Setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, sesuai dengan hari lahir Raden Ajeng Kartini pada 21 April 1879. Sosok Kartini disimbolkan sebagai pejuang emansipasi dan feminisme Indonesia. Mengingat waktu itu, Kartini dengan keteguhan hatinya berani melawan sistem feodalisme dan menuntut persamaan hal antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam hal pendidikan.
Dalam bukunya Gelap Terbitlah Terang, perjuangan Kartini terangkum dalam kalimat, “jika perempuan itu berpelajaran, lebih cakaplah dia mendidik anaknya dan lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya, dan lebih majulah bangsanya.” Sehingga pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai instrumen fundamental yang diperjuangkan demi menuntut adanya persamaan.
Berdasarkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feminisme diartikan sebagai gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Sederhananya feminisme dapat dipahami upaya pemberdayaan perempuan untuk bisa berpartisipasi dalam berbagai hal.
Dewasa ini, gerakan dan partisipasi perempuan sudah cukup baik dibandingkan yang dulu, perempuan sudah bisa memiliki akses dalam pendidikan setara dengan kaum laki-laki. Begitu dalam bidang politik, bahkan ada kuota khusus 30% diperuntukan untuk kaum perempuan. Hanya saja dominasi kaum laki-laki masih unggul, yang disebabkan adanya patriarki liar dan struktur sosial yang menguat. Perempuan kadang diklaim kerjanya cukup menjadi ibu rumah tangga saja, argumentasi agar perempuan lebih feminim masih sangat kuat, artinya ada sebuah bentukan sosial kalau perempuan harusnya seperti ini dan itu.
Perjuangan antara kaum tertindas dengan yang menindas
Terlepas dengan perjuangan perempuan menuntut persamaan hak, tak terkecuali juga adanya persamaan hak antara golongan masyarakat kelas bawah dan kelas atas. Perjuangan perempuan hari ini, sebenarnya tidak fokus hanya sekedar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, tetapi dengan pengaruh sistem kapitalisme yang membuat kebanyakan perempuan tertinggal dengan perempuan lain yang ekonominya berada di kelas atas.
Fokus penindasannya antara yang kaya dan miskin, kalau dalam bahasa Karl Max (pejuang gerakan sosial yang berjenggot) motifnya adalah penindasan antara kaum borjuis dengan proletar, penindasan tidak melihat lagi laki-laki maupun perempuan. Tetapi siapa yang mendominasi kekuasaan, sehingga gerakan perempuan dibutuhkan gerakan sosial secara bersama antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama tertindas.
Kekerasan seksual masih menjadi PR terbesar
Selain penindasan terhadap perempuan kelas bawah, problem terhadap perempuan masih marak terjadi dengan adanya kekerasan seksual. Walau kekerasan seksual ini bisa terjadi kepada siapa saja, namun dominasi perempuan yang mengalami kekerasan seksual kerap kali terjadi.
Berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indonesia masih darurat kekerasan seksual. Dalam catatannya, kasus kekerasan terhadap anak mencapai 9.588 pada tahun 2022. Motif kekerasan yang dialami korban dengan pemerkosaan.
Baru-baru ini juga yang viral di medial sosial, salah satu pengasuh pondok pesantren (ponpes) di kabupaten Batang Wildan Mashuri (57), tersangka melakukan pencabulan dan pemerkosaan terhadap belasan santrinya. Hal itu diketahui saat konferensi pers di Mapolres Batang, (11/4/2023).
Kasus demikian bisa jadi hanya sebagai contoh kecil kekerasan seksual terungkap. Tidak menutup kemungkinan masih banyak kekerasan seksual yang tak diketahui oleh publik, selain karena korban masih dalam trauma juga bisa karena tidak adanya pendampingan terhadap korban ketika mengalami kekerasan seksual.
Penting dipahami bahwa kekerasan seksual tidak berhenti hanya sekedar pemerkosaan, tetapi bisa juga terjadi kekerasan seksual secara verbal maupun non verbal. Oleh karena itu, korban yang mengalami kekerasan seksual mesti berani melawan dan melaporkan kepada pihak terkait, jangan takut untuk tidak buka mulut. Terlebih lagi pendampingan dan posko pengaduan kekerasan seksual (baik lembaga maupun perseorangan) mesti dimassifkan dengan baik.
Melalui momen Hari Kartini ini, mesti menjadi cambukan untuk kita semua agar bisa sama-sama memberantas segala motif kekerasan seksual. Selain karena sebagai perbuatan yang tidak terpuji, juga perbuatan yang dapat merusak harkat dan martabat manusia, terlebih merusak bangsa dan negara.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Gagasan Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Perlunya Akses Pendidikan Merata
-
Hari Raya Idul Fitri, Memaknai Lebaran dalam Kebersamaan dan Keberagaman
-
Lebaran dan Media Sosial, Medium Silaturahmi di Era Digital
-
Ketupat Lebaran: Ikon Kuliner yang Tak Lekang oleh Waktu
-
Dari Ruang Kelas ke Panggung Politik: Peran Taman Siswa dalam Membentuk Identitas Bangsa
Artikel Terkait
-
Menelisik Jejak Ki Hadjar Dewantara di Era Kontroversial Bidang Pendidikan
-
Analis Bongkar Alasan PDIP Belum Juga Gelar Kongres hingga Pertengahan April
-
Kepingan Mosaik Keadilan Reproduksi bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual
-
Apakah Hari Kartini Libur Tanggal Merah? Jangan Keliru, Ini Aturan Resmi Pemerintah
-
Menata Ulang Kebijakan Aborsi Aman Bagi Korban Kekerasan Seksual
Kolom
-
Penurunan Fungsi Kognitif Akibat Kebiasaan Pakai AI: Kemajuan atau Ancaman?
-
Komitmen Relawan Mahasiswa, Sekadar Formalitas atau Pilihan Hati?
-
Menelisik Jejak Ki Hadjar Dewantara di Era Kontroversial Bidang Pendidikan
-
Nilai Tukar Rupiah Loyo, Semangat Pengusaha Jangan Ikut-ikutan!
-
Ki Hadjar Dewantara dalam Revitalisasi Kurikulum yang Relevan
Terkini
-
Cate Blanchett Isyaratkan Ingin Pensiun dari Dunia Akting: Aku Mau Berhenti
-
5 Anime yang Paling Banyak Dinominasikan di Crunchyroll Anime Awards 2024
-
Suho EXO Terpilih Jadi Duta Kehormatan Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia
-
Masuki Babak 4 Besar, Tim Mana yang Paling Lemah di Semifinal Piala Asia U-17?
-
Chill dan Stylish, Ini 4 Daily Look ala BIBI yang Cocok Buat Kamu Coba