Dalam sebuah negara yang mengaku demokratis, kebebasan berpendapat seharusnya menjadi fondasi yang tak tergoyahkan. Namun, belakangan ini, pola yang berulang terus terjadi: kritik dilemparkan, pihak yang merasa tersinggung bereaksi, lalu permintaan maaf dan klarifikasi menjadi akhir dari narasi yang seharusnya menjadi diskusi publik yang sehat.
Fenomena ini kian nyata ketika lagu "Bayar Bayar Bayar" dari Sukatani mendadak lenyap setelah menuai kontroversi dengan institusi kepolisian.
Musik, seperti bentuk seni lainnya, adalah cerminan realitas sosial. Sejarah telah mencatat bagaimana musisi sering menjadi suara dari kegelisahan masyarakat. Lagu-lagu protes, dari Iwan Fals hingga Efek Rumah Kaca, pernah menggema sebagai kritik terhadap kebijakan dan ketimpangan sosial.
Tetapi ketika lirik lagu yang mengangkat realitas pungutan liar harus ditarik dan para musisinya meminta maaf, pertanyaannya menjadi lebih besar: apakah kritik melalui seni masih bisa diterima, ataukah ruang demokrasi telah dipersempit oleh sensitivitas berlebihan?
Dalam kasus ini, bukan hanya soal sebuah lagu yang akhirnya dihapus. Ini adalah potret dari bagaimana kekuatan yang lebih besar masih memiliki kendali atas narasi publik.
Setiap kritik yang dianggap menyinggung institusi tertentu kerap berujung pada tekanan, bukan diskusi. Tidak jarang, klarifikasi yang diberikan bukan karena kesalahan yang diakui, tetapi karena tekanan yang datang dari pihak-pihak yang tidak ingin citranya terganggu.
Padahal, jika kritik selalu direspons dengan represi atau tuntutan klarifikasi, bukankah itu menandakan adanya sesuatu yang memang patut dikritik?
Fenomena "negara klarifikasi" bukan hanya terjadi pada dunia musik. Kritik di berbagai ranah, baik politik, hukum, maupun sosial, sering kali berakhir dengan skenario serupa.
Kasus demi kasus menunjukkan bahwa siapa pun yang berani menyuarakan kritik keras harus bersiap dengan konsekuensi: peringatan, ancaman, atau bahkan kriminalisasi.
Di tengah ketimpangan ini, masyarakat dibuat ragu untuk bersuara. Sebab, ketika kritik tidak bisa diterima dengan kepala dingin, siapa yang berani mengambil risiko?
Ini bukan sekadar perdebatan tentang satu lagu atau satu musisi. Ini adalah cerminan dari bagaimana demokrasi dijalankan. Demokrasi tidak hanya sebatas hak memilih pemimpin, tetapi juga kebebasan untuk berbicara tanpa takut dibungkam.
Kritik seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai pengingat bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Jika setiap kritik hanya berujung pada klarifikasi dan permintaan maaf, lalu di mana ruang untuk perubahan?
Negara demokratis seharusnya memiliki aparatur yang terbuka terhadap kritik, bukan justru menciptakan atmosfer ketakutan. Kalau kritik dianggap sebagai bentuk perlawanan yang harus diberangus, maka demokrasi itu sendiri sedang berada di ujung tanduk.
Masyarakat tidak boleh dibiarkan diam karena takut akan konsekuensi dari suara mereka. Sebab, tanpa kritik, tidak ada perbaikan. Dan tanpa perbaikan, demokrasi hanya akan menjadi sekadar jargon kosong.
Baca Juga
-
Ketika Pekerjaan Sulit Dicari, tapi Janji Politik Mudah Diberi
-
Review Novel 'Kotak Pandora': Saat Hidup Hanya soal Bertahan
-
Review Novel 'Totto-chan': Bukan Sekolah Biasa, Tapi Rumah Kedua Anak-anak
-
Benarkah 'Kerja Apa Aja yang Penting Halal' Tak Lagi Relevan?
-
Review Novel 'Jane Eyre': Ketika Perempuan Bicara soal Harga Diri
Artikel Terkait
-
Beda Lirik Lagu Bayar Bayar Bayar vs Polisi yang Baik Hati: Karya Sukatani dan Slank Jadi Omongan
-
Riuh Kasus Band Sukatani, Lagu "Polisi yang Baik Hati" dari Slank Kini Ramai Dihujat Lagi
-
Lagu 'Bayar Bayar Bayar' Band Sukatani Bikin Gempar, Begini Respons Kapolri
-
7 Fakta Sukatani, Band Punk Suarakan Isu Sosial yang Rajin Bagikan Sayur ke Penonton
-
Dijemput Crazy Rich Malaysia, Gaya Fuji di Bandara Bikin Heboh!
Kolom
-
Dapur Kosan Tanpa Pepes Ikan: Cerita Rasa dan Rumah yang Tertinggal
-
Ironi Indonesia: Lulusan Sarjana Melimpah dan Lapangan Kerja yang Kian Langka
-
Aku Menyandarkan Kenangan dan Kenyamanan pada Semangkuk Bubur Ayam Sejak Pagi Itu
-
Main Itu Serius! Ketika Dunia Lupa Bahwa Bermain adalah 'Pekerjaan' Anak
-
Semangkuk Mie Instan di Kosan: Cerita Persaudaraan yang Tak Terlupakan
Terkini
-
Dicukur Malaysia 4 Gol, Vietnam Tak Beranjak dari Kenangan Pahit Bersua Indonesia dan Filipina
-
Akar Lokal untuk Krisis Global: Bisa Apa Desa terhadap Perubahan Iklim?
-
Review Film Predator Killer of Killers: Saat Pemburu Jadi yang Diburu
-
Hargai Jasa Alfredo Vera, Manajemen Madura United Siap Lanjut Kerja Sama?
-
5 Rekomendasi Film Korea untuk Kamu yang Ingin Keluar dari Zona Nyaman