Scroll untuk membaca artikel
Fabiola Febrinastri | Fabiola Febrinastri
Ilustrasi generasi milenial di sekolah. [Shutterstock]

Krisis seperempat abad, atau yang populer dikenal dengan Quarter Life Crisis (QLC) adalah suatu kondisi yang dialami oleh seseorang ketika menginjak rentang usia 20 – 30 tahun. Kecemasan muncul terkait pekerjaan, kondisi keuangan, keluarga, hubungan asmara dan permasalahan hidup lainnya.

Individu yang mengalami QLC biasanya berada pada kondisi depresi, frustasi, atau bahkan merasa terjebak dalam suatu kondisi kecemasan yang rumit, terjepit dan tertekan. Kondisi ini umumnya timbul akibat adanya paradoks ingin memuaskan dan memenuhi keinginan hidup, namun apa yang dialami dan dilakukan secara nyata, terasa tidak pada jalur menuju ke arah tujuan atau belum mencapai target yang diidamkan.

Liza Marielly Djaprie, seorang psikolog klinis menjelaskan, QLC dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan oleh situasi di dalam diri yang belum menemukan jati diri sesungguhnya, dan faktor eksternal berupa atmosfer yang semakin kompetitif dari rekan sebaya, serta tuntutan lingkungan era modern yang juga semakin kompleks.

Dilansir dari Mindbodygreen.com, sebanyak 6 dari 10 milenial dilaporkan mengalami QLC. The Guardian juga menyatakan dalam risetnya, 86 persen milenial mengalami QLC yang membuatnya merasa insecure, kecewa, kesepian sampai depresi.

Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya, seperti Generasi X dan Baby Boomers. Bagi banyak milenial, fase ini menjadi momen yang cukup menyiksa, seolah dihantui bayang-bayang kekecewaan, kesepian, perasaan kosong dan kecemasan tak berdasar.

Menurut survei dari LinkedIn, pengalaman krisis ini lebih banyak dialami oleh perempuan, yakni sebesar 61 persen. Ada berbagai faktor pemicu QLC, yaitu sebanyak 57 persen merasa kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion, 57 persen mengalami tekanan lantaran belum memiliki rumah, dan 46 persen mengaku tertekan akibat belum memiliki pasangan.

Tuntutan ini semakin lengkap dengan hadirnya sebutan "Sandwich Generation" untuk generasi milenial yang memiliki beban finansial dalam mengurus orang tua atau anggota keluarga lain, sekaligus mengurus kebutuhan finansial diri dan keluarga sendiri. Kondisi-kondisi ini juga diduga menjadi penyebab mengapa milenial sulit memiliki rumah, cepat berpindah kerja dan bertindak tanpa berpikir matang ketimbang generasi sebelumnya, menurut Dr. Gail Saltz, psikiater sekaligus penulis buku The Power of Different: The Link Between Disorder and Genius.

Dr. Oliver Robinson, peneliti dan pengajar psikologi dari University of Greenwich, mengatakan, ada empat fase dalam QLC. Pertama, perasaan terjebak dalam suatu situasi, entah itu pekerjaan, relasi atau hal lainnya. Kedua, memiliki pemikiran dan harapan bahwa perubahan mungkin saja terjadi.

Fase selanjutnya merupakan periode membangun kembali hidup yang baru dan yang terakhir adalah fase mengukuhkan komitmen anyar terkait ketertarikan, aspirasi, dan nilai-nilai yang dipegang seseorang.

It’s All About Money
Peralihan cara pandang dari idealis menjadi pragmatis juga didorong oleh realitas yang menuntut lebih menjejak. Seperti keadaan tidak punya uang menjelang lulus kuliah, dibandingkan dengan kisah teman sebaya yang sudah bergaji dua digit dan mampu mencicil rumah ambil andil di dalamnya. Kondisi keluarga juga terkadang membuat generasi milenial masa kini merasa perlu untuk menyokong secara finansial.

Namun di sisi lain, pengorbanan diri juga menjadi pemikiran yang patut dipertimbangkan, misalnya mengesampingkan impian untuk berkarier dalam bidang sesuai passion. Terkadang meneruskan bekerja di bidang yang disenangi dirasa sulit untuk segera menghantarkan pada kondisi mapan. Apalagi jika dirasa kemampuannya masih harus diasah lebih lanjut jika ingin sukses.

