Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Adhitiya Prasta
Ilustrasi kopi

Sebelum pandemi, anak muda seperti saya sering menghabiskan waktu luangnya hanya untuk sekadar ngopi dan nongkrong saja. Namun, permasalahan serius tentang diri sendiri, keluarga, pertemanan, pendidikan, bahkan permasalahan negara tidak bisa diselesaikan hanya dengan duduk berdiam diri tanpa memikirkan hal-hal yang bermanfaat. Sebagai generasi muda yang aktif dan produktif, kita dilatih untuk bebas berpikir. Baik secara material, praktikal, maupun melalui sumbangan ide.

Bagi kalangan anak muda seperti saya, budaya nongkrong dan ngopi merupakan sebuah aktivitas pelepas penat yang murah dan efektif. Saya menganggap dunia perkopian sebagai wahana anak muda untuk saling bertukar pikiran, berdiskusi, serta menertawai kondisi diri hingga kondisi negeri. Permasalahan yang timbul di kehidupan, menjadikan hal tersebut sebagai pokok bahasan yang menarik untuk diperbincangkan.

Pemikiran anak muda yang suka nongkrong mendobrak stigma-stigma negatif bahwa budaya nongkrong dan ngopi adalah aktivitas yang buang-buang waktu. Pasalnya, beberapa orang tua yang sering saya jumpai beranggapan bahwa anak muda yang punya kebiasaan ngopi adalah anak muda yang kurang kerjaan. Namun, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Menurut saya, warung kopi adalah institusi sosial yang paling jujur di muka bumi.

Arena diskusi yang asyik

Ketika kita menikmati kopi, bisikan-bisikan liar tentang fenomena sosial di sekitar kita seolah bangkit. Gauman idealisme anak muda seperti saya kian membara. Serta, konflik batin yang dialami diri sendiri secara perlahan meluntur. Selain itu, ide-ide yang selama ini saya kubur dan tidak pernah tersalur, secara perlahan menemui titik baru yang terstruktur. Sehingga menurut saya, kopi benar-benar menjadi sebuah motivasi yang tidak pernah lari dari realitas keadaan diri.

Dalam menanggapi fenomena sosial, ketika di warung kopi, saya lebih cenderung mendiskusikannya dengan santai. Meskipun begitu, perdebatan yang timbul dari ketidaksesuaian pandangan terkadang tidak bisa dihindarkan. Akan tetapi, sesuatu yang bersifat opini wajar-wajar saja jika tidak ada yang menyetujui. Sebab, dalam dunia kopi, berbagai perspektif serta latar belakang lahir dari kehidupan sosial yang berbeda-beda. Dan, yang paling penting tidak akan menimbulkan konflik berkepanjangan.

Institusi peluhuran diri

Beberapa alasan mengapa saya menganggap bahwa dunia perkopian itu mengasyikkan, karena saya belum pernah menemukan individu yang pandai berpura-pura. Tidak ada status sosial yang dibuat-buat, semuanya berjalan apa adanya. Berbeda dengan kafe, meskipun secara esensial sama, tetapi di dalam kafe saya merasa tertekan. Sebab, saya harus berpenampilan layaknya orang yang “besar”. Selain itu, di kafe, menurut saya, lebih cenderung bersandar pada kesenangan, jarang sekali ada diskusi epic, pertukaran wawasan, dan hanya sibuk dengan ponselnya masing-masing.

Meskipun demikian, saya tidak pernah berkata bahwa saya membenci atau menganak-tirikan dunia kafe. Hanya saja, saya belum menikmatinya sebagai sebuah media bermeditasi. Sehingga, jarang sekali saya menghabiskan uang untuk sekadar mempertarungkan simbol dan mempertukarkan identitas sosial saya di dalamnya.

Sarana ‘persalinan’ ide-ide unik

Selain itu, warung kopi adalah media yang saya gunakan untuk menghasilkan ide-ide yang unpredictable. Beberapa ide yang muncul kadang kala merupakan ide-ide yang luhur dan jujur. Beberapa kali saya tercengang, mengapa ide-ide unik tersebut baru terpikirkan ketika saya meneguk kopi. Serta uniknya, meskipun secara pragmatis kita dilihat sebagai anak muda kerumunan, budaya nongkrong tidak selalu berorientasi pada hal-hal yang negatif. Justru, berkumpul membuat kita lebih peka terhadap permasalahan sekitar.

Misalnya, peka terhadap isu-isu sosial, ekonomi, politik, budaya, konspirasi, dan teknologi. Di samping itu, kita menjadi lebih paham bagaimana menyikapi polemik yang dibuat penguasa dan warga negara lainnya. Lantaran sebenarnya, permasalahan dapat didiskusikan dengan kepala yang dingin, tanpa saling ngotot dan adu jotos.

Dengan begitu, sejatinya, berdiskusi tanpa saling tersinggung merupakan pengalaman kebebasan yang paling indah menurut saya. Andai saja, keterbukaan yang dihasilkan dari benih-benih meminum kopi dapat diterapkan di tingkatan yang paling atas, maka bagian-bagian di bawahnya akan tenteram. Sehingga, masyarakat bawah tidak akan dibuat pusing oleh tingkah laku penguasa yang makin hari makin menjengkelkan.

Maka dari itu, sebagai anak muda yang produktif kita harus mampu berpikir kritis, dengan siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.

Adhitiya Prasta