Sudah hampir 1 (satu) bulan peristiwa Penembakan 6 (enam) Laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek berlalu. Sampai dengan saat ini pihak-pihak terkait yaitu Pihak Kepolisian, FPI serta Komnas HAM RI sebagai lembaga yang melakukan penyelidikan terkait hal tersebut, masih belum mendapatkan titik terang yang jelas.
Di sini fungsi Kepolisian sebagai lembaga yang mengayomi dan melindungi masyarakat sedang diuji dan dipertanyakan atas prosedur atau cara-cara penanganan penangkapan terduga pelanggaran hukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam tulisan ini akan dibandingkan dengan peristiwa serupa yang terjadi di negara lain, yaitu penembakan yang dilakukan oleh petugas polisi terhadap beberapa warga di Amerika Serikat.
Kabar terkini yang terlihat yaitu Komnas HAM RI telah menerbitkan Keterangan Pers Nomor: 003/Humas/KH/I/2021 tanggal 8 Januari 2021 yang menjelaskan tentang respons terjadinya peristiwa kematian 6 (enam) Laskar FPI yang terjadi di Tol Jakarta-Cikampek dan sebagian wilayah Karawang. Atas dasar tersebut, Komnas HAM RI juga telah membentuk Tim Penyelidikan untuk melakukan investigasi sesuai dengan mandat Komnas HAM Pasal 89, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia sejak tanggal 7 Desember 2020.
Proses penyelidikan yang telah dilakukan antara lain peninjauan langsung lokasi peristiwa, permintaan keterangan para pihak terkait, permintaan dan penerimaan barang bukti para pihak terkait, proses pemeriksaan dan pengujian barang bukti, serta pendalaman para ahli.
Pada pokok penyelidikan di atas, telah didapatkan kesimpulan antara lain pembuntutan terhadap MRS oleh Polda Metro Jaya benar merupakan bagian dari penyelidikan kasus pelanggaran terhadap protokol kesehatan yang diduga dilakukan oleh MRS. Selanjutnya dilakukan pengintaian dan pembuntutan di luar petugas kepolisian.
Selain itu terdapat 6 (enam) orang yang meninggal dunia dalam konteks dua peristiwa yang berbeda, yakni insiden di sepanjang Jalan Internasional Karawang Barat sampai diduga mencapai KM 49 Tol Cikampek yang menewaskan 2 (dua) orang Laskar FPI dan pada KM 50 ke atas terdapat 4 (empat) orang masih hidup yang kemudian juga ditemukan tewas.
Komnas HAM RI menyatakan bahwa peristiwa ini merupakan bentuk Pelanggaran HAM karena dianggap sebagai tindakan unlawful killing terhadap 4 (empat) Anggota Laskar FPI.
Komnas HAM RI juga telah menerbitkan rekomendasi antara lain pertama, peristiwa tersebut harus dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan Pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan keadilan. Kedua, mendalami dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang terdapat di dalam dua mobil tersebut.
Ketiga, mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang diduga digunakan oleh Laskar FPI. Keempat, meminta proses penegakan hukum, akuntabel, objektif dan transparan sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia.
Laporan Penyelidikan tersebut juga di sampaikan kepada Presiden dan Menkopolhukam. Komnas HAM RI berharap pengungkapan peristiwa kematian 6 (enam) Laskar FPI dilakukan secara transparan, proses keadilan yang profesional dan kredibel.
Peristiwa di negara lainnya yang dipicu akibat dari tindakan polisi yang dianggap melanggar HAM yaitu tanggal 21 Desember 2020, ketika peristiwa penembakan yang terjadi di Columbus, Ohio, AS dilakukan oleh Polisi kepada warga yang tidak terlihat memberikan ancaman bagi dirinya. Sebelum kejadian tersebut pada dini hari, Polisi menanggapi laporan nondarurat tentang seorang pria yang menyalakan dan mematikan mobil untuk waktu yang lama.
