Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sabit Dyuta
Ilustrasi guru (Pixabay/SyauqiFillah)

Beberapa waktu terakhir, media sosial dihebohkan oleh kasus viral seorang guru yang dituduh menganiaya siswanya. Kasus ini memperlihatkan ketimpangan dalam perlindungan terhadap profesi guru di Indonesia.

Sang guru, seorang tenaga honorer, yang telah mengabdi belasan tahun di dunia pendidikan, tiba-tiba harus menghadapi situasi yang mencekam. Meski bukti medis tidak mendukung tuduhan tersebut, kasus ini tetap berlanjut hingga ke ranah hukum formal.

Ironisnya, sebelum masuk ke jalur hukum, sang guru sempat ditawari "jalan damai" dengan syarat membayar hingga puluhan juta rupiah. Seorang pria yang mengaku kepala desa tersebutlah yang mendatanginya, dan beralasan kalau ia tidak tega melihat warganya sengsara karena kasus ini kemungkinan besar akan terus bergulir.

Namun, dari mana seorang guru honorer bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Ketidakmampuan sang guru untuk membayar "uang damai" akhirnya membuat masalah ini kian berlarut-larut dan menjadi kasus hukum yang lebih serius.

Kasus ini menyingkap ironi yang tajam dalam sistem pendidikan kita. Guru honorer, yang gajinya bahkan jauh dari yang sepantasnya, dihadapkan pada pilihan berat: membayar uang damai dengan nominal di luar kemampuan, atau menghadapi proses hukum yang melelahkan.

Bagaimana mungkin mereka yang telah mengabdi demi mencerdaskan anak bangsa kini harus menanggung beban seberat ini?

Kasus serupa ini bukanlah yang pertama dan kemungkinan besar bukan yang terakhir. Seperti mata rantai yang tak berujung, cerita serupa terus terulang di berbagai daerah. Guru yang berusaha menegakkan disiplin dengan menegur siswa yang merokok, berkelahi, atau bersikap tidak sopan, justru dihadapkan pada ancaman tuntutan.

Kondisi ini semakin memprihatinkan karena fenomena ini sering kali melibatkan siswa dari keluarga berpengaruh, seolah-olah kekuasaan bisa mengalahkan kebenaran.

Para guru kini berada dalam dilema besar. Di satu sisi, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk membentuk karakter siswa. Namun di sisi lain, setiap tindakan pendisiplinan bisa menjadi bumerang yang mengancam karier dan kehidupan mereka.

Rasa takut ini perlahan menggerogoti semangat mengajar, membuat banyak guru berpikir untuk memilih "tutup mata" daripada mengambil risiko dituntut atau diperas secara finansial.

Situasi ini semakin menyedihkan karena minimnya dukungan sistem terhadap para guru. Alih-alih mendapat perlindungan, beberapa pihak justru memanfaatkan keadaan untuk mencari keuntungan pribadi.

Praktik permintaan "uang damai" yang terjadi bahkan sebelum proses hukum dimulai menunjukkan betapa rentannya posisi para guru dalam sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Ketika guru honorer yang sudah terpinggirkan secara ekonomi juga kehilangan perlindungan hukum dan menjadi sasaran pemerasan, bagaimana mungkin kita berharap pendidikan Indonesia bisa maju?

Mereka yang seharusnya dihormati sebagai pencetak generasi masa depan bangsa, justru dipaksa hidup dalam ketakutan akan tuntutan hukum dan tekanan finansial setiap kali berusaha mendidik dengan tegas.

Sudah saatnya pemerintah pusat mengambil sikap tegas. Para guru, terutama guru honorer, membutuhkan lebih dari sekadar dukungan moral.

Mereka membutuhkan sistem yang melindungi hak-hak mereka, menghargai pengabdian mereka, dan memberikan rasa aman dalam menjalankan tugas mulia mendidik anak bangsa.

Tanpa perubahan sistemik ini, kita mungkin akan kehilangan esensi pendidikan itu sendiri. Generasi yang kita bentuk tidak hanya perlu cerdas, tetapi juga harus berakhlak mulia dan menghargai para pendidiknya.

Sabit Dyuta