Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Ghazali Akbarna
Pekerja mengemas paket bantuan sosial (bansos) di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4/2020). Pemerintah pusat menyalurkan paket bansos masing-masing sebesar Rp 600 ribu per bulan selama tiga bulan sebagai upaya untuk mencegah warga tidak mudik dan meningkatkan daya beli selama pandemi COVID-19 kepada warga yang membutuhkan di wilayah Jabodetabek. [ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat]

Per tanggal 13 April 2020, Pandemi Covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional, secara tertuang dalam Keppres No. 12 Tahun 2020. Pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap perekonomian, hingga hampir menyebabkan resesi dalam perekonomian global (Sugiarto, 2020) Maka, tidak heran jika implikasi terhadap perekonomian juga termasuk kepada negara Indonesia.

Dampak yang ditimbulkan dengan adanya pandemi Covid-19 di Indonesia merambat ke sejumlah bidang, tidak terkecuali perekonomian. Pada kuartal II 2020, pertumbuhan ekonomi tercatat melambat dan mengalami kontraksi hingga minus 5,32 persen secara tahunan.

Kontraksi terdalam dialami sektor konsumsi rumah tangga. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dampak dari pandemi Covid-19 dalam hal perekonomian telah mengakar hingga ke unit terkecil dari masyarakat, yaitu rumah tangga. Maka dari itu, diperlukan pembuatan kebijakan sosial yang sesuai dari pemerintah untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat di tengah pandemi.

Menurut Bessant dkk. (2004) dalam (Suharto, 2006), kebijakan sosial merujuk kepada upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan pemberian tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan, dan program-program lain. Tentunya, masyarakat menuntut penerimaan sebuah bentuk layanan bantuan tertentu dari pemerintah, mengingat bahwa di perekonomian, pemerintah memiliki tiga fungsi inti, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Maka dari itu, pemerintah menyediakan layanan ini melalui program bantuan sosial.

Program Bantuan Sosial di Masa Pandemi Covid-19

Menurut Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai, dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Penyaluran Belanja Bantuan Sosial di Lingkungan Kementerian Sosial, bantuan sosial adalah bantuan berupa uang, barang, atau jasa kepada seorang individu atau kelompok masyarakat yang tergolong rentan terhadap risiko sosial.

Adapun dalam situasi pandemi Covid-19. Pemerintah yang dalam hal ini pemerintah pusat membuat berbagai instrumen bantuan sosial kepada masyarakat yang tergabung dalam Program Jaring Pengaman Sosial. Program tersebut terdiri atas 9 jenis program bantuan yaitu: Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako di Jabodetabek dan Non-Jabodetabek, Program Bantuan Tunai Non Jabodetabek, Program Subsidi Gaji, Program Kartu Prakerja, Program Bantuan Tunai Dana Desa, Bantuan Produktif UMKM, dan Diskon Listrik. (Ratriani, 2020)

Dalam artikel ini, bantuan sosial yang akan ditelusuri lebih lanjut adalah bantuan yang berupa sembako dan bantuan langsung tunai (BLT) yang telah disalurkan kepada rakyat Indonesia sejak masa awal pandemi Covid-19. Program bansos ini dimulai pada sekitar awal bulan April ketika Presiden Jokowi mengumumkan pemberian bantuan tersebut bagi warga di wilayah Jabodetabek (Farisa, 2020).

Penyaluran bansos oleh pusat tentu tidak tanpa permasalahan. Penelitian ini akan membahas sebuah permasalahan utama dalam bentuk penyaluran bansos itu sendiri. Per tanggal 3 Juni 2020, dalam siaran pers, Ketua Ombudsman RI menyampaikan bahwa mereka telah menerima sebanyak 1004 laporan terkait dengan pelayanan publik dampak dari pandemi Covid-19, dan sekitar 817 dari jumlah laporan tersebut berkaitan dengan permasalahan penyaluran bansos.

Dari laporan-laporan tersebut, permasalahan yang lebih rinci termasuk: penyaluran bansos yang tidak merata, sasaran bansos yang tidak tepat, sebagian masyarakat yang tidak terdaftar dalam data penerima, ada yang terdaftar namun tidak menerima bantuan, dan lain-lain. Adapun juga permasalahan tentang sembako yang telah disalurkan kepada salah satu warga yang ternyata telah tidak dalam kondisi layak untuk dikonsumsi.

Berdasarkan latar belakang yang telah diberikan, penulis ingin mengetahui tentang bagaimana penerapan etika kebijakan publik dalam kebijakan penyaluran bantuan sosial (bansos) pusat dalam pandemi Covid-19. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana penerapan etika kebijakan publik dalam kebijakan penyaluran bantuan sosial (bansos) pusat dalam pandemi Covid-19? Tujuan pembuatan penelitian ini yakni untuk mengadakan analisis terhadap penerapan etika kebijakan publik

Teori Etika Kebijakan Publik

Etika pelayanan publik adalah cara memberikan suatu bentuk pelayanan terhadap publik dengan mengimplementasikan kebiasaan-kebiasaan yang terdiri dari nilai-nilai hidup, hukum atau norma yang dianggap mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik (Kusumawati, 2019). Etika publik biasanya menekankan kepada “benar atau salah” dari implementasi sebuah kebijakan, berdasarkan keadaan di sekitar penerapan kebijakan tersebut.

