Korupsi selalu menjadi topik yang panas. Masyarakat ramai-ramai mengutuk pejabat yang menyalahgunakan wewenang, menuntut keadilan, dan mengecam perilaku yang merugikan negara. Namun, apakah semua orang benar-benar bebas dari praktik serupa dalam kehidupan sehari-hari?
Ironisnya, fenomena “korupsi kecil” justru sering kali dilakukan oleh mereka yang paling keras mengkritik. Dari menyelipkan uang kepada petugas agar urusan lebih cepat selesai, menerima bantuan yang sebenarnya bukan haknya, hingga menutup mata ketika ada ketidakadilan di sekitar. Semua ini dianggap sepele, bahkan dianggap wajar.
Kita ambil contoh dari bantuan sosial. Seharusnya, bansos diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Tapi di lapangan, realitanya sering berbeda. Ada saja aparat tingkat bawah yang menyalurkan bantuan bukan berdasarkan kebutuhan, melainkan kedekatan pribadi.
Sementara itu, ada warga yang benar-benar kesulitan, bahkan untuk makan sehari-hari saja susah, tapi malah tidak kebagian. Ini bukan sekadar ketidakadilan, tapi juga cerminan betapa rusaknya sistem kepercayaan di masyarakat.
Sikap ini berakar dari mentalitas “kesempatan dalam kesempitan”. Jika ada celah untuk mendapatkan keuntungan, mengapa tidak diambil? Padahal, inilah yang secara perlahan merusak sistem.
Ada yang menyerobot antrean karena kenal orang dalam, memakai fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, atau menerima "uang terima kasih" untuk sesuatu yang seharusnya dilakukan tanpa pamrih. Hal-hal seperti ini sering dianggap wajar, padahal pada dasarnya sama saja dengan korupsi.
Budaya permisif ini akhirnya membentuk mentalitas yang membenarkan korupsi dalam berbagai level. Jika orang terbiasa menganggap korupsi kecil sebagai sesuatu yang bisa dimaklumi, maka tidak heran jika korupsi besar tetap merajalela. Kita ingin perubahan besar, tapi sering lupa bahwa perubahan itu dimulai dari diri sendiri.
Jujur itu bukan hanya sesuatu yang dituntut dari pejabat atau orang lain. Kejujuran harus menjadi prinsip dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau kita ingin dunia yang lebih adil dan bersih dari korupsi, langkah pertama adalah berhenti menoleransi hal-hal kecil yang salah. Karena jika semua orang berani bertindak jujur, maka perubahan yang lebih besar bukan lagi sekadar harapan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ketika Pekerjaan Sulit Dicari, tapi Janji Politik Mudah Diberi
-
Review Novel 'Kotak Pandora': Saat Hidup Hanya soal Bertahan
-
Review Novel 'Totto-chan': Bukan Sekolah Biasa, Tapi Rumah Kedua Anak-anak
-
Benarkah 'Kerja Apa Aja yang Penting Halal' Tak Lagi Relevan?
-
Review Novel 'Jane Eyre': Ketika Perempuan Bicara soal Harga Diri
Artikel Terkait
-
Cek Fakta: Momen Sandra Dewi Menangis Dengar Putusan Suaminya Jadi 20 Tahun Penjara
-
DPR Minta Kepala OIKN Pikirkan Masyarakat Adat: Jangan sampai Kita Dikutuk
-
Pengusaha H Alim Diduga Mafia Tanah Proyek Tol, Fotokopi HGU hingga Dokumen Rapat Disita Jaksa
-
GAK-PLT Tuntut Perppu Pencabutan Revisi UU KPK Hingga Desak MA Beri Sangka Maksimal untuk Koruptor
-
Sambut Ramadan 1446 Hijriah, Dompet Dhuafa Hadirkan Sederet Program Sosial untuk Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Kolom
-
Peer Preasure dan Norma Feminitas: Ketika Bullying Halus Menyasar Perempuan
-
Sekolah Darurat Pembullyan, Kritik Film Dokumenter 'Bully'
-
Korban Bullying Memilih Bungkam, Ada Sebab Psikologis yang Jarang Disadari
-
Pejabat Asal Bicara: Apakah Tanda Krisis Retorika yang Tumpul?
-
Deforestasi: Investasi Rugi Terbesar dalam Sejarah Pembangunan Indonesia
Terkini
-
Virgoun Tanggapi Isu Rujuk dengan Inara Rusli, Tolak Mentah-Mentah?
-
Redmi TV X 2026 Resmi Rilis: Harga Rp 5 Jutaan, Bawa Panel Mini LED 55 Inci
-
6 HP Rp 7-10 Jutaan Terbaik 2025: Mana yang Masih Worth It Dibeli di 2026?
-
Review Film 13 Days, 13 Nights: Ketegangan Evakuasi di Tengah Badai Taliban
-
Debut Sutradara Lewat Film Timur, Iko Uwais Tuai Pujian: Nggak Kalah Keren dari Jadi Aktor!