Tentunya membutuhkan uang lebih untuk mengembangkan minat dan bakat yang disebut passion itu. Ada kalanya muncul perasaan kehilangan diri sendiri setelah mengulas seberapa jauh berbelok arah.

Menurut Robert MacNaughton, pendiri Integral Center yang menangani pengembangan kepribadian di Boulder, Colorado, ada dua pilihan yang bisa dilakukan milenial untuk menghadapi QLC. Pertama, membiarkan diri berlarut-larut dalam keputusasaan atau yang kedua, menjadikan QLC sebagai momentum yang tepat untuk meroketkan diri ke level kehidupan selanjutnya.

Nilai-Nilai Hidup dan Masalah Keluarga
Selain masalah uang, idealisme seseorang dapat pula terbentur oleh harapan-harapan keluarga. Tak jarang para milenial beberapa kali berkonflik dengan orang tua lantaran perbedaan cara pandang dan pilihan tindakan saat menghadapi suatu perkara.

Krisis dipicu oleh tegangan keinginan diri dengan keinginan keluarga. Ketika generasi milenial aktif ini masih ingin mengejar aneka target di luar pernikahan, orangtua sering mendesak agar segera membangun rumah tangga.

Aspek pernikahan memang menjadi hal yang kerap disebutkan sebagai sumber kecemasan orang-orang yang mengalami QLC. Dalam survei yang dilakukan Gumtree.com, 86 persen dari 1.100 responden di Inggris menyatakan pernah melalui QLC, dan 32 persen di antaranya berpendapat adanya tekenan besar untuk segera menikah dan punya anak maksimal pada usia 30 tahun.

Terkait tekanan orangtua, dalam studi tentang QLC yang dimuat pada jurnal Contemporary Family Therapy (2008) disebutkan, ada kecenderungan bahwa capaian anak-anak muda memengaruhi cara orangtuanya memandang harga diri mereka, sementara orangtua berharap bisa memastikan kebahagiaan untuk anaknya, si anak terus mencari capaian demi menyenangkan mereka.

Pemicu QLC
Jika ditilik lebih dalam, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam krisis selama masa transisi menuju tahap kedewasaan.

Jika dibandingkan generasi-generasi terdahulu, milenial dan generasi setelahnya tergolong beruntung karena dapat mengecap beragam kemudahan atau akses yang membuat hidup lebih baik, dari segi peluang pekerjaan, pendidikan, akses kesehatan, keamanan, dan lain sebagainya. Namun sayangnya, aneka fasilitas dan pilihan kemungkinan yang tersedia dapat menyebabkan generasi milenial justru berkembang stagnan.

Soal pekerjaan, seperti ditulis Forbes, generasi terdahulu boleh jadi memandang tujuan bekerja utamanya adalah untuk mendapat uang semata, sementara sebagian milenial merasa pekerjaan adalah sesuatu yang mesti memenuhi kebutuhan aktualisasinya, harus terait hal yang disuka atau bisa mewujudkan mimpi-impinya.

Cari uang dirasa sebagai hal yang jamak, lapangan kerja bermacam-macam tersedia, tetapi mendapat pekerjaan sesuai idamanlah yang patut diperjuangkan menurut para generasi milenial. Pergeseran ekspektasi ini memberi sumbangsih pada ketidakpuasan milenial dalam dunia karier, kekecewaan, kecemasan dan berakhir pada QLC.

Saat segalanya cenderung gampang didapat, suatu hal tak lagi dirasa istimewa, kepuasan seseorang pun semakin susah terpenuhi, demikian dinyatakan Atwood & Scholtz, penulis studi tentang QLC. Mereka membuat sebuah analogi, bila setiap orang bisa memakai jam Rolex dan hal itu gampang didapat, status dan kesenangan saat memiliki Rolex akan berkurang, bahkan tiada.

