hanya mengejar keuntungan semata dengan mengesampingkan nyawa manusia. Keselamatan itu yang utama. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Juwita Anggun