Presiden Prabowo baru saja meresmikan lebih dari 80.000 Koperasi Desa Merah Putih, yang katanya bertujuan sebagai motor penggerak ekonomi kerakyatan. Ada logistik desa, ada gerai sembako, klinik, hingga fasilitas simpan-pinjam. Tak tanggung-tanggung, total anggarannya mencapai Rp400 triliun dan skema pinjaman hingga Rp3 miliar per koperasi.
Konsep koperasi itu sendiri memang bagus, ia mengajarkan tentang kebersamaan, gotong royong, dan semangat rakyat membantu rakyat. Tapi realitanya, koperasi yang dikelola dengan dana besar dan pengawasan minim, sangat rentan menjadi ladang korupsi.
Contoh kasusnya seperti di Kulon Progo, seorang pegawai koperasi ditangkap karena menggerogoti dana nasabah. Di Magetan, lebih dari 43 miliar rupiah raib bersama kepercayaan ribuan anggota. Dan ini hanya dua dari sekian kasus yang mencuat.
Studi CELIOS (Center of Economic and Law Studies) bahkan memperkirakan potensi kebocoran anggaran Kopdes Merah Putih bisa mencapai Rp48 triliun. Jika dihitung, itu setara dengan empat kali anggaran pembangunan IKN tahap awal.
Hal yang membuat situasi semakin riskan adalah pendekatan top-down yang diambil pemerintah. Instruksi Presiden dijadikan landasan hukum pembentukan koperasi, bukan inisiatif dari masyarakat. Ini bertolak belakang dengan prinsip koperasi yang seharusnya dibangun dari keinginan dan kebutuhan anggota, bukan dari perintah atas.
Akibatnya, banyak warga yang bahkan belum tahu-menahu soal Kopdes Merah Putih ini. Tidak ada sosialisasi, tidak ada edukasi, tapi struktur koperasi sudah dibentuk dan dana besar disiapkan.
Kekhawatiran makin besar ketika kita menyadari bahwa dana koperasi ini berasal dari pinjaman bank yang dijamin oleh dana desa. Artinya, kalau koperasi bangkrut atau bermasalah, cicilannya tetap harus dibayar dari uang yang seharusnya untuk membangun jalan, sekolah, atau jembatan di desa. Jadi, kerugian akan berdampak pada nasib warga.
Selain itu, siapa yang mengelola koperasi ini? Kebanyakan yang ditunjuk bukanlah mereka yang kompeten, tapi mereka yang dekat dengan para pejabat atau penguasa. Kita sudah punya sejarah panjang tentang ini. Koperasi di masa Orde Baru, KUD misalnya, sering kali jadi sarang “Ketua Untung Duluan”—memperkaya segelintir orang, sementara anggotanya gigit jari.
Sadar akan potensi risiko itu, sebenarnya pemerintah mengklaim telah menyiapkan sejumlah langkah pencegahan.
Salah satunya adalah kerja sama antara Kementerian Koperasi dan Kejaksaan Agung dalam mengawasi jalannya Koperasi Merah Putih, lewat aplikasi bernama Jaga Desa. Aplikasi ini semacam kanal pelaporan online yang katanya bisa digunakan warga untuk menyampaikan pengaduan atau pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan program-program desa, termasuk koperasi.
Namun, seperti banyak aplikasi pemerintah lainnya, Jaga Desa masih lebih banyak dikenal di tingkat kementerian dibanding di desa-desa. Warga yang bahkan belum paham koperasinya saja, bagaimana bisa aktif melapor lewat aplikasi? Alih-alih jadi alat pencegahan, aplikasi ini dikhawatirkan hanya sebagai formalitas semata, lantaran jangkauannya masih minim dan pemanfaatannya pun belum banyak yang tahu.
Belum lagi kalau kita bicara soal transparansi keuangan. Pemerintah menyebut bahwa laporan koperasi akan diaudit dan bisa diakses publik. Tapi sejauh ini, belum ada kejelasan bagaimana sistem akses publik itu akan dijalankan.
Jadi, apakah Koperasi Merah Putih benar-benar solusi ekonomi kerakyatan, atau hanya proyek besar yang menggiurkan bagi mereka yang tahu cara mengakalinya?
Jawabannya belum bisa dipastikan sekarang. Tapi yang pasti, jika koperasi ini tidak dibangun atas kesadaran warga, dikelola oleh orang-orang profesional, dan diawasi dengan sistem yang benar-benar transparan, maka lagi-lagi ini hanya menambah daftar panjang proyek asal-asalan pemerintah, yang justru menyediakan wadah baru hilangnya uang rakyat tanpa jejak.
Baca Juga
-
Payment ID: Awal dari Negara Polisi Finansial?
-
Bobby, Polisi, dan Kucing yang Lebih Berharga dari Warga Negara?
-
Pajak UMKM Digital: Negara Sigap Memungut, tapi Lupa Melindungi
-
Pidato Prabowo di Kongres PSI: Antara Canda, Sindiran, dan Harapan Kosong
-
Bukan Cuma Skill, Kekompakan Tim Futsal Lahir dari Ngopi dan Candaan Receh
Artikel Terkait
-
5 Fakta Viral Gubernur Jambi Al Haris Tidur Saat Presiden Prabowo Pidato: Risiko Jadi Pemimpin!
-
Istana Akhirnya Buka Suara soal Diplomat Tewas Kepala Dilakban, Ini Sikap Presiden Prabowo
-
TKW Asal Pontianak Kirim Surat ke Prabowo, Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual Tapi Kasus Mandek!
-
Digi Koperasi dari Telkom: Dukung Digitalisasi Ribuan Koperasi Desa Merah Putih
-
Suara LIVE! Bentrok Telan Korban di Ceramah Rizieq Shihab, Sosok Pembuat Logo Baru HUT ke 80 RI
Kolom
-
Tugas dan Status: Membedah Jebakan Ganda yang Menguras Mental Pelajar
-
Gaji UMR, Inflasi Gila-gilaan: Mimpi Kemapanan Generasi Z yang Terjegal
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
-
Hormat Bukan Berarti Setuju! Gen Z dan Keberanian Berdialog
-
Payment ID: Awal dari Negara Polisi Finansial?
Terkini
-
5 HP Android yang Layak Dipertimbangkan sebelum Membeli Galaxy Z Fold 7
-
Ulasan Buku Granny Loves to Dance: Saat Nenek Tercinta Terkena Alzheimer
-
Lantik Pengurus GRADASI 20252030, Dave Laksono Soroti Ruang Digital dan Kendali Algoritma
-
Ulasan Film Kampung Jabang Mayit: Ritual Maut, Cerita Mistis Dukun Sadis!
-
5 Pemain Kunci Timnas Indonesia U-23 yang Sukses Repotkan Thailand