Aneka pilihan yang tersaji juga diikuti tanggung jawab yang harus diemban. Tidak semua orang sanggup menerima hal tersebut, apalagi bila belum benar-benar matang secara mental, tetapi segi usia sudah dituntut masyarakat untuk bertanggung jawab dalam hal pekerjaan dan relasi. Kesenjangan antara kesiapan diri dan ekspektasi sosial inilah yang mengakibatkan QLC.

QLC berkisar pada masalah identitas seseorang, seperti apa nilai-nilai yang dipercaya, dengan apa mengafiliasikan diri, hal apa saja yang prinsipil di kehidupan. Bagaimana membentuk diri dan kemudian menunjukkan identitasnya itu tidak lepas dari teknologi yang semakin pesat pekembangannya saat ini. Karenanya, hal ini menjadi faktor yang juga potensial memicu QLC.

Kontrol Apa yang Dipikirkan?
Di tengah kejengahan menghadapi realita, layaknya mencari oase yang semurni-murninya. Kerinduan menjalani hidup senyaman genangan air di danau yang tenang, diam dan tak beriak tentu hadir di angan-angan. Di titik ini, berfokus dalam memegang teguh prinsip bahwa kunci dari kehidupan yang bahagia sentosa adalah dengan berpikir rasional dan pragmatis menghadapi realita.

Perlu dipahami bahwa ada beberapa hal yang berada dalam kendali kita, sementara beberapa yang lain tidak. Sebagian besar ketidakbahagiaan itu disebabkan oleh pikiran bahwa kita dapat mengendalikan hal-hal yang, sedangkan pada kenyataannya, kita tidak bisa.

Hal yang sesungguhnya bisa dikendalikan sangatlah sedikit. Tidak semua yang terjadi pada diri ini dapat dikendalikan termasuk mengendalikan apa yang dikatakan dan dilakukan orang lain. Bahkan, kita juga tidak bisa sepenuhnya mengendalikan tubuh sendiri yang mungkin saja tiba-tiba sakit atau maut yang mendadak menghampiri tanpa peduli.

Satu-satunya hal yang benar-benar bisa hadir dalam genggaman untuk dikendalikan adalah bagaimana mengelola persepsi diri tentang semua hal yang terjadi.

Jika berpikir bahwa sesuatu yang sangat buruk telah terjadi, maka sungguh manusiawi jika perasaan sedih, kecewa atau marah hadir melingkupi. Pun jika menduga bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Ketakutan mungkin datang menghampiri. Semua emosi ini adalah produk dari asumsi dan dugaan yang diciptakan diri sendiri.

Padahal semua kejadian tadi sesungguhnya netral belaka. Apa yang mungkin tampak mengerikan bagi kita, bisa jadi hanya remeh-temeh bagi orang lain, atau bahkan disambut bak gegap gempita oleh mereka yang lain. Respons emosionalah yang menggerus kewarasan kita.

Pribadi yang baik adalah mereka yang memiliki kendali penuh atas emosinya. Pribadi yang sadar bahwa hal-hal yang terjadi tidak ada yang mutlak baik atau buruk. Ini adalah soal bagimana memandangnya. Paradoks intinya adalah bahwa kita hampir tidak memiliki kendali atas apa pun, namun pada saat yang sama, kita juga berpotensi mengontrol sepenuhnya kebahagiaan diri sendiri.

Melatih Pikiran
Para pemimpin umat seperti Nabi Muhammad SAW, Isa Almasih dan Buddha yang terlihat damai seperti tidak punya masalah, justru merupakan sosok yang secara utuh mengakui bahwa hidup terkadang memang menjadi sulit.

Mengendalikan pikiran diri bukanlah hal yang bisa dilakukan semudah membalikkan telapak tangan, apalagi jika emosi sudah mengambil alih setir kemudi. Latihan praktis mutlak diperlukan agar mampu mengimplementasikannya secara menyeluruh dalam kehidupan.

Para psikolog banyak yang merekomendasikan untuk mencatat hal-hal apapun yang membuat perasaan menjadi buruk setiap harinya. Dengan mencatat, merefleksi dan mengevaluasi maka melakukan perbaikan menjadi semakin mungkin dilakukan pada hari-hari berikutnya.

