Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fasyeh Hamid
Konsep Mata Uang BRICS+

“Siapa kuat, dia memerintah”. Inilah esensi perang dagang 2.0 antara AS vs BRICS+ terkait status hegemoni dolar. Polarisasi memuncak setelah Presiden AS Donald Trump ancam isolasi ekonomi aliansi BRICS+ dengan tarif 100 persen jika berani dedolarisasi via proyek mata uangnya. Sebagai mitra baru BRICS+, bagaimana Indonesia harus merespons dedolarisasi ini dan menavigasi ancaman geopolitiknya?

Alasan utama pergeseran

Ancaman ini muncul sebagai respons terhadap KTT BRICS+ di Kazan, Rusia, Oktober 2024, yang salah satu resolusinya adalah memperluas transaksi non-dolar dan penggunaan mata uang lokal. Dolar adalah pilar hegemoni AS. Globalisasi mata uang BRICS+ tidak hanya akan menghapus leverage politik AS, tetapi juga mengukuhkan kekalahan ekonominya dari Tiongkok. Praktis, AS akan kehilangan tahtanya.

Ya AS digdaya, tapi dominasinya sebagai global reserve currency terus merosot. Sebagai player sekaligus “regulator”, inkompetensi fiskal AS—beban utang nasional (31 triliun USD) dan overpolitisasi sanksi—beriak ke arsitektur finansial global, picu instabilitas pasar. Sebagai “regulator” AS/Barat jelas terproteksi dari dampaknya, sementara Global South jadi korban utama lonjakan inflasi dan krisis utang.

Sikap non-akuntabel ini tercermin dari pernyataan legendaris Menteri Keuangan era Nixon, John Connally, “The dollar is our currency, but it's your problem,” yang menegaskan arogansi fiskal AS/Barat, dan kini jadi akselerator tren dolarisasi sekaligus dorong popularitas BRICS+.

Sistem dolar-sentris menjadi akar ketimpangan global. Valuasi dollar tinggi, AS bisa impor komoditas murah dari Global South, sekaligus untung besar dari excess returns ekspor modalnya. Misalnya, ketika AS berinvestasi (dalam dolar) di perusahaan minyak Indonesia, keuntungan—bunga atau posisi ekuitas—yang dihasilkan (dalam rupiah yang valuasinya lebih rendah) akan dikonversi kembali ke dolar dengan kurs yang menguntungkan AS. Supremasi skema aset asing AS inilah yang memungkinkannya hidup melebihi kapasitas ekonomi domestiknya, meskipun dengan defisit perdagangan yang besar.

Lebih lanjut, dominasi unipolar ini ciptakan paradigma stagnasi struktural baru: negara berkembang akan terus berkembang, tidak akan pernah maju. Dalam ekosistem ini, meski surplus perdagangan, negara berkembang tetap akan akumulasi dolar (transaksi internasional didominasi dolar). Kurangnya kapasitas untuk diversifikasi/industrialisasi ekonominya buat mereka stagnan pada ekstraksi bahan mentah dan low-end product, dan sebaliknya alihkan fokus investasi pada solusi jangka pendek yang cenderung lebih aman seperti surat utang AS (Treasury bills).

Siklus ini perkuat likuiditas finansial AS, buat negara berkembang makin bergantung dan pendam potensi mereka lampaui middle income trap. Mekanisme “ternak negara berkembang” ini sengaja dirancang AS untuk mempertahankan monopoli ekonomi global dan mencegah munculnya pesaing baru.

Arsitektur finansial ini memperkuat leverage politik AS, menjadikannya messiah dalam krisis global. Bantuan finansial yang diberikan seringkali tidak proporsional, hanya menguntungkan negara maju yang selaras dengan agenda politik AS, sementara negara berkembang dibiarkan tertatih-tatih. Dalam konteks ini, suara Global South terus dikerdilkan. Reformasi radikal jelas diperlukan, dan BRICS+ menjadi solusi paling relevan untuk menciptakan sistem keuangan yang lebih inklusif dan adil.

