Hikmawan Firdaus | Thedora Telaubun
Billie Eilish bersama Finneas (Instagram/ @billieeilish)
Thedora Telaubun

Pernah merasa punya segalanya, tapi justru kehilangan diri sendiri? Billie Eilish pernah. Ia menuangkannya lewat lagu Everything I Wanted, salah satu karya paling jujur dan personal dalam kariernya. 

Di awal video musiknya di YouTube, muncul tulisan sendiri tapi menyentuh: “Finneas is my brother and my best friend. No matter the circumstance, we always have and always will be there for each other.”

Kalimat pembuka itu jadi kunci untuk memahami makna lagu ini. Video tersebut memperlihatkan Billie dan kakaknya, Finneas, mengendarai mobil di malam hari. Di tengah perjalanan, mobil itu perlahan tenggelam ke laut, tapi mereka tetap saling menggenggam tangan.

Adegan tersebut seolah melambangkan bagaimana seseorang bisa terhanyut dalam kegelapan pikirannya, tapi tetap diselamatkan oleh kasih sayang dan dukungan orang terdekat. 

Billie pernah mengungkapkan bahwa lagu ini lahir dari mimpi kelam tentang dirinya sendiri yang bunuh diri, dan tidak ada yang peduli. Ia menulis liriknya sebagai refleksi dari perasaan depresi yang ia alami di masa-masa awal ketenarannya. 

Kalimat pembukanya, “I had a dream/ I got everything i wanted/ Not what you’d think”, menggambarkan paradoks antara kesuksesan dan kehampaan batin.

Dukungan yang Menyelamatkan

Namun, lagu ini bukan hanya tentang keputusasaan. Di balik liriknya yang muram, terselip pesan hangat dari Finneas, sang kakak sekaligus produser: “ As long as I’m here, no one can hurt you.” Kalimat ini bukan hanya sebagai penghiburan, tapi pengingat bahwa dukungan emosional bisa menjadi penyelamat nyata bagi mereka yang sedang berjuang dengan kesehatan mental.

Menariknya, kisah Billie Eilish ini sejalan dengan banyak temuan tentang efek musik terhadap psikologis. Menurut Halodoc (2023), terapi musik terbukti dapat membantu menurunkan kadar stres, memperbaiki suasana hati, bahkan mengurangi gejala depresi ringan.

Musik memberikan rasa aman bagi seseorang untuk mengekspresikan emosi yang sulit diungkapkan, hal ini sangat penting bagi proses penyembuhan mental. 

Dalam psikologi, mekanisme ini dikenal sebagai catharsis: pelepasan emosi yang menekan perasaan negatif agar seseorang bisa merasa lebih lega dan tenang. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Behavioral Sciences (2024) juga menyebut bahwa mendengarkan musik membantu individu mengatur emosi (emotion regulation) dan mengembangkan kesadaran diri.

Bagi banyak orang, lagu sedih seperti Everything I Wanted justru memberi kenyamanan. Musik tidak selalu harus ceria untuk menyembuhkan; kadang, lagu yang melankolis bisa membantu seseorang merasa “dimengerti”. 

Mendengarkan musik yang sesuai dengan suasana hati dapat menjadi bentuk validasi emosional: seolah ada seseorang yang berkata, “Aku juga pernah merasakannya.”

Musik Jadi Tempat untuk Pulih

Seorang Wanita Berbaring di Sofa dan Terlihat Depresi (Pexels/ Ivan Samkov)

Lagu ini akhirnya menjadi lebih dari sekadar karya pop. Ia adalah pengakuan, bentuk kejujuran, sekaligus simbol pemulihan. Dalam setiap nada dan liriknya, Billie Eilish mengingatkan kita bahwa di balik keheningan dan rasa putus asa, selalu ada hal kecil yang bisa menyelamatkan: entah itu keluarga, sahabat, atau bahkan sebuah lagu.

Musik, pada akhirnya, bukan hanya hiburan. Ia adalah ruang untuk bernafas ketika kata-kata tak lagi cukup. Dalam konteks kesehatan mental, musik bisa menjadi jembatan antara emosi dan kesadaran diri: membantu seseorang memahami perasaannya tanpa harus selalu bisa menjelaskannya.

Dan mungkin, itu juga pesan terbesar dari Billie Eilish: bahwa setiap orang bisa merasa gelap, tapi tidak harus melewatinya sendirian. Jika musik bisa menyelamatkan, maka berbagi cerita, meminta bantuan, dan saling mendengarkan juga bisa menjadi bentuk kecil dari penyembuhan.

Everything I Wanted menjadi bukti bahwa bahkan dari luka terdalam, kita masih bisa menemukan melodi yang menyembuhkan.