Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Anantya Aliyya
Ilustrasi menikah atau pernikahan syari [shutterstock]

Perkawinan merupakan ikatan suci diantara dua insan berlainan jenis yang telah menjadi sunnatullah setiap manusia guna melanjutkan keturanannya. Sehingga Kompilasi Hukum Islam menyebut perkawinan sebagai ikatan yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan menjalankannya merupakan ibadah. Mengingat konsekuensi logis dari suatu pernikahan sangatlah mulia dan berbudi luhur.

Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi kriteria sahnya perkawinan menurut hukum islam, yaitu terpenuhinya rukun nikah, syarat nikah, dan perkara wajib namun bukan bagian dari rukun nikah.Apabila semua terpenuhi maka suatu perkawinan dapat dinyatakan sah menurut hukum islam.

Hal ini lah yang kemudian difasilitasi oleh Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang mengatakan bahwasannya suatu perkawaninan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Yang kemudian dicatat menurut undang-undang yang berlaku guna menjaga ketertiban serta menjaga kesucian dari perkawinan tersebut.

Dewasa ini, mungkin kita sering mendengar pernikahan antar umat beragama yang berlainan kepercayaan. Bahkan perkawinan semacam ini tidak hanya dilakukan oleh orang biasa, namun juga dilakukan oleh public figure, artis, bahkan sampai konglomerat. Lantas bagaimana legalitasnya menurut hukum yang berlaku di Indonesia khusunya jika dikaji berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam? Dan bagaimana bisa mereka yang melaksanakan perkawinan beda agama dapat melakukan pecatatan nikah di Indonesia?

Pandangan agama Islam terhadap perkawinan beda agama pada dasarnya tidak diperbolehkan. Dalil mengenai larangan pernikahan beda agama tersebut terdapat dalam Surah Al Baqarah ayat 221 yang artinya,

"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah (2):221)

Larangan dalam ayat tersebut berlaku bagi laki-laki maupun perempuan beragama islam untuk menikahi orang-orang yang tidak beragama islam.

Namun, Al-Quran juga memberikan pengaturan berbeda mengenai menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Dalam Surah al Maidah ayat 2, Allah berfirman yang artinya

“Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan.” (Al-Maidah (5): 5)

Pembolehan melaksanakan perkawinan dengan perempuan ahli kitab dalam ayat tersebut juga disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 10. Namun persoalannya, Apakah wanita Yahudi dan Nasrani yang sekarang masih dapat disebut sebagai ahli kitab seperti pada zaman dahulu?

Hal ini pun sampai saat ini masih menimbulkan perdebatan dan kontroversi. Mayoritas ulama mengatakan bahwa mereka bukan lagi termasuk pengertian ahli kitab yang boleh dikawini. Karena menurut mayoritas ulama, wanita Nasrani maupun Yahudi dikelompokkan ke dalam pengertian musyrik sebagaimana terdapat dalam Al-Baqarah ayat 221.

Mengenai perkawinan beda agama inipun, Para Ahli fikih masih terdapat perbedaan pandangan. Mereka terbagi menjadi golongan yang memperbolehkan dan golongan yang mengharamkan perkawinan beda agama. Hal ini terjadi karena dalil-dalil yang ada berbeda-beda dalam menjelaskan perkawinan beda agama itu sendiri serta masih memerlukan pemahaman yang mendalam. Artinya, dalil-dalil yang berkenaan dengan perkawinan antar pemeluk agama tidak memberikan kepastian hukum, sehingga memerlukan ijtihad dalam menentukan hukum kebolehan dan keharamannya.

Dalam Pasal 40 huruf (c) KHI menyebutkan bahwasannya dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria kepada seorang wanita yang tidak beragama islam. Dan pada Pasal 44 KHI menyebutkan,

“Seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam.”

Dari kedua pasal tersebut telah jelas secara hukum perkawinan islam nasional perkawinan beda agama itu dilarang. Termasuk juga perkawinan antara seorang laki-laki beragama islam dengan perempuan ahli kitab. Hal ini bertujuan untuk mencapai kepastian hukum serta mencapai kemaslahatan mengenai pengaturan perkawinan di masyarakat.

