Hikmawan Firdaus | Gabriella Keisha
Ilustrasi Mental Load (Pexels)
Gabriella Keisha

“Ditolak lagi, ya sudah biasa.” Kalimat itu terdengar  sederhana, tapi sebenarnya menyimpan banyak luka. Begitulah cara L (21) menghabiskan kesehariannya sebagai pencari kerja muda. Sejak lulus SMA di usia 18 tahun, ia sudah mulai berjuang menjadi kerja.

Ia masih ingat masa-masa itu, saat ia berpikir mencari pekerjaan hanyalah soal niat dan usaha, ternyata nggak sesederhana itu. 

Selama satu tahun lebih, L menghabiskan waktu di depan layar, membuka Instagram, Indeed, Kita Lulus, hingga CareerMAP. Ia rajin melamar pekerjaan lewat akun lowongan internal maupun umum. Tapi setiap kali membuka email, hasilnya sering sama: tidak ada kabar.

“Banyak lowongan minta minimal S1, pengalaman kerja ada minimalnya, bahkan syarat fisik tertentu, bahkan sampai nahan ijazah. Padahal gajinya masih di bawah standar,” ujarnya. 

Proses yang Panjang dan Menguras Mental

Menurut L, proses rekrutmen sekarang cenderung melelahkan. Ia beberapa kali ikut seleksi yang tahapnya begitu panjang, mulai dari administrasi, wawancara HRD, sampai wawancara user, tapi hasil akhirnya nihil.

L mengaku, yang paling membuat capek bukan cuma penolakannya, tapi ketidakpastian itu sendiri. “Kayak digantung. Udah nyiapin semua berkas, tapi enggak tahu diterima atau enggak. Lama-lama ya bikin capek banget,”

Setiap penolakan datang, rasa percaya dirinya sedikit demi sedikit terkikis. “Awalnya masih semangat, tapi setelah ditolak berkali-kali, mulai mikir, apa aku enggak cukup bagus ya?” ceritanya.

Beban Mental yang Tak Terlihat

Perasaan itu, pelan tapi pasti, berubah jadi beban psikologis. Mental load, begitu istilahnya. Tekanan yang datang dari banyak arah, seperti penolakan berulang, rasa tidak pasti, sampai komentar lingkungan sekitar.

“Teman-teman seangkatan udah kerja semua, kadang iri, kadang malu. Kalau ditanya kerja di mana, rasanya kayak gagal,” katanya jujur.

Bagi L, mental load itu seperti bayangan yang selalu mengikuti. Ia tetap mencoba melamar ke sana-sini, tapi setiap klik tombol “kirim lamaran”, muncul rasa takut ditolak lagi. “Capek, tapi nggak bisa berhenti. Soalnya kalau berhenti, berarti nyerah.” jelasnya.

Baginya, sistem rekrutmen di Indonesia masih perlu diperbaiki. “Pemerintah jangan cuma buka lowongan, tapi juga kaji sistem perusahaan. Banyak yang belum adil,” tegasnya.

Harapan di Tengah Kelelahan

Meski sekarang sudah bekerja, ia tak melupakan masa-masa sulitnya dulu. Cerita L menggambarkan sisi lain dari realitas anak muda hari ini, kompetitif, menuntut, tapi juga penuh tekanan emosional. Penolakan demi penolakan bukan hanya menguji kemampuan, tapi juga ketahanan mental.

Namun dari kisahnya, kita belajar satu hal, bahwa lelah boleh, berhenti tidak. Karena di balik setiap “ditolak lagi”, selalu ada kemungkinan baru menunggu di depan.