Setelah mendapatkan laporan tersebut, para petugas kepolisian mendatangi sebuah rumah yang dikunjungi oleh korban yang bernama Andre Maurice Hill (47 Tahun) yang sedang menginap selama dua hari di rumah tersebut. Terlihat pada bodycam petugas saat korban didatangi, ia sedang berada di garasi dan hanya memegang telepon seluler di satu tangan. Selanjutnya polisi langsung melepaskan tembakan ke arah korban tanpa ada percakapan dengan korban. Kemudian korban tersebut dilarikan ke rumah sakit dan meninggal beberapa saat setelah tiba di sana.
Hingga saat ini salah satu petugas yang melakukan penembakan dipecat, tetapi rekan-rekannya masih menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Menurut Wali Kota Andrew Ginther dalam sebuah pernyataannya, pemutusan hubungan kerja Adam Coy dari Divisi Polisi Columbus tidak mengembalikan Andre Hill kepada orang-orang yang mencintainya. Sementara keluarga Hill telah mengeluarkan pernyataan melalui firma hukum pengacara Ben Crump. Mereka menyebut pemecatan Coy sebagai hal yang "benar", tapi juga mendesak penegak hukum untuk berbuat lebih banyak.
Pembunuhan di Columbus terjadi setelah musim panas di mana AS diguncang oleh protes bersejarah terhadap ketidakadilan rasial dan kebrutalan polisi yang dipicu oleh pembunuhan terhadap pria Afrika-Amerika George Floyd pada bulan Mei 2020. Floyd yang saat itu dianggap sebagai pengedar uang palsu juga tidak bersenjata, mati lemas di bawah lutut seorang petugas polisi kulit putih di Minneapolis.
Penembakan Hill terjadi hanya beberapa pekan setelah penembakan serupa turut menimpa Casey Goodson Jr. Dia tewas akibat penembakan oleh polisi di depan rumahnya setelah membeli makanan untuk keluarganya pada tanggal 4 Desember 2020. Tiga kejadian itu telah menuai kritik dari para pendukung dan komunitas kulit hitam di Columbus dan Negara Bagian Lain di Amerika Serikat. Mereka menuntut reformasi polisi yang lebih luas dan komprehensif.
Kesimpulan
Dari beberapa peristiwa di atas, terlihat bagaimana tindakan polisi yang seharusnya dapat mengatasi masalah yang tidak mengancam dirinya justru memakai tindak kekerasan yang mengakibatkan seseorang tewas. Seharusnya polisi membawa para terduga dengan nyawanya agar bisa dipertanggungjawabkan dalam pengadilan. Jika menghilangkan nyawa seseorang tanpa prosedur yang benar, maka masyarakat berhak menuntut keadilan.
Memasuki era reformasi Indonesia, pembenahan institusi keamanan sudah dilakukan atas implikasi dari pilihan sistem demokrasi. Dengan dipisahkannya Polri dari TNI, maka sebagai institusi, Polri memiliki ruang gerak tersendiri dalam melakukan berbagai perubahan. Salah satunya adalah dengan mencanangkan Reformasi Polri yang termuat dalam banyak aspek, yang salah satunya adalah perubahan paradigma Polri sebagai Polisi Sipil.
Paradigma sebagai Polisi Sipil adalah perubahan paradigma besar Polri dari yang militeristik saat menjadi bagian dari ABRI pada masa Orde Baru (Orba). Ketika Orba jatuh pada tahun 1998, maka dimulailah penataan identitas Polri agar tidak lagi lekat dengan unsur militeristik. Ini bukan pekerjaan mudah karena identitas Polri saat masih menjadi bagian dari ABRI tidak jauh dari watak militeristik dan syarat dengan pola tindak kekerasan.
