Scroll untuk membaca artikel
Fabiola Febrinastri | Fabiola Febrinastri
Ilustrasi Antonio Gramsci. (Shutterstock)

Setiap kawasan di muka Bumi ini telah melahirkan intelektualnya. Sejarah telah menunjukkan bahwa sebuah bangsa yang berkembang dan menjadi bangsa yang maju, tidak bisa dilepaskan dari peran serta para pemikir dan intelegensia bangsa tersebut.

Antonio Gramsci, seorang Marxis berkebangsaan Italia, dalam bukunya The Prison Notebooks, yang untuk pertama kali melihat kaum intelektual, dan bukan kelas sosial, sebagai kelompok penting dalam terselenggaranya sistem masyarakat modern.

Seperti pada peradaban Yunani Kuno, misalnya, kaum intelektual senantiasa mengambil peran penting dalam pencerahan peradaban bangsa-bangsa sepanjang sejarah. Babak baru peradaban modern di Inggris dan Jerman pada abad ke-17 dan ke-18 juga dimulai oleh kaum intelektual.

Sejak itu, bahkan mitos kaum intelektual sebagai agen perubahan sosial menjadi melegenda. Tampilnya kaum intelektual bukan saja mewarnai hidupnya yang bergaya modern dengan segala perangkatnya, melainkan telah pula memberikan tenaga dan pikiran untuk membangkitkan semangat bangsa yang telah terpecah belah.

Julian Benda, pemikir Prancis yang menulis La Trahison des Clercs menyatakan bahwa kebangkitan kaum elite ikut melahirkan gerakan-gerakan nasionalis, yang terutama dipimpin oleh kaum intelektual berpendidikan barat.

Perjuangan kaum intelektual Indonesia di masa kemerdekaan memiliki implikasi terhadap munculnya pandangan wawasan tentang kebangsaan Indonesia. Kemunculan Budi Utomo adalah awal lahirnya berbagai aspirasi di dalam pergerakan bangsa Indonesia menghadapi penjajahan.

Semula Budi Utomo merupakan gerakan kebudayaan (Jawa), tetapi karena diprakarsai oleh orang pribumi dan merupakan organisasi modern dari orang pribumi yang berpendidikan tinggi serta bertujuan memajukan orang pribumi, maka ia dianggap sebagai awal kebangkitan nasional.

Gerakan Budi Utomo tanpa kekerasan lebih efektif dalam menumbuhkan kesadaran kolektif di masyarakat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Benih-benih kesadaran berbangsa dan bernegara mulai ditumbuhkan lewat program utamanya mengusahakan perbaikan pendidikan dan pengajaran bagi masyarakat.

Dari angkatan ke angkatan, generasi ke generasi, percikan api nasionalisme rintisan Budi Utomo mengkristal. Kesadaran terhadap pentingnya persatuan dan kesatuan demi kelangsungan perjuangan bangsa mengaliri pembuluh darah setiap rakyat Indonesia.

Dalam membentuk peradaban baru, kaum intelektual juga selayaknya berfungsi sebagai mediator antara masyarakat mereka berasal dengan peradaban-peradaban lain dan asing. Intelektual menjadi kelas perantara yang mempertemukan antara rakyat dengan penguasa, antara kelas alit dan kelas elite.

Merekalah yang secara riil memahami kondisi penderitaan masyarakat dan memiliki daya jangkau untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan.

Arti penting Budi Utomo tidak terbatas sebagai organisasi yang hanya bermanfaat bagi pemerintah kolonial. Kemampuannya yang istimewa yang berfungsi sebagai jembatan antara para pejabat kolonial yang maju dengan kaum terpelajar Jawa, merupakan sumbangan tidak ternilai bagi masa depan Indonesia.

Dengan demikian, kesadaran intelektual semestinya dapat mewujudkan gerakan yang kritis, independen, dan sosialis dalam pengertian mau membela dan memihak kaum lemah tertindas. Mereka dengan gigih menggunakan seluruh kemampuan akademik untuk membantu memecahkan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, mampu menjadi mediator antara masyarakat dan pemerintah.

Sebab, kata Ali Syariati, seorang sosiolog revolusioner Iran, misi suci kaum intelektual atau cendekiawan adalah membangkitkan dan membangun masyarakat bukan memegang kepemimpinan politik negara, dan melanjutkan kewajiban dalam membangun dan menerangi masyarakat hingga mampu memproduksi pribadi tangguh, kritis, independen, dan punya kepedulian sosial tinggi.