BRICS+ dan Indonesia bertindak

Sejatinya BRICS+ inginkan reformasi, bukan revolusi. Arsitektur finansial baru diciptakan bukan untuk musnahkan dolar, tapi gerus arogansi unipolar AS/Barat dan politisasi sanksi. Bagi BRICS+, hegemoni modern harus ditopang arsitektur finansial yang egaliter, demokratis, dan inklusif. BRICS+ sadar, konfrontasi AS/Barat hanya akan memperdalam polarisasi, yang justru membatasi fleksibilitas blok ini dalam mengembangkan pengaruh globalnya.

Oleh karena itu, politik persahabatan jadi ujung tombak hadapi tekanan eksternal. Keberhasilan pendekatan ini juga memberikan momentum politik bagi BRICS+ untuk memperoleh pengakuan internasional yang lebih besar—hal yang tidak sepenuhnya dicapai oleh pengalaman internasionalisasi yuan dan euro.

Menjawab tantangan disparitas ekonomi internal, BRICS+ usung sistem terdesentralisasi seperti dalam New Development Bank (NDB), di mana negara dominan seperti Tiongkok-Rusia-India tidak memiliki hak veto (beda dengan institusi Bretton Woods). Langkah strategis ini vital cegah dominasi tunggal, mengurangi ketimpangan global, dan mendukung visi kesetaraan kemakmuran.

Namun, musnahkan dollar juga bukan opsi ideal. AS/Barat dan BRICS+ saling membutuhkan. Misalnya, Tiongkok adalah pemegang dominan surat utang AS (772 miliar USD), kejatuhan arsitektur finansial dolar justru lukai ekonominya sendiri. Volume perdagangan intrablok terlalu besar untuk diabaikan begitu saja (nilai perdagangan G7-BRICS+ di 2023 capai 9,5 triliun USD). Meski begitu, ketergantungan ini bisa saja memudar jika kerangka rantai pasok hulu-hilir BRICS+ sudah terintegrasikan penuh. Lantas bagaimana Indonesia memposisikan diri?

Ilmuwan politik Eduardus Lemanto utarakan konsep menarik: “tidak ada penipuan jika bangsa tidak bisa ditipu”. BRICS+ ataupun kontestasi global lainnya hanyalah arena pertandingan, di mana hasil ditentukan oleh kemampuan berkompetisi dan kapitalisasi kesempatan. Dalam navigasi persaingan internal dan eksternal BRICS+, Indonesia tidak bisa hanya jadi penonton. Untuk bertahan dan menang, pilar-pilar bangsa—ekonomi, ketahanan, energi, dan politik—harus kokoh.

Untuk mengatasi kerentanan ekonomi dan memperkuat posisi dalam rantai nilai global, Indonesia harus fokus pada solusi struktural jangka panjang: diversifikasi sektor ekonomi dan industrialisasi SDA + integrasinya dalam rantai pasok BRICS+. Kebijakan moneter solid adalah fondasi kedaulatan dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam hal arsitektur finansial—baik itu BRICSpay, dolar, euro, atau lainnya—Indonesia tidak perlu memihak di tengah rivalitas tersebut. Penguatan pilar internal, seperti ekonomi dan ketahanan negara, jauh lebih strategis. Selain itu, internasionalisasi Rupiah secara bertahap dan paralel juga sangat krusial untuk memperkuat daya saing ekonomi dan mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar.

Namun, akselerator transformasinya tetap ada pada SDM. Seiring semakin eratnya integrasi Indonesia dengan BRICS+, tenaga ahli asing dapat masuk dan menggeser pekerja lokal jika mereka tidak mampu bersaing. Alih-alih menjadi tuan rumah dalam pembangunan sendiri, Indonesia malah hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri dan puas menjadi alas hegemoni BRICS+. Pengembangan SDM berbasis iptek adalah kunci untuk memastikan Indonesia relevan dan berdaya saing dalam tatanan ekonomi global yang terus berkembang.

Fasyeh Hamid

Baca Juga