Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | agustina fajri nur fatimah
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Indonesia saat ini telah diguncang dengan adanya Covid-19 yang penyebarannya sudah menyeluruh di Indonesia bahkan seluruh dunia. Tidak sedikit dampak yang telah dirasakan oleh masyarakat Indonesia, terutama yang berkecimpung di bidang pariwisata, kebudayaan, pendidikan dan perekonomian.

Merebaknya pandemi Covid-19 ini membuat pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menekan jumlah penyebaran virus tersebut dengan melalui penerapan “sosial distancing”, yakni dengan membatasi kunjungan ke tempat ramai dan kontak langsung dengan orang lain.

Dari kebijakan tersebut banyak dampak negatif yang ditimbulkan terutama pada perekonomian untuk para tenaga kerja lepas. Untuk mencegah melemahnya perekonomian masyarakat, pemerintah mengambil kebijakan dengan memberikan kelonggaran pembayaran angsuran selama satu tahun, terutama untuk para pekerja ojek, tukang becak, UMKM, buruh pabrik dan sebagainya.

Presiden RI Joko Widodo mengumumkan kebijakan keringanan pembayaran kredit dalam video conference di Istana Bogor, Selasa (31/3/2020). Menurut Jokowi, dalam penanganan virus corona, dunia usaha harus dijaga, utamannya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar tetap beroperasi dan mampu menjaga penyerapan tenaga kerja.

Oleh karena itu, pemerintah memberlakukan keringanan pembayaran kredit. Kebijakan tersebut sudah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Presiden RI Joko Widodo seperti dilansir tayangan headline news Metro TV pada 27 Maret 2020. Namun fakta di lapangan memberikan jawaban bahwa penerapannya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Penyimpangan kebijakan itu terjadi di daerah zona merah. Berdasarkan survei offline dan online di Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora dari tanggal 6-12 Juni 2020 sebesar 60% masih ditemui perbankan yang memberlakukan pembayaran angsuran kepada 30 masyarakat. Rata rata yang menjadi nasabah dari pembayaran angsuran tersebut adalah IRT, pedagang, ART,dan wirausaha. Pembayaran angsuran dilakukan dua minggu sekali dengan presentase 46,7% rata-rata pembayaran di atas Rp100.000.

Dari sejumlah kuesioner yang disebar terdapat 50% nasabah yang apabila tetap dipaksa untuk membayar mereka membayar seadanya. Meski mereka membayar seadanya akan tetapi 70% kesehatan mental dan fisik mereka jadi terganggu darah tinggi dan nafsu makan menjadi pemicu buruknya kesehatan. Meski sudah menjelaskan kepada petugas bank terkait informasi kebijakan pemerintah akan tetapi hal itu tidak bisa menghentikan petugas bank menarik pembayaran angsuran.

Peranan dari perangkat desa sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan itu, namun berdasarkan survey yang penulis lakukan 53,3% peranan perangkat desa kurang tegas. Dalam hal ini ada RT yang mengetahui permasalahan namun tidak berani menegur, justru warga biasa yang menegur.

Kepala desa memberikan surat pemberitahuan yang isinya petugas bank dilarang masuk di kawasan itu, tetapi solusi tersebut tidak juga menghentikan petugas bank untuk menarik angsuran. Pemasangan spanduk tentang larangan memasuki area itu juga sudah ditempel di depan gerbang masuk, hal itu tak mampu menyelesaikan masalah.

Dari permasalahan tersebut semestinya ada kejelasan informasi yang benar antara kebijakan pemerintah dan fakta di lapangan, misalpun tidak memberlakukan liburan angsuran harus disertakan alasan yang cukup jelas seperti kebijakan tersebut belum bisa diterapkan dan perintah dari manager untuk tetap memberlakukan pembayaran.

Dari data penelitian yang dilakukan penulis ada tiga opsi yang masyarakat harapkan yakni 36,7% membayar seadanya, 40% tetap menunda pembayaran angsuran sesuai keputusan OJK dan Presiden RI, 23,2% tetap membayar angsuran apabila memiliki uang agar hutang cepat lunas.

agustina fajri nur fatimah

Baca Juga