Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Adhitiya Prasta
Ilustrasi santri (pexels)

Bertolak sekitar 7 tahun yang lalu, saya dijebak oleh lingkungan saya untuk masuk ke dalam jeruji besi suci bernama pondok pesantren. Tempatnya tidak terkenal, sih, tapi lumayan lah buat pegangan saya menjalani hidup.

Ngomong-ngomong, saya nyantri ke pondok mungkin tidak lama-lama banget, kira-kira, ya, cuma 1,5 tahun saja. Meski begitu, di waktu yang singkat tersebut, saya merasakan pengalaman sebagai seorang santri yang gokil, dan mungkin hari ini tidak bisa saya ulangi lagi.

Selain itu, kehidupan santri faktanya tidak selalu kaku seperti di TV-TV. Di pondok saya, cenderung memiliki peraturan yang agak longgar. Sehingga, ya, ada lah masa-masa nyolong waktu untuk pergi ke rental PS.

Namun, bukan itu yang mau saya bahas. Saya memikirkan beberapa hal umum yang mungkin terjadi dan hanya santri saja yang bisa merasakan. Misalnya, dari pengalaman paling menyenangkan sampai pengalaman paling mengerikan. Nah, untuk itu, mari kita uraikan bersama.

1. Di pesantren, sandal pun bisa ghosting

Bukan hanya hati saja yang bertepuk sebelah tangan, tapi bagi santri sandal pun bisa bertindak demikian. Sebagai seorang yang “ethok-ethok” nyantri, kehadiran sandal nyatanya merupakan elemen paling penting dalam kegiatan saya. Betapa tidak, siang hingga malam, sandal menjelma sebagai anggota tubuh tambahan saya. Sehingga, kehilangan sandal rasanya ibarat kehilangan sesuatu yang berharga.

Jika dihitung-hitung, mungkin ada beberapa puluh pasang sandal yang pernah saya miliki. Bukan karena saya kolektor sandal Swallow, tapi keadaanlah yang memaksa saya. Walau begitu, saya diajari untuk tidak suudzonan. Hal itu saya terapkan ketika ada teman lain yang menggunakan sandal yang mirip seperti milik saya. Sontak, rasa hati ini pun dituntut untuk diam dan legowo.

Sebab, baik di dunia persandalan dan dunia percintaan, semuanya harus dijalani dengan tabah. Tetapi, bagi saya, untuk keduanya saya sama-sama kurang beruntung. Bedanya, ketika sandal saya hilang, saya masih bisa mencari gantinya lagi. Sebaliknya, ketika pasangan saya yang hilang, itu menjadi permasalahan. Karena, di toko-toko sama sekali tidak ada.

2. Filosofi dasar pesantren adalah 'satu untuk semua'

Enaknya jadi santri adalah semua yang dimiliki teman adalah milik kita juga. Begitu pun sebaliknya, apa yang kita punya adalah miliki bersama. Kalau diingat lagi, hal paling indah ketika mondok adalah di saat salah satu teman kita mendapat kiriman makanan dari orang tuanya.

Nah, sebagai santri yang filosofis, saya berusaha menerapkan sekuat mungkin filosofi dasar yang tertanam, yakni satu untuk semua, satu rasa, sama rata. Biasanya, orang tua santri yang mengirimkan makanan pun tidak hanya membawa satu porsi, melainkan satu ember. Itulah hari di mana santri bisa makan enak bergizi.

Bukan hanya itu, penggunaan peralatan seperti buku, pulpen, peci, dan baju juga dimaknai sebagai milik publik. Sehingga, jika kita masuk ke gothakkan, kita bebas memilih baju mana yang paling cocok untuk kita. Ya, meskipun itu bukan sepenuhnya milik kita.

Nah, makanya, jika kalian menemukan seorang santri yang selalu pakai baju bagus dan seolah tidak pernah ganti, itu sebenarnya menghindari bajunya dipakai santri lain.

3. Sinetron unik di pesantren, 'pakain dalam yang sering tertukar'

Pada kenyataannya, filosofi satu untuk semua tidak selalu mengenakkan. Beberapa santri yang ndableg tampaknya menggunakan wacana tersebut sebagai media pembenaran. Pasalnya, filosofi satu untuk semua perlahan merambah ke dunia “pakaian dalam” juga.

Dulu, saya sering tidak “memakai” pakaian dalam. Bukan karena kotor atau tidak punya, akan tetapi saya bingung mau pakai yang mana. Mau pakai ini, tapi, kok, bukan punya saya. Mau pakai itu, tapi, kok, ukurannya tidak pas.

"Terus, punya saya di mana? siapa ini yang pakai?" gerutu saya. 

Dari situ, lahirlah beberapa pilihan. Yaitu, terpaksa memakai apa yang bukan milik kita, atau tidak memakainya sama sekali. Dan, saya memilih opsi yang terakhir. 

4. Di pesantren, alarm terbaik adalah gebyoran banyu sang Abah

Beberapa kali saya mendapati alarm ini. Sebab, kadang-kadang saya ketiduran ketika menghadapi salat subuh dan salat maghrib. Memang, pesona gebyoran banyu ini tidak setiap hari diluncurkan. Pasalnya, saya juga tidak semalas itu, deh. Ya, kalau sedang kesambet saja.

Pernah seketika, saya dan dua teman saya lagi asyik tertidur di gothakkan (tempat tidur santri). Waktu itu menjelang subuh. Padahal, sebelum subuh pun para santri harus bangun. Ya, ada yang hafalan, mandi, olahraga, maupun salat sunnah. Tapi, saya dan dua orang tadi tidak melakukan itu.

Sehingga, pada akhirnya, di detik-detik akhir kenikmatan tidur saya, sebuah gayung melayang beserta air-airnya, “Byuuoorr!!”. Tidak hanya itu, sajadah maut sang abah pun juga ikut menyabet geger saya. Hahaha.

5. Selain gudiken, bukan santri namanya jika tidak tumonen

Istilah gudiken mungkin menjadi salah satu identitas penyakit santri. Namun, hal terpenting yang harus diperhatikan selain itu adalah rasa gatal yang tidak selalu terjadi di badan. Akan tetapi, ada rasa gatal yang juga menyerang rambut. Hal ini disebabkan karena adanya makhluk tak berdosa bernama Tumo (kutu rambut).

Bagi seorang santri, gudik dan tumo adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Hal tersebut disebabkan karena filosofi yang tadi itu, yakni satu untuk semua. Akibatnya, barang yang dipakai bersama-sama memantik penularan gudik dan tumo menjadi sangat cepat.

Saya pun pasti pernah menjadi korban. Selama setahun saya mengalaminya. Rasanya, sudah tidak karu-karuan. Saking meratanya, setiap hari kami bereksperimen menjajal berbagai macam shampo dan ramuan tradisional penghilang tumo rekomendasi Akang-akang pondok yang sudah dulu sembuh. Hasilnya, jablas, meski harus menunggu setahun dulu, 

Tetapi meski begitu, kehidupan pesantren tidak selalu soal haha dan hihi saja. Walaupun saya ini produk gagal, selamanya saya akan menerapkan atmosfer dunia pondok pesantren yang adem, toleran, dan kekeluargaan. Ya, meski saat ini bahasa arab saya sudah hilang, hafalan juga hilang, dan kitab pun saya lupa di mana letaknya.

Adhitiya Prasta