Senada dengan itu, Majelis Ulama Indonesia Dalam Keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama Indonesia No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 Juni 1980 tentang Fatwa Perkawinan Campuran, menfatwakan

1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.

2. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.

Yang kemudian Pada Munas MUI ke VII, fatwa dalam Munas kedua tersebut dipertegas kembali oleh MUI dengan menetapkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama.

Menurut Prof. Abdul Ghofur Anshori, Perkawinan beda agama apabila ditinjau dari aspek nilai, tidak sejalan dengan rasa keadilan yang dalam masyarakat yang agamis. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai reaksi, khususnya dari keluarga maupun pasangan. Secara empiris, perbedaan agama juga merupakan salah satu potensi terbesar dalam terjadinya disharmoni dalam keluarga karena perbedaan nilai dan kepentingan yang ada dalam keluarga tersebut.

Perkawinan beda agama juga berpotensi memunculkan berbagai permasalahan hukum, seperti

1.Mengenai Keabsahan perkawinan yang akan menimbulkan kurangnya kepastian mengenai pemenuhan hak dan kewajiban antara suami dan istri.

Mengingat perbedaan agama dari calon pengantin merupakan salah satu larangan perkawinan, sebagaimana telah di sebutkan dalam Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44 KHI yang telah diuraikan sebelumnya. Sehingga perkawinan beda agama tersebut tidak bisa dilakukan pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini secara mutatis mutandis, membuat perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap (vide Pasal 6 ayat 2 KHI). Keadaan ini akan menyulitkan suami atau istri ketika akan mengajukan gugatan ke pengadilan guna menuntut haknya apabila salah satu pihak diantara mereka lalai dalam memberikan hak dan menunaikan kewajiban kepada pihak lain.

2. Hak Kewarisan terhadap Anak-Anaknya.

Anak-anak yang lahir dari perkawinan beda agama tidak akan memiliki agama kembar. Konsekuensinya, seorang anak hanya akan seagama dengan salah satu diantara orang tua nya. Hal ini menjadi persoalan ketika, anak tersebut memiliki agama selain islam yang menyebabkan dirinya terhalang mendapatkan warisan dari orang tuanya yang beragama islam. Walaupun bisa menggunkan wasiat wajibah pada anak tersebut, tentunya bagiannya tidak akan sama dengan ahli waris lain yang sederajat (anak-anak kandung lainnya yang beragama islam). Sehingga menimbulkan persoalan keadilan di antara para ahli waris tersebut.

3.Masalah pilihan Pengadilan tempat menyelesaikan sengketa rumah tangga (Kompetensi Absolut Pengadilan).

Dalam lembaga peradilan agama, dikenal asas personalitas keislaman. Yaitu dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili ditentukan dengan keislaman subyek hukum. Pengadilan Agama hanya dapat mengadili mereka yang beragama Islam dan yang menundukkan diri pada Hukum Islam. Terhadap pasangan yang berbeda agama dimungkinkan terjadi sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Sehingga apabila sampai terjadi sengketa dalam perkawinan tersebut di kemudian hari, ditakutkan akan membuat perkara yang diajukan menjadi lama dan berbelit-belit.

Kemudian mengenai realitas, masih terdapatnya kesempatan atau celah dilakukan pencatatan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi dalam kasus pencatatan perkawinan beda agama oleh Pegawai Pencatat nikah yaitu,

 Pertama, salah satu calon mempelai dapat melakukan perpindahan agama ke agama pasangannya sebelum melangsungkan perkawinan. Namun cara ini termasuk penyelundupan hukum karena yang terjadi adalah menyiasati secara hukum agar bisa menghilangkan larangan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan. Yang kemudian setelah perkawinan berlangsung, masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing.

Kedua, dengan melaksanakan perkawinan beda agama di luar negeri kemudian mencatatkannya di Indonesia. Hal ini dimungkinkan, mengingat bahwa sifat pencatatan dari Kantor Catatan Sipil adalah mengenai syarat formil dari suatu perkawinan yaitu pelaporan administratrif saja, bukan menentukan sah atau tidaknya perkawinan karena itu merupakan otoritas hakim.

