Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ainun Nabila
Ilustrasi ibu dan anak (freepik)

Istilah "ibu tunggal" atau lebih sering dikenal dengan sebutan "janda", bukanlah hal baru di dunia sekarang ini. Seorang wanita yang diceraikan disebut sebagai janda. Sayangnya, masih banyak orang yang mengaitkan "janda" dengan konotasi yang buruk dan mengolok-oloknya. Padahal, menjadi janda bukanlah hal yang sederhana dan bisa menakutkan bagi sebagian orang karena berbagai stigma maupun label yang masih ada dalam budaya patriarki kita.

Banyak perempuan yang malu mengungkapkan statusnya karena tumbuhnya stigma dan sikap buruk para janda. Perlu diingat bahwa menjadi janda bukanlah sesuatu yang memalukan. Namun, dalam masyarakat saat ini, istilah sindiran seperti "janda nakal" dan "penggoda pasangan orang" tetap ada.

Wanita janda, pada kenyataannya, sering diperlakukan sebagai objek seksual, baik secara vokal maupun nonverbal. Alhasil, tak disangka banyak orang yang menganggap janda sebagai individu berstatus rendah. Hal lain yang dikhawatirkan wanita yang berduka adalah banyak pria yang ingin bergabung dengan kehidupan mereka dan mencoba menipu mereka agar jatuh dipelukannya. Sebab, para janda biasanya dianggap lemah dan membutuhkan kasih sayang. Namun, ada beberapa contoh pria merayu janda demi kebahagiaan sementara. Biasanya itulah yang mendorong wanita untuk menyembunyikan statusnya sebagai seorang janda.

Banyaknya stigma negatif yang dikaitkan dengan janda di Indonesia membuat kita percaya bahwa perilaku seperti itu tidak boleh dinormalisasi. Di sinilah peran seorang Mutiara Proehoeman yang merupakan pendiri komunitas Save Janda sekaligus divisi pemberdayaan cerita perempuan Jabodetabek. Mutiara menyatakan dalam salah satu wawancara medianya bahwa ia membentuk komunitas ini melalui media sosial.

Pada 24 November 2016, beliau mendirikan organisasi janda. Hingga akhirnya menjadi sebuah komunitas organisasi janda bernama Save Janda yang masih aktif hingga saat ini. Beliau menciptakan gerakan #SaveJanda setelah menyaksikan secara langsung bagaimana janda di diskriminasi dan bagaimana kata "janda" menjadi label stigma negatif di masyarakat. Mutiara merupakan DV survivor dan janda selama 14 tahun.

Selain pengalamannya hidup sebagai janda dan menghidupi kedua anaknya, beliau ingin membantu para janda lain dalam meringankan kesulitan mereka, mengurangi stigma dan stereotip negatif yang terkait dengan para janda, dan memberdayakan mereka. Oleh karena itu, pembentukan komunitas Save Janda diharapkan dapat membantu perempuan secara online maupun offline untuk melawan stigma dan mendapatkan kembali kepercayaan diri mereka.

Saat ini komunitas Save Janda terdiri dari para janda dan mantan janda yang terbuka untuk mendengarkan cerita dan keluhan dari anggota lain. Komunitas Save Janda tidak hanya menyediakan ruang aman bagi anggotanya, tetapi juga memiliki sistem pendukung anggota.

Tentu saja, sesama anggota tidak hanya saling mendengarkan, tetapi juga membantu setiap masalah yang muncul.T ujuan Mutiara saat ini, setelah bertahun-tahun menciptakan komunitas, adalah untuk terus mengembangkan anggotanya dengan bekerja sama dengan bisnis lain.

Komunitas Save Janda tidak hanya terdiri dari perempuan; ada juga anggota laki-laki yang membantu pengembangan masyarakat. Lebih banyak orang, menurut Mutiara, akan menemukan bahwa kelompok pemberdayaan janda tidak menganggap janda sebagai lelucon di masa depan. 

Ainun Nabila

Baca Juga