Di tengah tekanan akademik, tuntutan pekerjaan, dan ritme hidup digital yang kian padat, anak muda Indonesia mulai mencari ruang-ruang alternatif untuk merawat kesehatan emosional mereka. Salah satu ruang yang tumbuh dari kebutuhan anak muda untuk menata kembali hati adalah Komunitas Tukar Akar. Berbeda dari citra lama bahwa sastra hanya milik ruang buku-buku tebal dan bahasa yang rumit, kini sastra kembali menjadi ruang ekspresi, sekaligus tempat aman bagi generasi muda yang membutuhkan jeda untuk merapikan perasaan.
Saat Tukar Akar merayakan ulang tahun pertamanya, Akbar Ariantono (22) merasa menemukan wadah yang nyata untuk mengekspresikan diri. Bukan hanya menulis atau membaca puisi sendirian, tetapi juga menyuarakan, membagikan, dan merayakan kata-kata itu bersama orang lain. Dari pengalamannya, terlihat jelas bahwa komunitas ini menjadi tempat di mana karya tidak hanya hidup di atas kertas, tetapi juga didengar dan dirasakan oleh sesama.
“Karena ulang tahun pertama Tukar Akar itulah, aku merasa menemukan ruang ekspresi yang lebih nyata. Tidak hanya membaca atau menulis puisi, baik sendiri maupun bersama orang lain, tetapi juga bisa menyuarakan dan membacakan puisi itu,” ujar Akbar.
Komunitas Tukar Akar mengadakan beragam kegiatan yang dirancang untuk menemani proses kreatif para anggotanya. Mulai dari menulis bersama, saling mengoreksi karya, hingga workshop untuk memperdalam teknik menulis.
Komunitas ini juga mendorong anggotanya menerbitkan buku, bermain dalam aktivitas-aktivitas kecil yang memecahkan kebekuan, serta menyediakan ruang aman untuk berbagi cerita, seperti tempat curhat yang dibalut suasana persahabatan. Menariknya, banyak peserta merasa lebih nyaman membuka diri melalui tulisan. Bagi mereka, bahasa sastra memberi jarak yang aman untuk mengekspresikan hal-hal yang sulit diucapkan secara langsung.
Kei Kurnia (28), ketua Komunitas Tukar Akar menginisiasi niat baik anak muda terhadap sastra dengan menyediakan ruang untuk saling belajar. Berdiri pada 6 Agustus 2023, komunitas ini menjadi tempat bagi mereka yang ingin merawat kebudayaan lewat kisah dan kata. Meski masih tergolong baru, komunitas ini berkembang menjadi ruang yang hangat untuk berproses kreatif.
Kei yang merasa bahwa kebutuhan akan ruang sastra semakin besar, dengan yakin membangun komunitas yang bertumbuh melalui perspektif yang saling mendengar. Dengan menguatkan hal ini melalui refleksinya, dulu ia merasa menulis sastra seakan-akan membawanya berjalan sendirian di jalan sepi yang tidak tahu kepada siapa harus berbagi. “Dulu kami merasa berkarya sastra itu seperti berjalan di jalan yang sepi. Kami menulis, tapi bingung mau membagikan karya ini ke siapa. Dari situ kami sadar kami butuh ruang untuk saling mendengar perspektif teman-teman yang sama-sama suka sastra,” jelas Kei.
Namun, dengan hadirnya Tukar Akar, ruang itu menjadi lebih terbuka. Anak-anak muda yang gemar membaca, menulis puisi, cerpen, atau novel akhirnya bertemu, saling mendengar, dan memperkaya cara pandang masing-masing. Di sinilah sastra menjadi cara membangun relasi, menciptakan percakapan, dan menghubungkan berbagai latar belakang.
Anggapan bahwa sastra sulit dijangkau justru dipatahkan melalui pengalaman para anggota di Tukar Akar. Sastra tidak harus berbahasa tinggi. Ia bisa hadir lewat kata-kata sederhana yang jujur, menata perasaan, dan merekam pengalaman sehari-hari. "Sekarang ini banyak yang mengira sastra itu sulit di gapai menggunakan bahasa yang tinggi, padahal tidak. Kita bisa belajar mengungkapkan perasaan kita, dan menata kata-kata kita dengan lebih indah dan mewakili perasaan itu sendiri," ucap Kei.
Pernyataan tentang proses kreatif bahwa imajinasi diolah dari pengalaman, kegembiraan, kegelisahan, kemarahan, hingga kebahagiaan, menegaskan bahwa karya sastra adalah rekam jejak batin seseorang. Ketika medium itu dibagikan di ruang seperti Tukar Akar, perasaan-perasaan yang sebelumnya tersembunyi berubah menjadi pengetahuan bersama.
“Tapi karena itulah, segala pengetahuan, pengalaman, dan ilmu yang kita miliki ikut memainkan imajinasi. Dari imajinasi itu, kita mengolah seluruh pengalaman kita, dari kesedihan, kegembiraan, kegelisahan, bahkan kebahagiaan dan kemarahan. Semuanya kita masukkan, hingga terakhir eksekusinya adalah keahlian bahasa,” katanya.
Setiap karya yang lahir bukan hanya hasil keahlian bahasa, tetapi juga refleksi atas hidup yang dialami dan dipahami bersama-sama. Semangat keberanian untuk mencoba, bereksperimen, dan bergembira bersama sastra juga menjadi fondasi penting komunitas ini. Anggota didorong untuk tidak takut menulis, tidak takut membaca karyanya di depan orang lain, dan tidak takut menuangkan perasaan.
Sastra menjadi sahabat yang menemani, bukan benda asing yang harus dijauhi. Di ruang ini, anak-anak muda merasa lebih bebas, lebih diterima, dan lebih jujur terhadap dirinya sendiri.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Berawal dari Hobi, Komunitas Satwa di Medan Ini Lawan Stigma dengan Edukasi
-
Komunitas MBOIG Tunjuk Ketua Umum Baru Jalankan Organisasi
-
Ketika Parfum Menjadi Gaya Hidup Cerita Jogja Fragrance Community
-
KOBOY, Komunitas Board Game sebagai Alternatif Hiburan Kota
-
Saat Gen Z Jogja Melawan Stres dengan Merangkai 'Mini Hutan'
Lifestyle
-
Belajar dari Cerita Ari Lasso: Pentingnya Intimasi dan Komunikasi bagi Pasangan Senior
-
Cari Smartwatch GPS Murah 2025? Cek 7 Model yang Lagi Naik Daun Ini
-
Dari yang Homey hingga Medis: Panduan Memilih Studio Pilates di Bandung
-
Wajah Auto Bebas Kilap! 4 Pilihan Skincare Innisfree untuk Kulit Berminyak
-
Redmi TV X 2026 Resmi Rilis: Harga Rp 5 Jutaan, Bawa Panel Mini LED 55 Inci
Terkini
-
Kami (Bukan) Sarjana Kertas: Satir Pendidikan dan Perjuangan Anak Muda
-
Berawal dari Hobi, Komunitas Satwa di Medan Ini Lawan Stigma dengan Edukasi
-
KOBOY, Komunitas Board Game sebagai Alternatif Hiburan Kota
-
Jule Diduga Terseret Isu Perselingkuhan Lagi usai Cerai, Bukti Dibongkar?
-
I'm Home oleh EXO: Janji Tuk Kembali Pulang ke Sisi Orang-Orang Terkasih