Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Icha Nurcahyati
Ilustrasi menikah (Unsplash/Sandy Millar)

Tahun 2021 publik digemparkan dengan perceraian antara Alvin Faiz dengan Larissa Chou yang merupakan pasangan idola di media sosial. Mereka berdua menikah di usia yang cukup muda, Alvin berusia 17 sedangkan Larissa berumur 20 tahun.

Lewat layar ponsel, mereka pasangan yang romantis dan menjadi panutan para anak muda untuk melaksanakan nikah muda. Sayangnya rumah tangga yang sudah berjalan sejak tahun 2016 tersebut harus kandas.

Fenomena menikah muda seolah menjadi tren di kalangan remaja. Data dari BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2022 mencatat sebanyak 33,76% pemuda menikah muda dengan rentang usia 19-21 tahun, menjadi posisi tertinggi dalam data tersebut.

Ada banyak hal yang menjadi pendorong pasangan muda tersebut melakukan pernikahan di usia muda. Selain karena faktor ekonomi, pendidikan dan lingkungan, pengaruh tontonan konten terkait nikah muda juga cenderung mendorong terjadinya pernikahan muda.

Konten mengenai nikah muda yang memperlihatkan sisi baik dan kemesraan dari pernikahan banyak bertebaran di media sosial dan dikonsumsi para remaja. Disukai dan dibagikan oleh ribuan orang. Tidak sedikit pasangan muda yang menjadi pemengaruh memamerkan kemesraan di media sosial.

Akun-akun terkait gerakan menikah muda juga menjamur di media sosial. Konten tersebut menjadi candu dan membentuk persepsi bahwa pernikahan bisa segera menyelesaikan masalah mereka yang entah karena himpitan ekonomi ataupun sebagainya, tidak sedikit anak muda yang mengatakan “Capek belajar, mau nikah aja!”. Padahal setelah akad dilangsungkan banyak masalah yang lebih rumit yang mungkin akan menerpa.

Pengguna media sosial yang terpapar konten tersebut dikenali oleh algoritme internet sehingga konten yang ditampilkan hanya menampilkan romantisme dari pernikahan muda saja daripada konsekuensi di baliknya. Lebih lanjut fenomena ini dapat dikaitkan dengan filter gelembung.

Filter gelembung (filter bubble) terjadi ketika algoritme membentuk gelembung informasi bedasarkan perilaku seseorang, misalnya saja dengan menyukai sebuah postingan, membagikan, mengomentari, klik link tertentu, hingga history pencarian.

Perilaku tersebut membuat konten yang ditampilkan hanya berupa informasi yang sama dan sesuai dengan pandangan penggunanya saja. Hal ini berbahaya karena memicu ruang bergema (echo chamber) yang mana pengguna tersebut dapat terjebak pada pandangannya sendiri tanpa memperoleh perspektif lain, akibatnya dapat terpapar informasi palsu karena hanya meyakini informasi yang sama tanpa melihat sudut pandang lain yang bertentangan.

Pada kasus terkait fenomena nikah muda ini, konten media sosial yang ditampilkan berupa romantisasi pernikahan. Remaja yang mengonsumsi konten tersebut kemudian mulai terpapar informasi yang serupa dikarenakan efek filter gelembung sehingga membentuk pandangan yang positif terkait nikah muda. Akhirnya mereka terjebak pada ruang bergema tanpa memperoleh sudut pandang lain terkait nikah muda.

Padahal di sisi lain pernikahan membutuhkan kematangan fisik, mental dan finansial. Pernikahan muda memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga hingga pada perceraian karena belum matangnya kesiapan satu sama lain.

Jika pada kasus Alvin dan Larissa, mereka yang memiliki kesiapan finansial saja bisa bercerai juga, bagaimana dengan pasangan muda yang menikah tanpa persiapan finansial?

Kematangan fisik terkait dengan kesiapan alat-alat reproduksi untuk melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya. Menurut BKKBN, pernikahan di usia muda yang mana pada wanita berusia di bawah 20 tahun rentan terkena kanker serviks karena alat reproduksi yang belum matur.

Persiapan mental juga sama pentingnya, diperlukan upaya dalam mengontrol emosi sehingga bisa menghadapi permasalahan dalam pernikahan. Kesiapan mental juga tidak bisa dicapai oleh remaja di bawah usia 20 tahun, alhasil mereka yang belum siap mental mengalami gangguan psikologis seperti rasa cemas, stress dan depresi.

Oleh karena itu, diperlukan pemikiran matang-matang sebelum memutuskan untuk menikah muda. Nikah muda sah-sah saja jika memang sudah siap secara mental, fisik dan finansial. Bahkan nikah muda memiliki keuntungan seperti dapat membentuk pola pikir dewasa dan jiwa mandiri.

Perlu dicatat bahwa tidak seharusnya menikah muda karena terbawa konten-konten romantisme di media sosial ataupun pelarian dari masalah, menikah cepat belum tentu memberikan kebahagiaan dan jalan keluar dari setiap masalah.

Jika terjebak pada satu sudut pandang akibat konten yang diseleksi filter gelembung sebaiknya mulai mencari informasi baik dan buruk dari menikah di usia muda untuk diijadikan bahan pertimbangan sebelum melangsungkan pernikahan muda.

Icha Nurcahyati

Baca Juga