Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Davina Aulia
Ilustrasi seseorang yang sedang frustrasi (Unsplash.com/Tim Gouw)

Putus cinta bukan hanya soal kehilangan seseorang, tapi juga kehilangan rutinitas, ekspektasi, dan rasa aman yang pernah terbangun. Banyak orang mengatakan move on itu mudah, yang sulit adalah melupakan,” dan pernyataan ini sejalan dengan kenyataan bahwa meskipun hubungan telah usai, memori tentangnya tetap membekas kuat di otak. Mengapa hal ini terjadi? Mengapa sebagian orang butuh waktu yang sangat lama untuk benar-benar melepaskan seseorang dari hidup dan pikiran mereka?

Isu ini tidak sekadar soal kerapuhan perasaan, melainkan menyentuh aspek neurologis dan psikologis. Otak manusia dirancang untuk mengingat hal-hal yang bermakna, apalagi jika berkaitan dengan emosi yang intens. Hubungan romantis termasuk dalam kategori ini, di mana pengalaman emosional seperti cinta, kecewa, hingga harapan tergabung dalam satu rangkaian pengalaman otak. Hal inilah yang membuat kenangan akan mantan pasangan menjadi sangat sulit untuk dihapus.

Memori Emosional: Jejak yang Tak Mudah Hilang

Ketika seseorang menjalin hubungan, sistem limbik di otak yang mengatur emosi akan aktif secara signifikan. Bagian seperti amigdala dan hipokampus bekerja keras menyimpan detail-detail dari pengalaman romantis, terutama yang bersifat emosional. Otak tidak hanya merekam momen manis seperti pelukan atau tawa bersama, tapi juga rasa sakit saat pertengkaran terjadi. Semua ini membentuk jejak memori emosional yang kuat.

Memori emosional berbeda dari memori biasa. Ia tidak selalu muncul secara logis, namun bisa muncul tiba-tiba saat kita mendengar lagu tertentu, mencium aroma familiar, atau melihat tempat yang pernah dikunjungi bersama. Inilah sebabnya kenangan bisa terasa begitu segar, seolah baru terjadi kemarin, padahal sudah bertahun-tahun berlalu.

Proses Detoks Emosional: Mengapa Butuh Waktu?

Proses move on sebenarnya mirip seperti proses detoks. Otak kita butuh waktu untuk menyesuaikan ulang kebiasaan dan struktur pemrosesan emosinya. Ketika kita terus-menerus mengingat mantan pasangan, bagian otak yang biasa aktif saat sedang jatuh cinta tetap bekerja. Inilah yang menyebabkan rasa rindu, ilusi romantis, dan keinginan untuk kembali kerap muncul, bahkan jika logika berkata sebaliknya.

Tak hanya itu, beberapa individu memiliki kecenderungan untuk mengidealisasi masa lalu, khususnya saat masa kini terasa berat atau tidak menyenangkan. Dalam situasi seperti itu, mantan pasangan bisa menjadi simbol kenyamanan atau keamanan yang dulu pernah dimiliki, sehingga otak secara otomatis kembali pada kenangan itu sebagai bentuk pelarian.

Peran Media Sosial dan "Mental Rehearsal"

Di era digital, proses move on semakin sulit karena keberadaan media sosial. Tanpa sadar, kita melakukan "mental rehearsal" saat melihat unggahan mantan atau menggulir foto-foto lama. Hal ini memperkuat jalur-jalur saraf di otak yang berkaitan dengan mantan pasangan, memperlambat proses pemutusan emosi.

Menurut penelitian, otak kita tidak dapat dengan mudah membedakan antara pengalaman nyata dan visualisasi berulang. Semakin sering kita terpapar memori yang sama, otak menganggapnya sebagai hal relevan dan memperpanjang "masa aktif" emosi tersebut. Maka dari itu, penting bagi seseorang yang ingin move on untuk memberi jarak secara visual dan emosional.

Move on bukanlah persoalan sepele yang hanya berkaitan dengan keinginan atau niat. Ia adalah gabungan antara proses biologis otak dan dinamika psikologis individu. Mengenali bahwa otak menyimpan hubungan yang sudah usai sebagai bagian dari sistem memori emosional dapat menjadi langkah awal untuk berdamai dengan masa lalu.

Tidak ada batas waktu pasti untuk menyembuhkan luka hati, namun memahami bagaimana otak bekerja memberi kita perspektif baru. Bahwa setiap kenangan yang tersimpan bukan untuk menyiksa, melainkan sebagai bukti bahwa kita pernah merasa sangat hidup. Maka, ketika waktunya tepat, otak pun akan membuka ruang untuk pengalaman baru yang mungkin lebih sehat dan membahagiakan.

Davina Aulia