Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Hirza Barizi
Acara di MCC ruangan amphitheatre. (Dokumentasi pribadi/Hirza Barizi)

Gen Z menurut penelitian lebih rentan dengan gangguan kejiwaan. Tetapi, di sisi lain mereka juga lebih terbuka mendiskusikan kesehatan mental dengan orang lain. Celah ini dimanfaatkan oleh Yayasan Mahargijono dan mitra melalui MOU yang ditandatangani 23 September 2024, mengutip situs web resmi Lingkar Sosial Indonesia berjudul “Urgensi Edukasi Mental Health dan Regulasi Pencegahan Bullying Penyandang Disabilitas”, 23 September 2024.

Bersama Malang Creative Center (MCC) dan Lingkar Sosial, Yayasan Mahargijono meluncurkan Pojok Curhat. Di Pojok Curhat anak muda bisa meluapkan masalah dan emosi yang mereka hadapi dan mendapatkan arahan yang sesuai psikologis.

Kounselor Pojok Curhat juga berasal dari anak muda. Mereka adalah peer counselor dan tidak semua berlatar belakang Psikologi. Namun, mereka sudah dilatih oleh praktisi counseling.

Melalui chat, founder Lingkar Sosial, Bapak Ken Kerta mengatakan  layanan ini rencananya  diluncurkan pada Hari Kesehatan Jiwa Dunia pada Kamis 10 Oktober 2024, namun diundur karena masalah teknis. Jika sudah siap, klien bisa mengunjungi Pojok Curhat di gedung MCC Kota Malang atau menelepon nomor hotline.

Kita harus ketar-ketir

Di tengah bulan Desember 2023, mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) sedang mengerjakan ujian akhir semester ketika debuman terdengar. Sesuatu yang berat telah terjatuh. Beberapa anak melacak sumber suara hingga sampai ke sebuah pelataran di lantai empat gedung Fakultas Ilmu Komputer. Tempat yang biasa dijadikan area duduk-duduk itu sepi karena ujian. Tidak ada orang di balkon itu, kecuali satu mantan mahasiswa yang kehilangan nyawa lompat dari lantai 12.

Seorang anak cowok pergi keluar kostan pada Sabtu pagi bulan Juli. Keramaian tengah kota mengelilinginya walau mungkin ia tak menyadari sebab pikirannya tertuju pada satu hal. Juli adalah bulan-bulan sejuk di Kota Malang dan memang bersantai di atas jembatan sembari melihat sungai mengalir adalah pengalaman syahdu. Tapi ia datang bukan untuk itu. Tidak terasa 10 meter jarak vertikal dilaluinya dalam sekedip mata. Sekarang tulang punggungnya patah. Ia menanti ajal ditemani suara aliran sungai. Dua malaikat menghampirinya. Mereka mengangkatnya dari tebing itu. Ia dievakuasi dua relawan dan selamat.

Apa persamaan dua kasus itu? Kedua korban masih sangat muda: 24 dan 19 tahun. Keduanya masih punya masa depan yang panjang.

Angka bunuh diri meningkat secara mengkhawatirkan. Menurut data dari database kepolisian. tahun 2019 sebanyak 230 kali terjadi, hanya berselang empat tahun menjadi 1.226 kasus pada 2023. Lebih penting lagi adalah fakta bahwa di periode 11 tahun sampai 2023, 46 persen korban bunuh diri adalah remaja, termasuk yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Keputusan menghakhiri hidup dipicu penyakit, gangguan keuangan, asmara, dan lainnya. Memang berbeda-beda, tetapi pada intinya setiap korban bunuh diri menghadapi masalah yang ia tak kuat lagi menjalaninya. Padahal masalah pribadi tidak mesti ditanggung sendiri. Berbicara dengan kounselor atau mengikuti “talk therapy” terbukti efektif dalam mengurangi risiko bunuh diri, berdasarkan review dari Pablo Méndez-Bustos, dkk. Tahun 2019 seperti dikutip National Institute of Health.

Bahaya laten

Masalah stunting menjadi hirauan bagi pemangku kepentingan di Indonesia. Apalagi pada pilpres 2024 ketika Prabowo mengangkat isu gizi tersebut sebagai program utamanya.

Prabowo mengatakan pada Antara (08/11/2023), "Ini adalah strategi jangka panjang untuk memperbaiki kondisi sumber daya manusia, menghilangkan stunting, mengurangi dan menghilangkan rakyat miskin. Dengan makan yang kami berikan, generasi yang akan datang akan mampu menyongsong Indonesia makmur,".

Prabowo mengikuti tren yang memasukkan mutu sumber daya manusia (SDM) dalam isu pembangunan. Sebagai konsekuensinya, kemajuan Indonesia di masa depan akan bergantung pada solusi pemangku kepentingan terhadap stunting. Penulis setuju dengan solusi pembangunan berbasis manusia ini. Namun, ada yang kurang.

Katakan seorang anak terpenuhi gizinya. Ia bertumbuh menjadi anak yang cerdas. Juga berkat akses sekolah gratis, ia berprestasi hingga SMA dan masuk kuliah di perguruan bergengsi. Namun, anak jenius itu kemudian menghadapi masalah yang di luar kesanggupannya. Akhir cerita, ia menjemput ajalnya sendiri.

Apakah Indonesia kehilangan seorang anak muda yang kejiwaannya lemah? Atau Indonesia kehilangan calon ilmuwan dan pebisnis yang akan mengangkat ekonominya?

Penulis tidak mengada-ngada. Kasus yang diceritakan di bagian sebelumnya melibatkan dua mahasiswa. Dan dalam satu pekan ini saja tiga mahasiswa melakukan bunuh diri di Indonesia (BBC Indonesia, 10/10/2024).

Kalau tidak mau anggaran makan gratis dan pendidikan gratis sia-sia, pemerintah dan masyarakat harus mulai serius mengobati stunting yang lain: “stunting mental.” Jangan sampai membahayakan masa depan negara karena anak-anak yang punya potensi banyak gugur di medan pertempuran batin.

Peer counselor, bukan psikolog, memang bisa?

Karena sifat peer counselor yang berasal dari kalangan non-Psikologi, muncul pertanyaan akan kemanjuran skema ini. Dorien Smith dkk. Dalam review berjudul “The effectiveness of peer support for individuals with mental illness” mengonfirmasi bahwa dalam banyak kasus peer counseling membantu pemulihan klien. Tentu menurut temuan itu peer counseling tidak berhasil sepenuhnya. Oleh karena itu, Pojok Curhat yang segera meluncur ini dapat merujuk teman curhat ke Yayasan Mahargijono untuk penanganan profesional.

Hirza Barizi

Baca Juga