Stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik yang ditandai dengan penurunan kecepatan pertumbuhan dan merupakan dampak dari ketidakseimbangan gizi. Menurut World Health Organization (WHO) Child Growth Standart, stunting didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD.
Stunting masih merupakan satu masalah gizi di Indonesia yang belum terselesaikan. Stunting akan menyebabkan dampak jangka panjang yaitu terganggunya perkembangan fisik, mental, intelektual, serta kognitif. Anak yang terkena stunting hingga usia 5 tahun akan sulit untuk diperbaiki sehingga akan berlanjut hingga dewasa dan dapat meningkatkan risiko keturunan dengan berat badan lahir yang rendah (BBLR).
Selain faktor di atas faktor risiko lain penyebab stunting menurut WHO ialah riwayat pemberian ASI eksklusif, riwayat penyakit infeksi, kualitas dan jumlah MP-ASI, dan praktik hygiene. Dengan paktik hygiene yang buruk dapat menyebabkan balita terserang penyakit diare yang nantinya dapat menyebabkan anak kehilangan zat-zat gizi yang penting bagi pertumbuhan. (Desyanti dan Nindya, 2017).
Masalah gizi pada bayi dan balita berdampak besar terhadap perkembangan dan pertumbuhan pada masa bayi dan balita terutama pada dua tahun awal kehidupan. Balita yang stunting merupakan hasil dari masalah gizi kronis sebagai akibat dari asupan makanan yang kurang, ditambah dengan penyakit infeksi, dan masalah lingkungan. (Zairinayati dan Rio Purnama, 2019).
Berdasarkan data WHO tahun 2016, di wilayah Asia Tenggara prevalensi balita stunting mencapai 33,8 persen. Pada tahun 2011, Indonesia berada di peringkat lima dari 81 negara dengan jumlah anak stuntingterbesar di dunia yang mencapai 7.547.000 anak.
Indonesia dilaporkan memiliki jumlah anak stunting yang lebih besar daripada beberapa negara Afrika, seperti Ethiopia, Republik Demokratik Kongo, Kenya, Uganda, dan Sudan. Selama tahun 2007-2011, Indonesia dilaporkan memiliki anak-anak dengan berat badan sedang, berat badan rendah, dan berat badan berlebih yang masing-masing mencapai 13 persen, 18 persen dan 14 persen.
Pada tahun 2012, angka kematian anak di bawah lima tahun di Indonesia mencapai 152.000. Prevalensi balita Stunting di Indonesia masih fluktuatif sejak tahun 2007-2017. Prevalensi balita stunting di Indonesia pada tahun 2007 adalah 36,8 persen, tahun 2010 sebesar35,6 persen, tahun 2013 sebesar 37,2 persen, dan tahun 2017 sebesar 29,6 persen.
Hubungan antara Jenis Jamban dengan Stunting pada Balita
Jamban yang tidak memenuhi standar seperti jamban cemplung berpotensi lebih besar menyebabkan stunting pada anak dibanding WC yang sudah memenuhi standar seperti WC duduk.
Keberadaan jamban yang tidak memenuhi standar secara teori berpotensi memicu timbulnya penyakit infeksi yang karena hygiene dan sanitasi yang buruk (misalnya diare dan kecacingan) yang dapat menganggu penyerapan nutrisi pada proses pencernaan.
Beberapa penyakit infeksi yang diderita bayi dapat menyebabkan berat badan bayi turun. Jika kondisi ini terjadi dalam waktu yang cukup lama dan tidak disertai dengan pemberian asupan yang cukup untuk proses penyembuhan maka dapat mengakibatkan stunting (Buletin, Kemekes RI. 2018). Faktor sarana pembuangan limbah (tinja) sangat penting diperhatikan walaupun hubungan yang terjadi secara tidak langsung berdampak pada balita.
Hubungan antara Sumber Air Bersih dengan Stunting pada Balita.
Faktor resikonya kecil akan tetapi tetap berpengaruh karena mengindikasikan sanitasi dari suatu tempat tertentu. Terkait juga dengan diare. Sarana air bersih termasuk faktor dominan yang mempengaruhi kejadian diare pada balita. Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber yang baik (terlindungi/tidak terkontaminasi).
Anak yang berasal dari keluarga dengan sumber air yang tidak terlindungi dan jenis jamban yang tidak memenuhi standar akan lebih berisiko terkena stunting (Ardiyanti Besral, 2014)
Hubungan antara Kejadian Cacingan dengan Stunting pada Balita
Menurut Public Library of Science ada dua macam dampak yang ditimbulkan dari cacingan yang menyerang anak-anak yaitu anemia dan stunting. Penyebab anemia diantaranya karena kekurangan zat gizi mikro seperti zat besi, folat, riboflavin, vitamin A, dan vitamin B12.
Infeksi cacing juga bisa menjadi penyebab stunting. Mulanya cacing yang menyerap nutrisi pada tubuh akan menyebabkan nafsu makan anak menurun sehingga lama kelamaan anak akan mengalami masalah kekurangan gizi. Jika masalah gizi tidak ditangani dengan segera maka akan menyebabkan stunting pengaruh pada pertumbuhan fisik dan mental.
Selain dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas. Cacingan juga mengakibatkan turunnya ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (depkes dalam Renanti, 2015).
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Kasus Unik di Pengadilan Singapura, Seorang Laki-laki Menyerang Saudara Perempuannya Karena Masalah Kebersihan
-
Salmon Kebanting! Ikan Lemuru Banyuwangi Punya Kandungan Setara, tapi Harga Lebih Murah
-
Lewat JSDP, Pemprov DKI Wujudkan Sanitasi Sehat untuk Masyarakat Jakarta
-
Panduan Membentuk Pola Makan Sehat untuk Balita, Cerdaskan Si Kecil dengan Gizi Optimal
-
Mewujudkan Lingkungan Sekolah Sehat: Akses Air Bersih dan Sanitasi di Indonesia Perlu Jadi Perhatian
Lifestyle
-
Wajib Beli! Ini 3 Rekomendasi Cushion Lokal dengan Banyak Pilihan Shade
-
4 Inspirasi Gaya Praktis ala Jung Gun-joo, OOTD Ideal Buat Para Cowok!
-
4 Gaya Kasual ala Nashwa Zahira, Padu Padan Jeans yang Cocok untuk Hangout
-
4 Look OOTD Kekinian ala Lee Seoyeon fromis_9, Gaya Makin Super Stylish!
-
Sontek 4 Gaya Outfit Minimalis Lee Seung-woo yang Simple dan Fashionable!
Terkini
-
Sinopsis Film The Sabarmati Report, Kisah Dua Jurnalis Mengungkap Kebenaran
-
Melawan Sunyi, Membangun Diri: Inklusivitas Tuna Rungu dan Wicara ADECO DIY
-
Melihat Jadwal Tur Linkin Park, Jakarta Satu-satunya Kota di Asia Tenggara
-
Ulasan Novel Seribu Wajah Ayah: Kisah Perjuangan dan Pengorbanan Ayah
-
3 Rekomendasi Drama China yang Dibintangi Cheng Yi, Terbaru Ada Deep Lurk