Kita pasti sudah sering mendengar komentar seperti, “Seblak tuh makanan cewek banget,” atau, “Cowok banget, nongkrong sambil ngopi hitam?” Tanpa disadari, kita kerap memberi label pada makanan berdasarkan gender, seolah-olah rasa, aroma, dan bentuk makanan bisa mencerminkan maskulinitas atau feminitas.
Fenomena ini tidak hanya hidup di obrolan ringan sehari-hari, tetapi juga tumbuh subur di media sosial dan budaya populer. Seblak, dengan cita rasa pedas dan tampilannya yang “ramai,” kerap dikaitkan dengan perempuan. Sementara itu, kopi, terutama kopi hitam tanpa gula, sering dianggap sebagai simbol kejantanan dan kedewasaan.
Namun, benarkah makanan memiliki gender? Apakah pilihan kuliner bisa mencerminkan identitas gender seseorang, atau hanya hasil konstruksi sosial yang terus-menerus direproduksi?
Tulisan ini akan mengulas bagaimana stereotip gender terbentuk dalam konsumsi makanan sehari-hari, dengan fokus pada dua contoh popular di Indonesia yaitu seblak dan kopi.
Makanan dan Gender: Antara Selera dan Konstruksi Sosial
Makanan pada dasarnya adalah kebutuhan biologis, namun dalam praktik sosial, makanan juga memuat simbol dan makna. Dalam masyarakat modern, makanan sering dikaitkan dengan citra gender tertentu.
Makanan yang dianggap "ringan", "berwarna", atau "beraroma kuat" kerap dikaitkan dengan perempuan, sedangkan makanan yang "pahit", "berbau kuat", atau "disajikan secara sederhana" sering diasosiasikan dengan laki-laki.
Fenomena ini merupakan bagian dari konstruksi sosial, yaitu proses pembentukan makna oleh masyarakat yang kemudian diterima sebagai kebenaran. Dalam konteks ini, selera makan bukan lagi semata-mata urusan lidah, melainkan bagian dari identitas sosial yang dibentuk oleh budaya, media, dan lingkungan sekitar.
Seblak dan Kopi: Antara Feminitas dan Maskulinitas Kuliner
Seblak dan kopi merupakan dua contoh makanan dan minuman yang kerap dilabeli secara gender. Seblak, dengan warna oranye kemerahan, rasa pedas, dan topping yang beragam, sering dianggap sebagai makanan “cewek”. Sementara itu, kopi, terutama yang hitam tanpa gula dianggap sebagai minuman “cowok”, karena kesan pahit dan kuat yang ditimbulkannya.
Stereotip ini diperkuat oleh representasi di media sosial, film, dan kebiasaan nongkrong. Cewek yang makan seblak sambil curhat dianggap wajar, sedangkan cowok yang melakukan hal sama bisa jadi bahan lelucon.
Sebaliknya, cowok yang ngopi di kafe dianggap keren dan dewasa, sedangkan cewek yang minum kopi pahit sering kali dikomentari sebagai "beda dari cewek kebanyakan". Hal ini menunjukkan bahwa makanan dan minuman bisa menjadi medium untuk membentuk dan mempertahankan stereotip gender.
Menuju Konsumsi Bebas Label Gender
Labelisasi gender pada makanan perlu mulai dipertanyakan. Setiap individu memiliki hak untuk memilih makanan tanpa takut dihakimi berdasarkan norma sosial yang sempit. Mengaitkan makanan dengan gender tidak hanya membatasi kebebasan individu, tetapi juga memperkuat stigma dan diskriminasi berdasarkan stereotip yang tidak berdasar.
Dekonstruksi terhadap stereotip ini bisa dimulai dari hal kecil, seperti berhenti mengomentari pilihan makanan seseorang berdasarkan gender, serta mengedukasi diri mengenai bagaimana budaya membentuk persepsi kita.
Dengan begitu, kita bisa menciptakan ruang yang lebih inklusif, di mana kopi bisa dinikmati oleh siapa saja tanpa label, dan seblak bisa disantap tanpa prasangka.
Stereotip gender dalam makanan seperti pada seblak dan kopi menunjukkan bahwa hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari pun tidak lepas dari konstruksi sosial. Labelisasi yang melekat pada makanan bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan hasil dari budaya dan kebiasaan yang terus-menerus direproduksi.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih kritis dalam menanggapi pandangan-pandangan yang membatasi kebebasan individu dalam mengekspresikan dirinya, termasuk dalam hal selera makan. Membangun kesadaran bahwa makanan tidak memiliki gender adalah langkah kecil.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Sportivitas, Kontrol Diri, dan Emosi: Nilai Psikologis di Balik Futsal
-
Aksi Sosial atau Ajang Branding? Menelisik Motif di Balik Amal Publik
-
Amal Tanpa Akar: Kritik terhadap Aksi Sosial Tanpa Dampak Berkelanjutan
-
Menemukan Diri di Lapangan: Futsal sebagai Ruang Pembentuk Identitas Remaja
-
Budaya Nongkrong di Lapangan: Futsal sebagai Simbol Solidaritas Anak Muda
Artikel Terkait
-
Mulai dari Kulkas: Ini 5 Tips Praktis Cegah Sampah Makanan di Rumah
-
Solusi Cerdas Atasi Food Waste: Budidaya Lele Rumahan dengan Pakan dari Limbah Dapur
-
Eksplorasi Kopi Bersama Lawson: Menyelami Rahasia Kopi Favorit Anak Muda
-
Makanan dan Minuman Manis Picu Gangguan Ginjal? Ini Penjelasan IDAI
-
Jessica Wongso di Media Australia, Wawancara Kontroversial Picu Kemarahan Masyarakat
Kolom
-
Menari Bersama Keberagaman: Seni Pembelajaran Diferensiasi di Kelas Modern
-
Koperasi Merah Putih: Antara Harapan dan Ancaman Pemborosan Dana Rakyat
-
Tugas dan Status: Membedah Jebakan Ganda yang Menguras Mental Pelajar
-
Gaji UMR, Inflasi Gila-gilaan: Mimpi Kemapanan Generasi Z yang Terjegal
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
Terkini
-
4 OOTD Soft Chic ala Kang Hanna, Bisa Buat Ngampus Sampai Ngopi!
-
Review Anime Tasokare Hotel, Kisah Sebuah Penginapan Antara Dua Dunia
-
Bintangi The Savant, Jessica Chastain Siap Bongkar Kejahatan di Dunia Maya
-
4 Gaya Girly Street Style ala Roh Jisun Buat Inspirasi Daily Outfit-mu!
-
5 Rekomendasi Film Baru Sambut Akhir Pekan, Ada The Fantastic Four: First Steps