Masuk semester enam sebagai anak Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, hidupku kayak film drama tanpa plot twist yang jelas. Dulu, di semester awal, aku masih ngejar-ngejar nilai A, ngecek setiap poin di siakad, dan panik kalau nilaiku B.
Tapi sekarang? Hadeh, fase itu udah lewat, bro. Sekarang yang penting tugas kelar, dikumpulin, dan dosen gak ngomel. Nilai? Ya Tuhan jika bukan A, B juga gapapa. Tapi, ada fase yang lebih parah: kadang aku bahkan gak peduli sama tugas, yang penting kepalaku stay waras dan gak gila di tengah chaos sempro.
Fase “yang penting tugas selesai” itu kayak masuk mode survival. Tugas analisis puisi, makalah tentang novel, atau draft skripsi—semuanya cuma soal checklist: bikin, kumpul, selesai.
Aku inget banget, pernah ngerjain makalah tentang gaya bahasa sampe jam tiga pagi, cuma buat nyampein majas-majas dan sejenisnya. Kualitas? Entah lah, yang penting tugasnya selesai sebelum deadline. Aku udah gak mikirin apakah dosen bakal kasih A atau C, yang penting “Tugas Terkumpul”. Rasanya kayak lari dari kejaran anjing—lega banget pas selesai, meski hasilnya pas-pasan.
Tapi, bro, fase yang bener-bener bikin aku ngeh adalah pas aku sampai di titik “tugas? apa itu tugas?”. Di semester enam ini, tumpukan tugas, revisi, sama tekanan sempro bikin otakku kayak laptop overheat.
Pernah, aku buka tugas analisis puisi, baca instruksinya, dan langsung tutup laptop lagi. Bukan males, tapi capek banget secara mental. Aku cuma pengen selonjoran, scroll tiktok, atau ngobrol ngalor-ngidul sama temen di kafe. Yang penting aku gak ambruk di tengah jalan. Waras jadi prioritas nomor satu, tugas nomor dua, nilai? Mungkin nomor sepuluh. Bercanda..
Momen penyelamat di tengah chaos ini cuma satu: pas dosen bilang, “Baik, kita cukupkan untuk hari ini, sampai ketemu minggu depan.” Itu kayak suntikan energi yang bikin aku ngerasa, “Oke, aku masih hidup!” Aku buru-buru ngepak tas, nyanyi kecil, dan ngebayangin pulang buat ngemil atau tidur siang. Kalimat itu kayak obat buat jiwa yang udah lelah ngejar-ngejar tugas yang gak kelar-kelar. Meski tugas masih numpuk, momen itu ngingetin aku buat tarik napas dan bilang, “Chill, bro, lu masih bisa handle ini.”
Pernah curhat sama temenku, yang juga udah di fase “yang penting gak gila”. “Gue dulu panik kalau nilai di bawah A,” katanya sambil ketawa, “sekarang? Tugas kekumpul aja udah kayak menang lotre.”
Kami bikin sesi ngeluh bareng di tongkrongan, sambil sharing tips buat ngerjain tugas cepet tanpa bikin otak jebol. Kadang, kami bikin perjanjian, ngerjain tugas bareng di perpustakaan, tapi tiap satu jam boleh istirahat buat ngobrolin hal-hal random. Temen-temen ini yang bikin aku sadar, semester enam itu berat, tapi bareng mereka, rasanya kayak petualangan yang gak terlalu mengerikan.
Di balik fase males dan lelah ini, aku mulai ngeh bahwa kuliah gak cuma soal nilai atau tugas. Ini soal belajar ngatur diri, ngelupain obsesi perfeksionis, dan tetep waras di tengah tekanan. Semester enam ngajarin aku buat nerima bahwa gak semua tugas harus sempurna, dan gak semua nilai bakal bikin aku bangga.
Yang penting, aku tetep jalan, meski pelan. Setiap tugas yang kelar, meski ala kadarnya, adalah bukti aku masih bertahan. Dan setiap kali dosen bilang, “Kita cukupkan,” aku ngerasa kayak dapet medali kecil.
Jadi, buat kalian yang lagi di semester enam, ngerasa tugas cuma bikin pusing dan semangat udah entah ke mana, santai dulu. Fase “gak peduli nilai” atau “yang penting gak gila” itu wajar banget. Nikmatin momen pas dosen bilang, “Sampai ketemu minggu depan,” karena itu tanda lu udah selangkah lebih dekat ke sempro, ke wisuda, ke versi diri lu yang lebih tangguh.
Tugas numpuk? Nilai pas-pasan? Whatever, bro, yang penting lu masih waras dan tetep gaspol. Hidup ini lebih dari sekadar angka di transkrip!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
The New Era of Raisa! Menyelami Sisi Rapuh dan Ramai Seorang 'AmbiVert'
-
Raisa Mengubah Pasrah Menjadi Self-Respect Bertajuk Terserah di Ambivert
-
Stop Barter Kuno! Permen Bukan Mata Uang Wahai Para Tukang Fotokopi
-
Kesejahteraan atau Keterasingan? Gen Z dan Paradoks di Tengah Badai Digital
-
Dua Sisi Mata Uang Asmara Kampus: Antara Support System dan Pembatal Mimpi
Artikel Terkait
-
Gubernur Jawa Barat Hapus PR: Solusi Pendidikan atau Tantangan Baru?
-
Khutbah Idul Adha: Dosen UNY Serukan Kemandirian Pangan
-
Gegara Ngaku Sarjana Muda, Rismon Sianipar Akan Laporkan Jokowi atas Skripsi Palsu
-
Dosen di Era Digital: Antara Pendidik dan Influencer
-
Gaji Dosen di Indonesia vs Malaysia vs Singapura, Negeri Ini Paling Miris!
Kolom
-
Kamu Mau Menyerah? Coba Lihat Lagi, Bukankah Kamu Sudah Sejauh Ini?
-
Adu Jurus Purbaya VS Luhut: Polemik Utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung
-
Satu Tahun Prabowo-Gibran, Apa Kabar Pendidikan Kita?
-
Gawai, AI, dan Jerat Adiksi Digital yang Mengancam Generasi Indonesia
-
Married to the Idea: Relevankah Pernikahan untuk Generasi Sekarang?
Terkini
-
Bingung Cara 'Styling' Biar Gak Gitu-gitu Aja? Ini 9 Aturan Main Buat Pemula
-
Sunscreen saat Hujan, Pentingkah? Jangan Sampai Salah Langkah!
-
Raisa & Hamish Daud Umumkan Perpisahan, Fans Teringat Lirik 'Usai di Sini'
-
Bisa Jadi Inspirasi, Ini Wedding Dress Artis Tercantik di 2025!
-
Pesantren Aman, Santri Nyaman! Kemenag Bentuk Satgas Anti Kekerasan