Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Foto Update Jumlah Penonton Film Believe: Takdir, Mimpi, Keberanian (Instagram/ bahagiatanpadrama)

Ada satu hal yang sering bikin penonton Indonesia mundur setengah langkah setiap kali mendengar ‘film nasionalis’, dan itu terkait narasinya yang terlalu lantang, banyak simbolis, dan terlalu sibuk mengajarkan penonton bagaimana seharusnya mencintai tanah air. Akhirnya, penonton merasa dipaksa. Padahal cinta, apalagi cinta pada negeri, nggak bisa dipaksa, yang mana itu harus lahir dengan sendirinya, dari ruang paling personal di hati manusia.

Itulah jurang yang membedakan Film Believe: Takdir, Mimpi, Keberanian dengan film semacam Merah Putih: One For All. Kalau yang terakhir sibuk membangun kontroversi nasionalisme tapi nggak sadar betapa buruk kualitasnya, sedangkan Film Believe merayakan nasionalisme lewat kesederhanaannya. Misalnya, pergulatan karakter Agus, yang manusiawi dan tegar dalam keteguhannya.

Karakter Agus (Ajil Ditto) bukanlah pahlawan karangan. Dia adalah potret anak muda yang rapuh, ragu, bahkan sering dipandang sebelah mata. Ketika dia berusaha menapak jejak ayahnya sebagai tentara, dia harus menelan cibiran dan keraguan orang lain. Di titik itu, penonton merasa dekat, karena siapa sih yang nggak pernah meragukan dirinya sendiri? Dari sinilah film ini jadi terasa membum, yang bicara dengan bahasa pengalaman sehari-hari, bukan bahasa pidato di panggung besar.

Nasionalisme dalam Believe besutan Sutradara Rahabi Mandra dan Arwin Tri Wardhana (berdasarkan biografi Jenderal Agus Subiyanto), nggak muncul tiba-tiba lewat pekik “Merdeka!” yang membahana, melainkan lewat langkah kecil manusia yang belajar percaya pada dirinya.

Nah, angka satu juta penonton bukanlah sekadar pencapaian komersial. Ini tuh tanda bahwa film ini berhasil menyentuh banyak hati. Kalau film nasionalis biasanya hanya bertahan sebentar karena dianggap terlalu berat, film ini malah mampu bertahan karena memang menghibur dan mengundang empati penonton, bukan menggurui. 

Bagiku, film ini nggak mendewakan tentara sebagai sosok tanpa cela. Justru, memperlihatkan sisi rapuh, takut, ragu, bahkan ingin menyerah. Heroisme sunyi inilah yang membuat film ini lebih kuat daripada film nasionalis lain yang hanya mengejar skala besar tapi kehilangan jiwanya.

Bahkan, film Believe: Takdir, Mimpi, Keberanian terasa lebih seperti doa yang dibisikkan lewat layar lebar. Ya, doa agar kita nggak melupakan akar, doa agar nasionalisme nggak mati di balik jargon, dan doa agar setiap orang berani percaya pada diri sendiri, pada mimpi, serta pada tanah air.

Maka pantaslah film ini di bulan kemerdekaan disambut sejuta penonton, seharusnya pun bisa lebih. 

Kalau dipikir-pikir, nasionalisme yang tumbuh dari ruang personal memang selalu lebih kuat daripada yang dipaksakan lewat simbol-simbol megah. Ketika Agus berjuang melawan rasa nggak percaya diri, itu sebenarnya cerminan dari perjuangan bangsa ini juga yang berulang kali diragukan, tapi tetap bangkit, tetap melangkah, meski dengan luka di dalam dada.

Mungkin inilah alasan kenapa Film Believe bisa terasa begitu dekat. Karena film ini nggak cuma bicara tentang tentara atau sejarah seorang jenderal, tapi tentang kita semua yang pernah jatuh dan belajar percaya lagi. Ada nasionalisme yang berakar dari kerendahan hati, bukan dari teriakan lantang; dari kesunyian doa ibu yang melepas anaknya, dari keberanian kecil yang kadang nggak dilihat orang, dan dari keyakinan untuk berdiri meski dunia berkata, “Kamu nggak akan bisa.”

Di titik inilah aku merasa, sejuta penonton itu bukan hanya angka di layar bioskop. Itu semacam kesaksian bersama, bahwa masyarakat kita masih bisa terhubung dengan gagasan cinta tanah air yang sederhana dan tulus. Nasionalisme nggak mati, dia hanya menunggu cara bercerita yang tepat agar kembali terasa hidup. Dan film ini, dengan segala kerendahan hatinya, sudah membuktikan itu.

Sudahkah Sobat Yoursay menjadi bagian dari Film Believe: Takdir, Mimpi, Keberanian?

Athar Farha