Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | febria ero
Ilustrasi keuangan

Penyebaran pandemi corona secara global sejak beberapa bulan terakhir telah menyebabkan melemahnya pertumbuhan ekonomi nasional dan berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan dan perbankan. Hal tersebut ditunjukkan dengan menurunnya berbagai aktivitas ekonomi domestic yang secara tidak langsung menunjukkan semakin melemahnya daya beli masyarakat yang berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian di Indonesia.

Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat pandemi COVID-19 diperkirakan mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah yang dapat mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi. Untuk mengatasi hal tersebut, tentu diperlukan adanya mitigasi bersama oleh Pemerintah dan para stakeholder untuk mengurangi risiko- risiko sekaligus meminimalisir dampak buruk pandemi corona dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan.

Sebagai stakeholder sekaligus pembuat kebijakan utama dalam keuangan dan perbankan, BI, Kemenkeu, dan OJK terus menerus berkoordinasi secara intens baik dari aspek stabilitas moneter, SSK, maupun fiskal, dalam mendorong dan memacu ekonomi serta mengurangi beban masyarakat untuk mengatasi dampak penyebaran COVID-19.

Sebagai langkah mitigasi pemerintah dalam penanganan pandemic corona, pemerintah telah mengeluarkan PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 untuk menyelamatkan perekonomian dan stabilitas keuangan nasional.

Pandemic covid-19 telah mendisrupsi berbagai sektor termasuk diantaranya adalah sektor perbankan. Lalu, risiko apa sajakah yang dihadapi perbankan akibat pandemi ini?

Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana, regulator melihat adanya 3 potensi risiko bagi sektor perbankan, yakni risiko kredit yang akan terjadi apabila UMKM gagal memenuhi kewajiban kreditnya.

Risiko kredit yang mungkin akan terjadi adalah non-performing loan (NPL) yakni risiko perbankan jika nasabah tidak mampu membayar kewajibannya.

Risiko yang ketiga adalah risiko likuiditas, jika debitur gagal memenuhi kewajibannya maka hal tersebut akan berdampak pada arus kas perbankan.

Untuk meminimalisir risiko perbankan tersebut maka OJK telah merilis regulasi POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. 

Kebijakan stimulus tersebut mencakup 2 hal utama, yang pertama adalah penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain dengan plafon s.d Rp10 miliar; 

Kebijakan yang kedua adalah kebijakan restrukturisasi dengan peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi selama masa berlakunya POJK. Ketentuan ini dapat diterapkan oleh Bank tanpa melihat batasan plafon  maupun jenis debitur. 

Lalu bagaimanakah kebijakan dan langkah-langkah Bank Indonesia selaku bank sentral dalam merespon penyebaran dampak covid-19 ini untuk memperkuat stabilitas di pasar valas dan pasar keuangan dalam penyediaan pembiayaan dari perbankan?

BI selaku stakeholder penting dalam kebijakan moneter telah menempuh langkah-langkah guna mengurangi dampak covid-19 di sektor keuangan dan perbankan, antara lain:

Penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps), penurunan suku bunga tersebut diharapkan bisa mendorong pembiayaan ekonomi agar momentum pertumbuhan tetap terjaga meskipun di tengah hantaman pandemi covid-19.

Stabilisasi nilai tukar rupiah dengan terus memantau perkembangan perekonomian global di tengah krisis penyebaran covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian domestik serta injeksi likuiditas dalam jumlah yang besar baik likuiditas rupiah maupun valas.

Mempermudah arus pasar uang dan pasar valas baik di dalam maupun luar negeri dengan melakukan kebijakan relaksasi bagi investor asing terkait lindung nilai dan posisi devisa neto dengan penggunaan rekening Rupiah dalam negeri (Vostro) bagi investor asing sebagai underlying transaksi dalam transaksi DNDF, hal tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak lindung nilai atas kepemilikan Rupiah di Indonesia.

Pelonggaran makroprudensial agar tersedianya pendanaan bagi eksportir, importir dan UMKM untuk mendorong pembiayaan kredit dari perbankan sekaligus memperkuat pembiayaan perekonomian maupun pembiayaan ramah lingkungan.

Selanjutnya, di Sistem Pembayaran, BI menjamin ketersediaan uang layak edar yang higienis, dan mendorong penggunaan pembayaran non-tunai termasuk melalui perpanjangan masa berlakunya MDR 0% untuk QRIS dari Mei menjadi September 2020, yang disepakati bersama ASPI dan PJSP. 



 

 

febria ero

Baca Juga