Namun, mengenai Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 yang memerintahkan Pegawai Pencatatan pada Kantor Catatan Sipil Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Vonny P. (beragama Islam) dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelawan (beragama Kristen protestan) menurut hemat penulis, putusan tersebut dewasa ini sudah tidak lagi relevan. Mengingat pada saat dibuat putusan tersebut masih terdapat kekosongan hukum (recht vacuum) mengenai pengaturan perkawinan beda agama karena belum ada patokan yang jelas mengenai (pengizinan) perkawinan beda agama baik dari Undang-undang Perkawinan maupun tiap-tiap agama yang ada. Hal ini dapat dilihat dalam poin ketiga Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung dalam putusan aquo, yaitu

"Dengan demikian didalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 terdapat kekosongan hukum mengenai perkawinan beda agama. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralistic sehingga niat untuk melangsungkan perkawinan beda agama akan selalu ada. Karena itu harus dicarikan pemecahannya. Membiarkan masalah ini berlarut-larut akan menimbulkan dampak negative berupa penyelundupan nilai-nilai sosial, agama maupun hukum positif. Maka dari itu harus ditentukan dan ditemukan hukumnya."

Keadaan ini berubah sejak diundangkannya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pengisi terhadap kekosongan hukum tersebut dengan mnemuat pengaturan yang lebih jelas mengenai larangan pernikahan beda agama menurut hukum islam (vide pasal 40 huruf (c) dan pasal 44 KHI).

Jadi, Hukum Islam Nasional setelah diundangkannya Kompilasi Hukum Islam secara tegas dan jelas telah melarang perkawinan beda agama baik untuk menikahi laki-laki maupun perempuan yang tidak beragama islam. Hal ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kemaslahatan mengenai perkawinan itu sendiri. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan lagi mengenai pembentukan produk hukum yang ada khusunya produk hukum perkawinan islam agar tidak dimungkinkan lagi perintangan maupun penyelundupan hukum ketika regulasi tersebut telah diberlakukan di masyarakat.

Daftar Pustaka

  • Al-Quran Terjemahan. 2015.Departemen Agama RI. Bandung: CV Darus Sunnah
  • Pemerintah Indonesia. 1974. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara RI Tahun 1974, No. 1. Sekretariat Negara, Jakarta.
  • Pemerintah Indonesia. 1991. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam .Sekretariat Negara. Jakarta.
  • Yurisprudensi Mahkamah Agung No.Reg. 1400K/PDT/1986
  • Majelis Ulama Indonesia. 1 Juni 1980. Keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama Indonesia No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tentang Perkawinan Campuran. 
  • Majelis Ulama Indonesia. 29 Juli 2005. Keputusan Musyawarah Nasional ke VII Majelis Ulama Indonesia No. 4/MUNAS VII/MUI//2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
  • Al-Asy’ari, Abu Mansur. 2019. Hukum Nikah Siri. Sleman: Dee publish.
  • Anshori, Ghofur Abdul. 2011. Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif.Yogyakarta:UII Press 
  • Syarifudin, Amir.1976.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana Prenada Media. 
  • Abubakar, Al Yasa, Novita. Pandangan Imam Ibnu Taimiyah tentang Perkawinan Laki-Laki Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab. Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol. 1 No. 2. Juli-Desember 2017
  • Arifin, Zainal. Perkawinan Beda Agama. Jurnal Al-Insyiroh Vol.2 No.2 2018
  • Asia, Nur. Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam.Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol. 10 No. 2 Juli-Desember 2015
  • Halim, Abdul, Carina Rizky. Keabsahan Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri Dalam Tinjauan Yuridis. Jurnal Moral Kemasyaraktan VOL. 1 NO.1 Juni 2016
  • Dr. Hartini, Catatan Perkuliahan Fakultas Hukum UGM Mata Kuliah Hukum Islam tentang Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa Syariah , tanggal 24 November 2020

Anantya Aliyya

Baca Juga