Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Ilustrasi maaf-maafan saat lebaran. (Shutterstock)

Hari Raya Lebaran selalu identik dengan mudik ke kampung halaman. Para perantau berbondong-bondong memadati tempat-tempat transportasi dari mulai terminal, pelabuhan, stasiun, sampai bandara. Kota-kota besar seperti Jakarta mendadak sepi ditinggal penghuninya.

Momen yang paling dirindukan ketika sedang merantau yaitu berkumpul dengan keluarga. Namun, berbeda rasanya dikarenakan ada kendala dari pemerintah untuk dilarang mudik.

Berat rasanya ketika mendengar hal itu, akan tetapi bila dilanggar pun sangat berbahaya imbasnya terhadap orang tua di desa. Dan kita tidak akan pernah tahu penyakit apa yang kita bawa ketika pulang kampung.  

Jarak dengan keluarga dan tanah perantauan sangatlah jauh akan tetapi tidak pernah menghalangi rasa kasih sayang untuk seorang ibu.

Di kala sedang sibuknya bekerja untuk memberikan yang terbaik untuk keluarga, ibu tidak pernah lupa mencoba berkomunikasi lewat telepon hanya untuk sekadar menanyakan kabar.

Tak ada yang lebih hangat dari pelukan seorang ibu. Tidak peduli seberapa dewasanya seorang anak, ia akan selalu merindukan hangat ibunda tercinta.

Pelukan hangat, yang tidak dapat dilakukan saat itu lantaran seorang anak yang berbakti harus mengadu nasib di kota lain agar dapat membahagiakan kedua orang tuanya kelak.

Sejak kecil memang saya lebih dekat dengan Ibu, karena Ayah terlalu sibuk dengan kerjaannya. Biasanya, saya mudik ke Wonogiri, Jawa Tengah saat lebaran bersama keluarga.. Sosok ibu memang sangatlah beharga untuk sang anak, karena dengan kekuatan doa ibu saya dapat melaluinya. Ibu juga lah yang mengajarkan arti kesukesan ketika menginjak di tanah rantau.

Menurutku ibu adalah orang terbijak yang pernah kukenal, sama hal-nya seperti ayah yang selalu mengajarkan tidak boleh balas dendam kepada seseorang yang bersikap buruk terhadapnya. Sangat jauh berbeda denganku yang terkadang masih menuruti egoku. Tahun semakin berganti usia ibu dan ayah ku sudah semakin menua, akan tetapi saya merasa belum membahagiakannya dan membalas seluruh jasanya. Aku selalu berusaha maksimal agar usahanya menyokalahkanku hingga kuliah tidak sia-sia.

Aku memang tidak pernah mengatakan secara langsung kepadanya bahwa dialah salah satu orang yang paling kukagumi. Wah, jika ia mendengarnya langsung, aku pasti habis diejek olehnya. Biar bagaimana pun, aku selalu berdoa agar ia sehat selalu dan menyaksikanku meraih mimpi-mimpiku.

Walau terkadang celotehan yang diluapkan membuat anakmu kesal dan marah. Namun dibalik celotehanmu itu, dirimu menyimpan perhatian dan peduli yang besar terhadap anakmu. Amarahmu bukan luapan kebencian, melainkan kasih sayang agar anakmu tetap menjadi anak yang berbakti dan berbudi pekerti.

Tanpa mengenal rasa bosan dan lelah untuk selalu mengingatkan dan memberi nasihat untuk anak pertamanya di kala dirinya mengalami sebuah ketidak percayaan diri terhadap kehidupannya. Tanpa pernah mengeluh lelah sedikit pun kau ajarkan anakmu arti kesabaran, keikhlasan, serta ketulusan hidup.

Idulfitri yang berarti kembali ke fitrah, itulah arti sebenarnya. Idulfitri dijadikan ajang silaturahim dengan fashion, makanan dan minuman yang sedikit elegan. Momen Idulfitri juga dijadikan umat islam sebagai hari berkumpulnya sanak keluarga. Hari dimana semua orang saling berjabat tangan, tersungkur didepan kedua orangtua untuk meminta dan memohon maaf.

Tahun 2020 merupakan kali kedua saya merayakan lebaran di tanah rantau. Yang pertama tahun 2017, ketika saya berada di Malang, Jawa Timur. Dan yang kedua saya berada di kota Tangerang. Rasa sedih yang menyelimuti rindu akan kampung halaman, orang tua dan makanan khas ketika lebaran.

Sunyi, sepi dan sedih. Semua warung makan tutup, hanya toko waralaba yang buka. Air mata berlinang dipipi sembari makan semangkok mie instan. Pikiranku melayang membayangkan kemeriahan di kampung halaman. Rumahku pasti penuh, momen libur lebaran juga kami manfaatkan untuk ajang kumpul keluarga. Keluarga yang sibuk menghabiskan waktunya masing2 akibat tugas pengabdian dan perjalanan hidup.

Seharusnya di moment yang ditunggu setiap tahunnya untuk berkumpul dengan keluarga,dan sanak saudara setelah setahun mengumpulkan pundi-pundi penghasilan di Ibu Kota pun terkubur sementara.

Sebagai anak rantau yang mengadu nasib di Ibu Kota, kewajiban ku bukan hanya menafkahi keluarga, melainkan juga memastikan dirinya tak menjadi carrier (pembawa) virus corona bagi keluarganya.

Tentu saja tidak mudah menjalani lebaran tanpa keluarga di tanah rantau. Apalagi Jakarta cenderung sepi saat hari raya Idulfitri lantaran banyaknya warga yang mudik ke kampung halamannya masing-masing.

Namun selalu ada hikmah yang didapatkan, Subiran lebih merasakan khusyuknya lebaran ketika menyendiri di kosan. Setidaknya kiriman ketupat dan opor ayam dari tetangga kosan cukup menghibur dan menyadarkan bahwa hidup harus peduli akan sesama.

Untungnya saja saat ini teknologi komunikasi sudah canggih. Kita bisa medengar suara bahkan melihat foto atau video call melalui smartphone. Meski tidak bertatap muka secara langsung, setidaknya bisa saling melepas kerinduan dan saling bermaafan.

Budaya peribadatan di kampung halaman juga berbeda dari kota metropolitan yang super sibuk para pekerjanya dalam mencari nafkah. Kultur aktivitas peribadatan, pawai obor menyambut Ramadhan.

Oleh: Danti Aulia Ardianti / Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta
Email: dantiard@gmail.com