Garis Kemiskinan (GK) adalah nilai yang digunakan untuk mengukur kemiskinan berdasarkan indikator rata-rata pengeluaran perkapita per bulan. GK dihitung dengan menjumlahkan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Pada September 2019 Badan Pusat Statistik mencatat komoditas pangan masih menjadi penyumbang terbesar garis kemiskinan di Indonesia, yakni sebesar 73,75 persen.
Kepala BPS Suhariyanto menuturkan penyumbang terbesar garis kemiskinan berasal dari komoditas yang masih sama, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Dengan demikian, pemerintah harus ekstra hati-hati menjaga komoditas ini agar stabil dan tidak berfluktuasi karena rentan berpengaruh terhadap penduduk miskin.
“Garis kemiskinan pada September 2019 adalah sebesar Rp440.538 per kapita per bulan. Dibandingkan dengan Maret 2019, garis kemiskinan naik sebesar 3,60 persen. Sementara jika dibandingkan dengan September 2018, terjadi kenaikan sebesar 7,27 persen”, ujarnya saat konferensi pers di Kantor BPS (15/01/2020).
Beras dan rokok kretek filter menempati urutan teratas sebagai kontributor GKM. Beras memberikan sumbangsih sebesar 20,35 persen di perkotaan dan 25,82 di pedesaan, disusul rokok kretek filter memberikan sumbangsih sebesar 11,17 persen di perkotaan dan 10,37 persen di pedesaan.
Komoditas lain yang turut menyumbang garis kemiskinan adalah telur ayam ras sebesar 4,44 persen di perkotaan dan 3,47 persen di pedesaan, daging ayam ras sebesar 4,07 persen di perkotaan dan 2,48 persen di pedesaan, mie instan sebesar 2,32 persen di perkotaan dan 2,16 di pedesaan, guIa pasir sebesar 1,99 persen di perkotaan dan 2,78 di pedesaan, serta kopi bubuk dan kopi instan sebesar 1,87 persen di perkotaan dan 1,88 persen di pedesaan.
Sementara itu, untuk komoditas bukan makanan yang ikut andil dalam menyumbang GKNM terbesar adalah perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi.
Kebijakan terkait harga perlu digodok untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya warga miskin agar dana bantuan sosial tepat sasaran. Hal ini telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan dengan menaikkan cukai hasil tembakau rata-rata 21,55 persen dan harga jual eceran (HJE) hingga 35 persen mulai 1 Januari 2020. Pemerintah berharap dapat meningkatkan pendapatan negara serta mengurangi konsumsi rokok masyarakat Indonesia.
Oleh: Virgiawan Santiko / Mahasiswa Pendidikan Ekonomi 2017
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Curhat Jokowi Selalu Dipusingkan Defisit Neraca Perdagangan
-
Salah Paham Soal Rokok Elektrik Harus Diluruskan, Ini Kata Kemenkes
-
Kompak, Dokter-dokter Tak Setuju Rokok Elektrik Beredar di Indonesia
-
Selain Rokok, Beras Jadi Penyumbang Terbesar Garis Kemiskinan Indonesia
-
Cairan Perasa pada Rokok Elektrik Menimbulkan Penyakit!
News
-
Sosok Mertua Tasya Farasya: Dari Tuduhan Pemalsuan Surat hingga Status Keturunan Nabi
-
Bukan Cuma Panggilan, Ini Beda Nama Asli Tasya Farasya di KTP Dulu dan Sekarang
-
Profil Erick Thohir, dari Menteri BUMN Kini Jadi Menpora di Kabinet Merah Putih
-
Reshuffle Kabinet Prabowo: Murni Evaluasi Kinerja atau Sekadar Drama Politik?
-
Prabowo Beri Pangkat Jenderal Kehormatan, Apa Maksud di Baliknya?
Terkini
-
Festival Bodri 2025: Diskusi Lintas Sektor Hasilkan Solusi Nyata untuk Kelestarian DAS Bodri
-
Torehkan Prestasi, Kimetsu no Yaiba: Infinity Castle Puncaki Box Office AS
-
Kencing di Dalam Bioskop, Pentingnya Jaga Adab Ruang Publik
-
Starter Pack Smart Home Buat Anak Muda: Mulai dari Mana Biar Gak Boncos?
-
Anime The Invisible Man and His Soon-to-Be Wife Rilis pada Januari 2026