Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Alfino Hatta
Presiden RI Soekarno dan Haerul Saleh besuk KHD (1 Desember 1957) — (Koleksi Istimewa Museum Dewantara Kirti Griya)

Di antara konstelasi pahlawan nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantara bersinar sebagai mercusuar pendidikan yang tak pernah pudar. Ia bukan sekadar nama di buku sejarah atau wajah di dinding sekolah, melainkan seorang visioner yang menjadikan pendidikan sebagai kunci pembebasan jiwa manusia—fisik, mental, jasmani, dan rohani.

Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan bukanlah sekadar menyampaikan fakta, tetapi sebuah proses suci untuk memerdekakan individu agar mencapai kebahagiaan dan keselamatan setinggi-tingginya.

Ki Hadjar: Guru Kekinian yang “Anti-Jamet”

Bayangkan Ki Hadjar Dewantara sebagai pendidik milenial: masuk kelas dengan totebag berisi kopi susu dan tablet, bukan tumpukan buku. Alih-alih menyuruh siswa menghafal, ia mungkin berkata, “Temukan apa yang membuat dirimu unik.” Bagi Ki Hadjar, pendidikan ideal adalah yang membebaskan—ibarat Wi-Fi gratis: memberi kebebasan dalam bingkai yang terarah.

Anak harus dituntun sesuai kodrat alam (bakat alami) dan kodrat zaman (tuntutan era). Prinsip ini hidup kembali dalam Kurikulum Merdeka, kebijakan Kemendikbudristek yang berpihak pada peserta didik dan relevan dengan perkembangan zaman.

Ki Hadjar juga menegaskan bahwa keluarga adalah “pusat data” pembentukan karakter. Dalam analogi modern, keluarga adalah “cloud storage” tempat nilai-nilai budi pekerti disimpan sebelum diakses di sekolah. Ia memandang pendidikan sebagai kolaborasi antara rumah, sekolah, dan masyarakat—seperti tim superhero yang bersinergi.

Pemikiran ini selaras dengan laporan Yayasan ISCO, sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada pendidikan anak-anak miskin. Menurut Yayasan ISCO, keterlibatan keluarga dan komunitas krusial dalam pendidikan, terbukti dari program mereka yang mengintegrasikan pembelajaran, kesehatan, dan pengembangan karakter untuk lebih dari 2.200 anak di Jakarta, Surabaya, dan Medan.

Pendekatan di Era Kurikulum Merdeka: Ki Hadjar Pasti Ngasih Jempol

Pada 2025, Indonesia sedang menikmati semangat Kurikulum Merdeka, yang seolah-olah adalah “cover version” dari pemikiran Ki Hadjar. Kurikulum ini memungkinkan siswa belajar sesuai minat, seperti memilih konten di platform streaming.

Menurut Kemendikbudristek, Kurikulum Merdeka telah diadopsi oleh lebih dari 140.000 satuan pendidikan hingga 2024, dengan fokus pada kompetensi dan karakter, bukan sekadar nilai rapor. Namun, tantangan tetap ada: banyak guru masih terpaku pada pendekatan “guru adalah Google”, di mana siswa hanya menerima informasi tanpa dilatih berpikir kritis.

Melansir World Bank melalui program ID-TEMAN, meskipun anggaran pendidikan Indonesia mencapai 20% APBN sejak 2002, hasil belajar siswa masih tertinggal, dengan 70% siswa gagal mencapai standar literasi dasar pada tes PISA 2018. Ini menggarisbawahi urgensi pendekatan Ki Hadjar yang berpusat pada siswa.

Di Bali, gagasan ini dapat diwujudkan melalui Tri Hita Karana—keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Siswa bisa belajar biologi sambil merawat sawah atau menciptakan seni yang terinspirasi dari upacara keagamaan. Yayasan Bumi Sehat, sebuah organisasi nirlaba di Bali, telah menerapkan pendekatan serupa dengan mengadakan kelas pendidikan kesehatan dan lingkungan yang melibatkan komunitas, mencerminkan semangat kolaboratif Ki Hadjar. Nilai gotong royong Bali juga menjadi “bumbu” pembelajaran, di mana siswa bekerja sama seperti saat menyiapkan canang sari.