Menurut Haryatmoko (2011), etika publik bersumber dari tiga dimensi, yaitu tujuan, sarana, dan tindakan. Dari dimensi sarana, mencakup segi akuntabilitas dan transparansi dari kebijakan tersebut. Dimensi tindakan menunjukkan efektivitas sebuah kebijakan dalam menghasilkan integritas publik. Sementara itu, dimensi tujuan adalah untuk memberikan pelayanan publik yang efisien dan berkualitas bagi masyarakat.

Adapun dua pendekatan yang dapat dipakai dalam penerapan etika kebijakan publik, yaitu pendekatan teleologi dan pendekatan deontologi (Kartasasmita dalam Arif, 2008). Untuk pendekatan teleologi, penerapan kebijakan berdasarkan pada konsekuensi dari kebijakan yang diambil atau keputusan yang dibuat oleh pejabat publik untuk menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Dalam konteks kebijakan publik, pengukuran pendekatan teleologi dilakukan pada pencapaian tujuan dari kebijakan tersebut, seperti menjamin kesehatan masyarakat, pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain. Dengan pendekatan teleologi, pejabat publik juga dapat mengembangkan cara untuk memaksimalkan nilai kebaikan bagi publik.

Sementara itu, pendekatan deontologi berlandaskan kepada prinsip-prinsip moral yang perlu ditegakkan oleh pembuat kebijakan karena kebenaran yang terdapat pada dirinya (Arif, 2008). Pendekatan deontologi tidak terikat dengan konsekuensi yang dihasilkan oleh kebijakan tersebut. Fungsi dari pendekatan deontologi adalah untuk mengubah pola pikir pejabat publik sedemikian rupa sehingga etika dan kebijakan yang dikeluarkan berorientasi kepada masyarakat.

Permasalahan Etika dalam Kebijakan Bantuan Sosial Covid-19

Apabila dilihat dari segi etika deontologi, dapat dibilang bahwa penyaluran bansos pusat sudah mengikuti nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Proses penyaluran bansos tersebut juga tidak tanpa sebuah payung hukum. Contohnya terdapat pada pendataan penerima bansos, yang sesuai dengan Peraturan Kementerian Sosial Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Penyaluran Belanja Bantuan Sosial di Lingkungan Kementerian Sosial pasal 17 ayat (1), yang menyebutkan “Penerima Bantuan Sosial yang memiliki kategori miskin dan tidak mampu sumber datanya mengacu kepada DT PFM dan OTM Kementerian Sosial.”

Akan tetapi, masih terdapat hambatan dari struktur internal pemerintah berupa pola pikir dari pemerintah selaku penyelenggara kebijakan yang belum memprioritaskan masyarakat, dan justru mengedepankan ego. Salah satunya adalah ego sektoral yang terlihat pada relasi pemerintah pusat dengan Pemprov DKI Jakarta (CNN Indonesia, 2020), yang kemudian menyebabkan hubungan antara keduanya pun tidak harmonis, sehingga proses birokrasi menjadi berbelit-belit dan kemudian menyulitkan masyarakat dalam memperoleh bantuan.

Padahal sepatutnya pemerintah pusat maupun daerah menjalankan layanan publik dengan masyarakat sebagai prioritas utama. Niat dan tujuan awal dari diterapkannya bansos serta peningkatan intensitasnya di tengah pandemi memang sudah baik, karena sasaran utamanya adalah membantu masyarakat untuk bertahan hidup di tengah kondisi yang kian sulit. Namun pada akhirnya, proses eksekusi yang rumit pun menyulitkan semua pihak, sehingga implementasinya pun tidak dapat berjalan dengan baik.

Permasalahan ego sektoral dalam penyaluran bansos ini juga membuka kotak pandora untuk faktor-faktor lain terkait penyaluran bansos ini. Salah satunya adalah ketidakakuratan dalam pendataan penerima bantuan di tingkat pemerintah daerah. Seperti yang diungkapkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar Mohamad Arifin Soedjayana (tirto.id, 2020) masih banyak data yang dobel dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sehingga ada paket sembako yang seharusnya disalurkan, yang harus diretur. Dari data rumah tangga sasaran yang ada di pemerintah daerah, ada pengembalian barang dari non-DTKS sebesar tiga persen, sementara dari DTKS sebesar delapan persen.

Ketidakakuratan data tersebut juga mengatributkan terhadap permasalahan kelayakan sembako bansos yang disalurkan kepada masyarakat. Pada Juni 2020 yang lalu, sempat beredar kabar dari Bulog Jawa Barat, dimana ditemukan bansos sembako telur yang sudah busuk, sehingga tidak dapat dikonsumsi. Dalam kasus ini, ditemukan sebanyak 300 kilogram telur yang perlu dimusnahkan karena sudah terlalu lama disimpan. Akhirnya, lubang sedalam satu meter pun dibuat di Balai Rakyat, Kecamatan Sukmajaya untuk memusnahkan telur-telur tersebut.

