Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Jakob
Ilustrasi nyamuk (Freepik/jcomp)

Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi penyakit yang senantiasa menghantui masyarakat Indonesia. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang menjadi langganan penyakit DBD. Pasalnya, bertahun tahun Yogyakarta menjadi salah satu wilayah endemik bagi penyakit DBD, bahkan sempat mengakibatkan Kejadian Luar Biasa (KLB).

Tercatat pada tahun 2020 yang lalu, terdapat kasus DBD di semua kabupaten di Yogyakarta. Dilansir dari Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat 2.959 orang yang terjangkit DBD hingga akhir Juni 2020 dengan lima orang diantaranya meninggal dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah Yogyakarta termasuk kedalam lingkungan yang sangat mendukung nyamuk untuk dapat berkembangbiak.

DBD masih menjadi masalah besar kesehatan masyarakat, hal ini dikarenakan tingkat kemudahan penyebaran, tingkat keparahan, serta kerugian material yang dihasilkan. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) sendiri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk jenis Aedes aegypti. Menurut sumber, penderita penyakit demam berdarah biasanya ditandai dengan demam selama 2 sampai 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah, letih, lesu, nyeri ulu hati, disertai pendarahan kulit berupa bintik-bintik merah, lebam, ruam, hingga kesadaran menurun atau shock.

Siklus persebaran penyakit demam berdarah diawali Nyamuk Aedes sp. betina yang menggigit penderita demam berdarah sehingga virus dengue masuk dan menyebar ke dalam tubuh nyamuk. Setelah mengalami inkubasi, nyamuk akan menghisap darah orang sehat, sehingga virus dengue pada tubuh nyamuk keluar bersama melalui air liur nyamuk dan menginfeksi melalui gigitan. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 4-7 hari timbul gejala awal penyakit.

Kejadian Demam Berdarah Dengue dalam 50 tahun terakhir meningkat sebanyak 30 kali lipat. Sekitar 50% penduduk dunia rentan terhadap infeksi Virus Dengue dengan insidensi sebanyak 100 sampai 500 juta per tahun. Indonesia sendiri telah menjadi daerah endemis DBD sejak tahun 1968 dengan insidensi yang semakin meningkat dan telah menyebar di 33 provinsi, salah satunya adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sepanjang tahun 2020, Kementerian Kesehatan mencatat jumlah kasus DBD di Yogyakarta sebanyak 3.618 kasus, dengan IR 94,15 per 100 ribu penduduk dan terdapat 13 kematian akibat DBD dengan angka CFR 0,36 %. Kasus terbanyak ditemukan di Bantul dengan 1.222 kasus, sedangkan kasus terendah di Kota Yogyakarta dengan 296 kasus. Hal ini menjadikan Yogyakarta menempati peringkat 9 nasional dalam jumlah kasus DBD.

Terdapat 3 faktor utama yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dangue, yaitu manusia, vektor, dan lingkungan. Peningkatan kasus DBD di wilayah Yogyakarta dapat diakibatkan karena mobilisasi dan tingkat kepadatan penduduk, lingkungan yang kumuh, serta kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memberantas sarang nyamuk.

Faktor lain yang menyebabkan tingginya kepadatan populasi nyamuk adalah kecenderungan masyarakat untuk menyimpan air sebagai akibat sulitnya mengakses air bersih, hal ini biasanya terjadi pada wilayah wilayah yang kesulitan dalam mengakses air bersih, salah satunya adalah kabupaten Gunungkidul

. Singkatnya, banyaknya kasus DBD di wilayah Indonesia disebabkan karena manusia yang kurang peduli terhadap bahaya penyakit DBD, mudahnya siklus hidup vektor nyamuk yang singkat, serta iklim di Indonesia yang sangat mendukung vektor nyamuk untuk hidup dan berkembangbiak. Oleh dari itu penting untuk dilakukannya pengendalian vektor nyamuk agar dapat mengatasi penyakit demam berdarah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pengendalian vektor merupakan kegiatan atau tindakan yang diupayakan untuk menurunkan populasi vektor agar keberadaannya tidak lagi membahayakan atau beresiko untuk terjadi penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah. Dalam upaya pengendalian vektor nyamuk Aedes aegypti dapat digunakan metode pengendalian vektor terpadu.

Pengendalian vektor terpadu sendiri merupakan pendekatan yang menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan azas keamanan, rasionalitas dan efektivitas. Pengendalian vektor terpadu meliputi tiga perlakuan utama, yaitu pengendalian secara fisik, biologi, dan kimia.

Akan lebih baik jika program pengendalian vektor terpadu diawali dengan mengedukasi masyarakat pada daerah target dan dilakukannya monitoring setelah program berjalan. Diharapkan, masyarakat memiliki pemahaman dan pengetahuan bagaimana cara mengedalikan vektor serta keberlanjutan program tersebut. Dalam pengendalian vektor terpadu, pengendalian fisik adalah upaya-upaya untuk mencegah, mengurangi, menghilangkan tempat hidup dan habitat perkembangbiakan vektor secara fisik.

Pengendalian fisik yang dapat dilakukan adalah dengan memodifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan seperti 3M, pembersihan lumut, penanaman bakau, pengeringan, drainase, pemasangan kelambu, pemasangan ovitrap. Dari modifikasi dan manipulasi lingkungan tersebut, diharapkan lingkungan disuatu tempat tidak lagi mendukung vektor untuk dapat hidup dan berkembangbiak.

Pengendalian secara biologi merupakan pengendalian vektor dengan menggunakan agen biotik, diantaranya dengan menggunakan predator pemangsa jentik seperti ikan dan mina padi, bakteri, virus, fungi, maupun manipulasi gen yaitu dengan penggunaan teknik serangga mandul. Sedangkan untuk metode pengendalian vektor secara kimia dapat dilakukan dengan Sueface spay (IRS), kelambu berinsektisida, larvasida, foggging, ULV, maupun dengan penggunaan insektisida rumah tangga seperti penggunaan racun nyamuk formulasi bakar, repelen, Liquid vaporizer, Papaer vaporizer, mat, vaporizer, maupun insektisida rumah tangga lainnya.

Dengan dilakukannya pengendalian biologi dan kimia, diharapkan populasi nyamuk dapat terkendalikan. Penurunan dan pemberantasan nyamuk memanglah bukan suatu hal yang mudah ditangani, faktanya kasus DBD bertahun tahun di Indonesia belum dapat diatasi dan bahkan terus meningkat.

Sinergi antara pemerintah, lembaga berkepentingan, dan tentu saja masyarakat sebagai ujung tombak, sangat mempengaruhi keberhasilan pengendalian vektor. Kesadaran dan pengetahuan akan bahaya dan cara mengatasi DBD akan sangat membantu lembaga berkepentingan dan pemerintah dalam mengatasi penyakit tular vektor Demam Berdarah Dengue.

Jakob

Baca Juga