Beberapa waktu terakhir, jagat maya dihebohkan oleh nama Thomas Alva Edisound, sebutan satir untuk para pengusung sound horeg—istilah yang menggambarkan penggunaan sound system berdaya sangat tinggi di acara-acara karnaval, khususnya di perayaan hari besar atau arak-arakan.
Nama ini jelas merupakan plesetan dari tokoh penemu lampu, Thomas Alva Edison, namun dengan nuansa ironi, bukan penemuan yang mencerahkan, tapi justru suara yang membisingkan.
Sound horeg, dengan volume menggelegar, kerap dianggap bagian dari hiburan lokal, tetapi mulai memicu kekhawatiran soal dampaknya terhadap kesehatan telinga, terutama anak-anak dan lansia yang menjadi penonton tetap acara semacam ini.
Menurut jurnal internasional Noise and Health, paparan suara dengan intensitas melebihi 85 desibel secara terus-menerus dapat menyebabkan kerusakan permanen pada sel rambut halus di koklea—bagian vital dalam telinga dalam yang berperan dalam mendeteksi getaran suara.
Dalam konteks sound horeg yang kerap mencapai 100 hingga 120 desibel, ancaman ini bukan lagi isapan jempol. Bahkan durasi pendek saja sudah cukup untuk memicu tinnitus (denging kronis), gangguan tidur, hingga stres psikologis ringan akibat overstimulasi suara.
Budaya sound horeg yang viral ini memang menciptakan sensasi tersendiri, apalagi dengan lampu warna-warni, remix DJ lokal, hingga gerobak sound system yang dihias ala parade.
Namun, dalam kenyataannya, hiburan ini belum diimbangi dengan edukasi tentang keamanan audio. Banyak dari masyarakat masih menganggap suara keras sebagai simbol kemeriahan, bukan kebisingan.
Padahal, berdasarkan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ambang batas aman kebisingan bagi manusia hanya sekitar 70 desibel untuk durasi paparan panjang.
Kondisi menjadi lebih rumit ketika anak-anak kecil yang ikut dalam karnaval justru dibiarkan berada di dekat speaker aktif.
Tanpa pelindung telinga, mereka menjadi kelompok rentan yang berisiko mengalami gangguan pendengaran di usia dini. Sering kali, efeknya tidak langsung terlihat, tapi bertumpuk secara akumulatif. Celakanya, banyak orang tua belum memahami bahwa telinga anak jauh lebih sensitif terhadap frekuensi tinggi dibandingkan orang dewasa.
Kritik terhadap fenomena Thomas Alva Edisound bukan berarti menolak hiburan rakyat atau karnaval budaya. Justru, di tengah semangat merayakan tradisi dan kreativitas lokal, ada kebutuhan mendesak untuk memberikan ruang yang lebih sehat bagi semua pihak.
Musik bisa tetap menggelegar, tapi teknisnya harus mengikuti standar kebisingan lingkungan. Penggunaan decibel meter oleh panitia, pemberian jarak aman dari sumber suara, atau pembagian earplug gratis adalah langkah sederhana namun penting yang bisa diterapkan.
Di beberapa negara maju, kebijakan tentang pengendalian kebisingan telah diterapkan secara ketat, bahkan untuk acara musik outdoor sekalipun. Indonesia pun bisa meniru hal serupa, apalagi mengingat pentingnya kesehatan jangka panjang generasi muda.
Teknologi sound system bisa dikontrol agar tetap maksimal tanpa membahayakan pendengaran. Di sinilah para penikmat sound horeg dan para "Edisound" lokal perlu diberi pemahaman yang lebih luas tentang efek suara ekstrem yang mereka hasilkan.
Fenomena ini sebetulnya menjadi refleksi besar, apakah masyarakat saat ini lebih peduli pada kemeriahan sesaat ketimbang kualitas hidup jangka panjang?
Viral di media sosial memang menyenangkan, tapi jika yang dikorbankan adalah pendengaran, maka sudah sepatutnya ada yang mengambil peran untuk mengingatkan. Mengedukasi soal suara tak kalah penting dari merayakan bunyinya.
Telinga bukan sekadar alat dengar, melainkan gerbang awal komunikasi, ekspresi, dan keseimbangan hidup. Melindunginya berarti merawat keberlangsungan rasa.
Di balik keriuhan dan lelucon soal Thomas Alva Edisound, tersimpan urgensi yang tak bisa diremehkan, bahwa budaya boleh berkembang, namun kesadaran kesehatan tak boleh tertinggal. Mari rayakan kebisingan yang sehat, bukan hanya yang viral.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
AXIS Nation Cup! Tempat Mimpi-Mimpi Liar Pemuda Indonesia Meledak
-
Rewind to the Roar! Cewek Futsal MIPA vs IPS di Masa SMA
-
Belanja Cerdas dengan Cashback! Cara Belanja Hemat di Era Digital
-
Jurusan Kuliah Bukan Tongkat Sulap, Kenapa Harus Dibohongi?
-
Nilai Nomor Sekian! Yang Penting Tetap Waras dan Tugas Kelar, Setuju?
Artikel Terkait
-
Geger Sound Horeg 135 Desibel, Ustaz Derry: Konser Metal Paling Brutal di Dunia Aja Cuma 109 dB!
-
Ustaz Derry Sulaiman: Hijrahkan Sound Horeg untuk Masjid
-
Warga Diungsikan Demi Sound Horeg! Karnaval Desa Donowarih Malang, Tuai Kontroversi
-
Viral Istilah Rojali dan Rohana di Mall, Sindiran Buat yang Jalan-jalan Tanpa Membeli?
-
Mitsubishi Destinator Hadirkan 'Sound Horeg' Versi Sultan, Bikin Nyaman Keluarga di Perjalanan
Kolom
-
Chikungunya Mengintai: WHO Desak Tindakan Darurat Global
-
Sekolah Penggerak: Revolusi Senyap di Kelas atau Sekadar Ganti Kemasan?
-
Bukan Hanya Sekadar Penanda Halaman: Makna Bookmark Bagi Pencinta Buku
-
Mengapa Gen Z Rentan Burnout? Ini Realita yang Jarang Disadari
-
Kemarahan Hokky Caraka dan Pentingnya para Suporter Indonesia Berpikiran Waras
Terkini
-
Resmi Tayang, The Fantastic Four: First Steps Tuai Pujian Penonton Bioskop
-
Wendy Red Velvet Siap Comeback Solo Perdana September Bareng Agensi Baru
-
AFF U-23: Alfharezzi Buffon Jamin Timnas Indonesia Tampil Habis-habisan
-
Kulit Kemerahan Auto Mereda! 4 Rekomendasi Toner yang Mengandung Allantoin
-
Tegas! Marc Marquez Incar Gelar Juara Dunia MotoGP 2025