Transformasi Paradigma: Dari Guru “Diktator” ke Fasilitator Gaul

Sebelum memahami Ki Hadjar, banyak pendidik memandang siswa sebagai “hard disk kosong” yang perlu diisi data. Kelas dianggap panggung monolog guru, dengan siswa sebagai penonton pasif. Namun, gagasan Ki Hadjar mengubah paradigma ini: siswa adalah aktor utama, sementara guru adalah sutradara yang membantu mereka menemukan “skrip” terbaik. Mengutip Network for Education Watch (NEW) Indonesia, pendekatan berpusat pada siswa meningkatkan motivasi belajar, terutama di kalangan siswa marginal.

Sebagai pendidik, menerapkan pemikiran Ki Hadjar berarti memberi ruang eksplorasi. Alih-alih menyuruh siswa menghafal nama pahlawan, ajak mereka membuat podcast tentang Ki Hadjar. Gantikan ujian tulis dengan proyek seperti mendesain motif endek modern. Menurut Kemendikbudristek, sekolah yang menerapkan pembelajaran berbasis proyek dalam Kurikulum Merdeka melaporkan peningkatan kreativitas siswa hingga 30% dalam dua tahun terakhir. Pendekatan ini membuat kelas lebih seru daripada scroll media sosial.

Harmoni Pendidikan dan Budaya Bali: Ki Hadjar Meets Tri Hita Karana

Di Bali, pendidikan ala Ki Hadjar ibarat tari kecak: harmonis dan penuh makna. Dengan Tri Hita Karana, siswa diajarkan menjaga keseimbangan dengan alam (melalui proyek daur ulang), memperkuat hubungan sosial (via gotong royong), dan memahami dimensi spiritual (melalui refleksi keagamaan). Ini menciptakan individu berjiwa besar—seperti pohon kelapa yang berbuah untuk semua.

Bali adalah “laboratorium hidup” pendidikan. Siswa bisa belajar matematika dari pola kain tenun atau sejarah dari cerita banjar. Program Keep Bali Beautiful, sebuah inisiatif nirlaba, mengedukasi siswa tentang pengelolaan sampah, mencerminkan semangat Ki Hadjar. Menurut Keep Bali Beautiful, program ini telah melibatkan lebih dari 50 sekolah di Bali, mengurangi sampah plastik hingga 20% di komunitas terlibat. Melansir World Bank, pendekatan berbasis budaya lokal di daerah seperti Papua meningkatkan kehadiran siswa hingga 15%, dan Bali bisa mengadopsi model serupa untuk pendidikan inklusif.

Tantangan dan Harapan: Mewujudkan Mimpi Ki Hadjar

Meskipun pemikiran Ki Hadjar selaras dengan pendidikan modern, tantangan tetap ada. Menurut World Bank, koordinasi pusat-daerah sering lemah, menghambat kebijakan pendidikan. Menurut Kemendikbudristek, hanya 60% guru memenuhi standar kompetensi pedagogik pada 2023. Program ID-TEMAN dari World Bank membantu dengan pelatihan guru. Organisasi seperti East Bali Poverty Project (EBPP) juga berperan, mendidik 44 siswa di Bali dengan kurikulum lokal pada 2023, menurut EBPP, mencerminkan semangat Ki Hadjar.

Harapan ke depan adalah ekosistem pendidikan yang memerdekakan. Guru harus menjadi fasilitator, siswa diberi ruang bereksperimen, dan pemerintah mendorong kebijakan inklusif seperti Program Indonesia Pintar, yang menurut Kemendikbudristek telah membantu 20 juta siswa miskin hingga 2024.

Ki Hadjar Dewantara adalah arsitek pendidikan yang memerdekakan, relevan hingga kini. Dengan Kurikulum Merdeka dan nilai Tri Hita Karana di Bali, gagasannya dapat menciptakan pendidikan inklusif dan kreatif. Dukungan dari Yayasan ISCO, Bumi Sehat, EBPP, Kemendikbudristek, dan ID-TEMAN memperkuat visinya. Mari jadikan Ki Hadjar sebagai “GPS” pendidikan: menunjukkan arah, tetapi memberi kebebasan memilih jalur.

Alfino Hatta