Namun kenyataannya, kaum intelektual masa kini masih sering dihadapkan pada dilema antara pemikiran murni yang bebas nilai (termasuk bebas dari pretensi politik) dengan liku-liku politik yang terkadang lepas dari pertimbangan obyektif.

Kaum intelektual terjebak dalam partikuralitas kepentingan pribadi dan kelompok, sehingga mengorbankan nilai-nilai idealisme. Hal ini sejalan dengan pendapat Antonio Gramsci “orang dapat mengatakan, "Semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual.”

Kaum intelektual tidak lagi menjadi penyebar ide dan mediator antara massa rakyat dengan kelas atasnya. Kaum intelektual bahkan menjadi bagian dari hegemoni penguasaan elit penguasa yang sedang memerintah. Kepentingan ideologis kaum intelektual telah menjadi celah bagi mereka untuk mengkhianati suara kebenaran, demi melakukan penggiringan dan untuk melegitimasi sebuah kekuasaan.

Inilah yang disebut Julien Benda “Pengkhianatan Kaum Intelektual”, dimana para clercs, para intelektual, kini ikut terjun dalam kancah orang ramai. Mereka terbawa oleh “gelora politik”.

Mereka melayani nafsu rasial, nafsu kelas, nafsu kebangsaan dengan dalil-dalil yang memiliki konsekuensi bagi lahirnya keserakahan dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai moralitas.

Mereka, para intelektual itu, mengikuti semangat pragmatisme, yang mengatakan bahwa moral atau tidaknya suatu tindakan ditentukan oleh memadai atau tidaknya tujuan tindakan itu. Akhirnya “tujuan menghalalkan cara”.

Sebagai orang yang paling terkemuka di bidangnya, kaum cerdik pandai ini sangat lazim didayagunakan oleh kekuasaan. Ini terjadi sejak awal kekuasaan itu tersistematis.

Di zaman kuno pun para ahli pikir telah menjadi penasihat kerajaan. Terjalinnya simbiosa mutualistik, yang pada gilirannya membuat intelektual melupakan tanggung jawab moralnya.

Tak hanya sampai di situ. Dalam banyak kasus, para cendekiawan telah menjadi kekuasaan itu sendiri. Jadi bukan sekadar abdi kekuasaan lagi.

Keadaan ini tentu tak jadi masalah, kalau mereka tetap bisa bertugas sebagai benteng akal sehat, yang berbicara kebenaran kepada kekuasaan, seperti yang dikatakan Said, atau yang menguak kebohongan-kebohongan pemerintah, seperti yang disebut Chomsky. Hal yang kini niscaya sangat sulit untuk dapat dijalankan sekaligus.

Hingga saat ini, hanya segelintir kaum intelektual yang tetap mampu bertahan pada idealisme-kritis dan misi suci kemanusiaannya saat berada di tengah-tengah kekuasaan. Bahkan kaum intelektual takut menyuarakan kebenaran ketika berhadapan dengan mesin kekuasaan. Lebih parah lagi mereka bermental pengecut, takut menyuarakan kebenaran karena khawatir kehilangan kekuasaan.

Mereka seolah-olah dibayang-bayangi Pedang Domacles. Dalam sejarah Yunani, Pedang Domacles adalah pedang yang setiap saat memenggal kepala mereka yang mencoba-coba menyatakan suara yang berbeda dengan penguasa.

Edward Said menganggap kekuasaan selalu membius kaum intelektual. Untuk itu, seorang intelektual harus selalu menjaga jarak agar tidak jatuh terperangkap dalam kekuasaan. Said mengingatkan, agar intelektual selalu bersikap kritis terhadap kekuasaan.

Bahkan Julian Benda mengkategorikan kaum intelektual setara dengan orang suci, oleh karena itu Benda menyebutnya sebagai clerk. Sang clerk, seharusnya mengabdikan hidupnya untuk tujuan yang bukan duniawi. Ia mengolah terus menerus pikiran dan rohani. Ia seorang pemikir tanpa pamrih, orang yang mengikuti panggilan jiwanya tanpa terikat kepada tendensi sosial dan ekonomi di masanya.

Tentu tidak mudah mengasosiasikan intelektual dengan agen yang bebas dan independen, seorang pemikir, seorang individu yang kreatif dan konstruktif, seorang yang memiliki komitmen moral, idealisme dan kebijaksanaan, dan yang berani menyuarakan kebenaran di hadapan kekuasaan. Namun itu adalah nilai yang harus dijunjung tinggi, misi yang paling suci.

Pengirim : Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum

Array