Marcus Aurelius, seorang filsuf era Romawi, memiliki strategi lain. Setiap pagi, ia mengingatkan diri sendiri kalau ia mungkin akan menghadapi banyak orang yang marah, stres, tidak sabar, dan tidak tahu berterima kasih sepanjang hari. Dengan cara ini, ia akan cenderung sinis pada siapapun. Namun di sisi lain, ia juga menaruh simpati pada kenyataan bahwa tidak ada dari orang-orang tadi yang melakukan hal-hal menyebalkan itu dengan sengaja.

Mereka, seperti kita semua, adalah korban dari penilaian keliru diri mereka sendiri. Dengan cara ini, Aurelius berhasil melindungi pikiran dan hatinya agar tidak menjadi toxic yang meracuni diri dan kehidupannya.

Menerima Kenyataan
Penting rasanya untuk mengingatkan tentang posisi relativitas diri dalam sebuah kehidupan, bahwa dunia tidak selalu berputar di sekiling kita saja. Aurelius, secara teratur melakukan meditasi, bercermin tentang luasnya alam semesta dan menelaah posisi waktu yang merentang dari masa lalu ke masa depan.

Ia secara kontemplatif, menempatkan jangka kehidupan pendeknya ke dalam konteks yang lebih luas, sehingga sangat tidak masuk akal jika mengharapkan semesta selalu sesuai dengan kehendak kita. Jika selalu berharap alam semesta memberikan apa pun yang diinginkan, maka jangan bersedih jika selalu mendapat kekecewaan. Namun jika mampu mendekap apapun yang diberikan alam semesta, menerima dan mensyukurinya maka hidup tentu akan lebih mudah dan bahagia.

QLC dari Perspektif Lain
Wajar rasanya jika memandang QLC sebagai hal yang menyebalkan dan ingin cepat-cepat dilalui. Namun sebenarnya, ada keuntungan yang bisa didapatkan jika krisis ini hadir dikehidupan.

Atwood & Scholtz, dalam makalahnya berargumen bahwa perasaan hilang arah atau rasanya tidak memiliki tujuan hidup dapat menjadi titik awal seseorang untuk melakukan pencarian jati diri yang murni dan sebenar-benarnya. Setelah melakukan evaluasi dari situasi, menentukan dengan jujur apa yang sebenarnya dicari dan apa yang sesunggunya mampu membawa membahagiakan, maka dapat menjadi batu loncatan yang merubah hidup jauh lebih baik dan membahagiakan, sekalipun berbeda dengan kemauan orang-orang terdekat.

Senada dengan Atwood & Scholtz, Caroline Beaton dalam tulisannya yang bertajuk Why Millenials Need Quarter Life Crisis di Psychology Today menyatakan, QLC dapat menjadi pengingat bagi seseorang untuk terus berjuang maju dalam hidupnya. QLC adalah tentang ketidakpastian, dan dari situ pula, seseorang dapat menangkap bahwa tidak ada hal yang permanen di dunia ini, termasuk krisis yang dialami diri sendiri.

Terkadang, QLC membuat orang ingin terus berlari atau melawan. Namun semakin jauh atau cepat orang berlari menghindar dari krisis tersebut, akan membuat hasilnya semakin nihil. Alternatif tindakan yang dapat dilakukan adalah mencoba menerima hidup pada saat ini, walaupun belum benar-benar sesuai kehendak diri.

Alih-alih pusing menyatukan frekuensi dengan segala tuntutan yang ada, memahat asumsi atas hal-hal yang terjadi terkait diri kita dan bagaimana menyikapinya menjadi hal yang lebih bermanfaat dan rasional untuk dilakukan demi hidup yang lebih bahagia. Memang betul bahwa soal ini tak mungkin mudah dilakukan.

Tetapi jika terus melatih diri dengan persepsi dan pikiran positif, maka menghadapi QLC dapat menjadi momentum pijakan yang tepat untuk mengubah arah hidup menjadi lebih baik. QLC adalah sebuah keniscayaan yang kemungkinan besar harus dihadapi generasi milenial, kesiapan diri dengan bagaimana cara menghadapinya adalah hal yang terpenting dari semuanya.

Pengirim : Lisa Amalia Artistry Ramadhani, S1 Public Relations - London School of Public Relations, D3 Pajak - Politeknik Keuangan Negara STAN

Array