Scroll untuk membaca artikel
Siswanto | Siswanto
Sawah-Mengering-110914-ADB-1ok

Kalau kebetulan jalan-jalan ke daerah dan bertemu petani ketela pohon, ketela rambat atau bawang, coba tanya berapa harganya. Pasti beliau-beliau, para petani, akan bila harganya sangat murah ketika dibeli para tengkulak.

Para petani mengeluhkan betapa murah penghargaan para tengkulak itu terhadap hasil pertanian mereka. Sekarung ketela rambat atau ketela pohon, dihargai cuma beberapa ribu atau tak sampai belasan ribu.

Bahkan, saking  murahnya harga dari tengkulak, para petani bawang sampai membuang hasil panenan ke jalan raya. Itu dilakukan untuk memprotes.

Wajar saja mereka protes. Mengurus tanaman bukan hal yang mudah. Prosesnya panjang, mulai dari menyiapkan lahan, menanam, memupuk, memelihara, sampai memanen. Dan semuanya butuh biaya, misalnya membayar buruh atau beli pupuk.

Beberapa waktu lalu, saya mendengar cerita dari teman yang baru masuk supermarket untuk beli ikan laut. Di samping kolam ikan, berjejer ketela pohon, ketela rambat dan bawang.

Hasil pertanian tersebut dikemas dengan rapi dan dijejerkan di rak. Dan tahukah harganya, harganya mahal-mahal sekali. Per kantong rata-rata belasan ribu rupiah, bahkan sampai puluhan ribu.

Petani-petani di daerah pasti sudah tahu harga pasaran di supermarket. Tentu, itulah yang membuat mereka mengeluhkan kecilnya penghargaan terhadap petani. Ketela yang dibeli dari petani dengan harga sangat murah, lalu dijual dengan harga sangat tinggi di toko.

Dikirim oleh Priyo, Magelang

Anda memiliki berita atau foto menarik? Silakan kirim ke email: yoursay@suara.com

Array