Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Kapolri mendapat penghargaan dari ITUC (Instagram/divisihumaspolri)

Sebuah kabar datang dari dunia buruh Indonesia, bukan tentang kenaikan upah ataupun kebijakan baru. Tapi mengenai ITUC (International Trade Union Confederation) yang memberikan penghargaan kepada pejabat negara, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo.

ITUC adalah organisasi buruh terbesar di dunia yang bermarkas di Brussel, Belgia. Alih-alih memberikan penghargaan kepada aktivis atau tokoh sosial, penghargaan justru diberikan kepada pejabat negara. Bahkan Presiden KSPSI, Andi Gani Nena Wea, menyebut ini merupakan penghargaan tertinggi dan bersejarah.

Katanya penghargaan ini adalah apresiasi atas komitmen Kapolri yang membentuk desk ketenagakerjaan di tubuh kepolisian, membuka ruang demokrasi bagi kaum buruh.

Kapolri diapresiasi dunia internasional, apalagi oleh organisasi buruh. Kedengarannya ini kabar baik ya. Tapi kalau kita cermati lagi, justru bikin kita mengernyitkan dahi sambil bertanya, “Sejak kapan polisi jadi pahlawan buruh?”

Coba bayangkan, seorang buruh yang sudah berbulan-bulan tidak digaji, atau seorang ibu buruh yang di-PHK sepihak, lalu mereka mendengar kabar Kapolri dapat penghargaan internasional dari organisasi buruh. Mungkin mereka akan bertanya, "Penghargaan itu untuk apa? Apakah akan membantu saya mendapatkan hak saya yang belum dibayar?"

Penghargaan kepada pejabat negara semacam ini bukan hal baru. Kita pernah melihat penghargaan “pelindung HAM” diberikan kepada mereka yang rekam jejaknya justru dipertanyakan.

Kita bukannya menolak semua penghargaan. Tapi ketika penghargaan datang dari institusi internasional dan diberikan kepada aparat negara yang fungsi utamanya adalah penegak hukum, bukan pelindung kelas pekerja, maka wajar jika publik mempertanyakan apakah pemberian penghargaan ini merepresentasikan suara para buruh, atau hanya dinamika dalam elit organisasi?

Katanya penghargaan ini diberikan karena “komitmen Kapolri membuka ruang demokrasi bagi kaum buruh”. Mungkin ini terkait dengan kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi.

Namun, ruang demokrasi bukanlah sesuatu yang diberikan oleh penguasa, melainkan adalah hak. Setiap warga negara memiliki hak atas kebebasan berpendapat dan dilindungi undang-undang tanpa harus “diberi izin”.

Ironinya, seperti yang kita tahu, selama ini ketika aksi-aksi demonstrasi buruh sering kali yang terjadi adalah penolakan, pembubaran paksa, bahkan penangkapan.

Lalu sekarang Kapolri diberi penghargaan karena membuka ruang demokrasi bagi buruh? Hmm… tidak heran jika publik melayangkan respons negatif terkait hal ini.

Di sisi lain, publik juga berharap dengan adanya penghargaan ini, ke depannya polisi bisa benar-benar mendengar dan menindaklanjuti setiap aspirasi dari para buruh.

Lalu, mari kita bahas mengenai "desk ketenagakerjaan" di kepolisian. Menurut Presiden KSPSI, kehadiran desk ini bertujuan membantu buruh mendapatkan keadilan hukum. Karena buruh sering kali terpinggirkan dalam proses hukum, apalagi jika berhadapan dengan pengusaha atau korporasi besar. Nantinya para buruh yang mengalami ketidakadilan bisa datang ke desk ini, lapor, dan kasusnya akan ditindaklanjuti.

Tapi, realitanya tidak semudah itu. Kita tahu, kepolisian kita ini adalah institusi besar, dengan segudang masalahnya. Dari masalah oknum yang nakal, pungli, dugaan suap, hingga penanganan kasus yang lambat dan tidak transparan. Ini sudah menjadi rahasia umum. Publik sering kali mengeluh soal birokrasi yang berbelit, atau kasus-kasus yang "hilang" di tengah jalan.

Lalu apakah dengan polisi membentuk "desk ketenagakerjaan", semua masalah itu bisa terselesaikan?

Selain itu, buruh hari ini masih hidup dalam kondisi kerja yang jauh dari kata ideal, mulai dari upah minimum yang tidak setara biaya hidup, sistem kerja kontrak yang tidak berpihak pada kepastian, hingga kebijakan negara yang kadang lebih ramah pada investor daripada pekerja.

Dalam kondisi seperti itu, penghargaan kepada Kapolri sebenarnya agak membingungkan. Apakah kepolisian memang sudah sepenuhnya netral dan berpihak pada keadilan sosial? Dan apakah setelah ini buruh akan lebih mudah memperjuangkan haknya tanpa khawatir dibatasi aparat?

Penghargaan dari ITUC ini seharusnya menjadi kesempatan bagi Polri untuk membuktikan diri. Memastikan suara para buruh didengar dan direspons, bukan hanya membuka ruang untuk mereka berdemonstrasi.

Jika Kapolri bisa konsisten dalam menjalankan komitmen ini, maka publik juga tidak akan mempertanyakan, apakah Kapolri benar-benar layak mendapatkan penghargaan?

Fauzah Hs