Dari permasalahan-permasalahan yang terdapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dari pendekatan teleologi, kebijakan penyaluran bantuan sosial ini, pada tahap awalnya, masih belum sepenuhnya mencapai sasaran yang diinginkan oleh pemerintah.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dari kasus-kasus yang ada, bisa disimpulkan bahwa penyaluran bantuan sosial oleh pemerintah, yang berupa sembako dan bantuan tunai, masih terhitung problematis, bahkan dalam urgensi tinggi seperti dalam pandemi Covid-19 sekalipun. Pemerintah selaku penyelenggara layanan publik, dalam konteks ini bantuan sosial, pun selama ini telah kurang kompeten dalam menjalankan fungsinya dalam melayani masyarakat, karena masyarakat hingga saat ini belum dapat merasakan manfaat sepenuhnya dari bantuan ini.

Penerapan kebijakan penyaluran bantuan sosial meliputi adanya pendekatan teleologi dan deontologi. Sejauh ini, pengaruh paling besar terletak pada pendekatan deontologi, dimana diterapkannya penyaluran bantuan sosial memang ditujukan untuk menunjang keberlangsungan hidup masyarakat. Sementara itu dari segi pendekatan teleologi, apabila dilihat dari moral dan pola pikir pemerintah penyelenggara dalam pencapaian sasaran bersama, penyaluran bantuan sosial masih belum diterapkan secara maksimal.

Saran yang dapat diberikan bagi pemerintah pusat selaku penyelenggara bansos sebagai layanan dan kebijakan publik adalah untuk lebih memperhatikan kinerjanya di lapangan, terutama terkait etika dalam ranah administrasi publik. Sebagai pejabat yang berlandaskan pada etika tersendiri yang khusus, tentunya ekspektasi masyarakat terhadap performa pemerintah pun tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan serta pengawalan yang ketat untuk penggunaan anggaran pemerintah, terutama saat pandemi ketika bantuan pemerintah digencarkan sehingga lebih mudah untuk disalahgunakan. Pada akhirnya, sejatinya kebijakan publik diperuntukkan bagi masyarakat, maka masyarakat harus menjadi prioritas pula dalam eksekusinya.

Penulis: Ghazali Akbarnajah HW, Virda Lalitya Umam, dan Fauzan Rizki Ramzi (Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia)

Daftar Pustaka

  • Arif, S. (2008). Paradigma Pelayanan Publik. In Reformasi Pelayanan Publik. Program Sekolah Demokrasi PLaCIDS dan Averroes Press.
  • CNN Indonesia. (2020, Mei 7). Pengamat: Ego Sektoral Pusat-Daerah Jadi Persoalan Bansos DKI. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200507184202-20-501088/pengamat-ego-sektoral-pusat-daerah-jadi-persoalan-bansos-dki
  • Dewi, R. S. (2020, Juni 10). Evaluasi Penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) Tahap Satu, Covid-19. Ombudsman Republik Indonesia. https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--evaluasi-penyaluran-bantuan-sosial-bansos-tahap-satu-covid-19-
  • Farisa, F. C. (2020, September 3). Melihat Efektivitas 9 Bantuan dan Subsidi Pemerintah Selama 6 Bulan Pandemi. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2020/09/03/12090061/melihat-efektivitas-9-bantuan-dan-subsidi-pemerintah-selama-6-bulan-pandemi?page=all
  • Jannah, S. M. (2020, Juli 2). Telur Busuk di Depok Bukti Buruknya Data dan Distribusi Bansos Baca selengkapnya di artikel "Telur Busuk di Depok Bukti Buruknya Data dan Distribusi Bansos. tirto.id. https://tirto.id/telur-busuk-di-depok-bukti-buruknya-data-dan-distribusi-bansos-fMKZ
  • Kusumawati, M. P. (2019, Juni). Harmonisasi Antara Etika Publik dan Kebijakan Publik. Jurnal Yuridis, 6(1). 10.35586/jyur.v6i1.794
  • Nugroho, A. E. (2020, Agustus 23). Survei Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Ekonomi Rumah Tangga Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. https://lipi.go.id/siaranpress/Survei-Dampak-Pandemi-COVID-19-terhadap-Ekonomi-Rumah-Tangga-Indonesia/22123
  • Oktaviani. (2020, April 1). Pengamat Soroti Hubungan Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat Soal Penanganan Covid-19. akurat.co. https://akurat.co/news/id-1068080-read-pengamat-soroti-hubungan-pemprov-dki-dan-pemerintah-pusat-soal-penanganan-covid19
  • Ratriani, V. R. (2020, September 28). Rincian 9 Program Perlindungan Sosial dari Pemerintah selama Pandemi Covid-19. Kontan.co.id. https://nasional.kontan.co.id/news/rincian-9-program-perlindungan-sosial-dari-pemerintah-selama-pandemi-covid-19

Ghazali Akbarna