Namun demikian, usaha membangun organisasi Polri yang menuju polisi sipil dan demokratis perlu dilakukan agar fungsi Polri sebagai pihak yang memberikan pelayanan keamanan dan melindungi harkat dan martabat manusia dapat tercapai. Jika ini tercapai, maka Polri dapat melakukan perannya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat serta menciptakan keamanan di lingkungannya. Oleh karena itu, perubahan paradigma Polri sebagai Polisi Sipil adalah sebuah keharusan.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, lingkungan sosial Polri mengalami perubahan yang drastis di mana isu-isu global seperti demokratisasi, kebebasan, dan hak asasi manusia berpengaruh kuat dalam lingkup tugas dan fungsi Polri. Perubahan ini tidak hanya mencakup aspek politik tetapi juga hampir menyeluruh di berbagai aspek kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.
Bagi Polri, perubahan ini tentu berdampak tidak hanya kepada upaya peningkatan pelayanan kepolisian kepada masyarakat, tetapi juga menuntut agar Polri berperan sebagai pengawal karena kepolisian merupakan aparat pemerintah yang selama 24 jam sehari melakukan kontak dengan masyarakat.[1]
Keberhasilan bangsa Indonesia dalam upaya meningkatkan prinsip-prinsip demokrasi, menjamin kebebasan, dan melindungi hak asasi manusia akan banyak ditentukan oleh praktik pelaksanaan tugas Polri di lapangan. Berbagai problem yang dihadapi Polri acapkali membuat posisi Polri menjadi dilematis, antara menjalankan fungsinya dengan ketat namun berkonsekuensi pada isu pelanggaran HAM, atau membuat pilihan-pilihan strategis yang dapat menyokong citra Polri tetap dalam koridor sebagai Polisi Sipil.
Perkembangan polisi di suatu negara dikaitkan dengan dinamika perubahan sosial yang akan berdampak pada perubahan orientasi, nilai, sikap, dan perilaku polisi. Dalam kerangka demokrasi, perubahan orientasi, nilai, dan sikap tersebut mengarah pada pemikiran secara universal bahwa doktrin polisi adalah sebagai polisi sipil.[2]
Polisi adalah pasukan berseragam tetapi berjiwa sipil (civilian in uniform). Inti dari doktrin polisi sipil adalah melindung rakyat, bukan saling berhadapan dengan rakyat. Karena itulah kehadiran polisi sipil dalam negara yang demokratis menjadi signifikan. Menurut Rahardjo, sosok polisi yang ideal di seluruh dunia adalah polisi yang cocok dengan masyarakat.
Dengan prinsip tersebut masyarakat mengharapkan adanya polisi yang cocok dengan masyarakatnya, yang berubah dari polisi yang antagonis (polisi yang tidak peka terhadap dinamika tersebut dan menjalankan gaya pemolisian yang bertentangan dengan masyarakatnya) menjadi polisi yang protagonis (terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia untuk mengakomodasikannya ke dalam tugas-tugasnya).
Secara konseptual, pengertian sipil secara diametral jauh dari karakteristik militer, sejalan dengan definisi yang diangkat dalam perjanjian hukum internasional yang meletakkan kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang (non-combatant), sementara di lain pihak, militer didesain untuk berperang (combatant). Namun demikian, pengertian ini tentu harus kembali lagi kepada konteks masyarakat di negara yang bersangkutan karena karakter kepolisian di tiap negara selalu menyesuaikan dengan karakter masyarakatnya.[3]
Tugas polisi dijalankan dengan lebih mengedepankan cara-cara seperti mendengarkan dan mencari tahu hakikat dari masalah, terutama yang terkait dengan persoalan keamanan yang dihadapi oleh masyarakat.[4] Hal inilah yang perlu untuk diulas lebih mendalam, apakah implementasi dari karakter Polri sebagai Polisi Sipil juga sejalan dengan cara-cara tersebut.
Masih dalam konteks Filosofi Polisi Sipil, fungsi kepolisian secara mendasar ditujukan untuk menciptakan keamanan dalam negeri, ketertiban dalam masyarakat, pelayanan dan bantuan kepada masyarakat, penegakan hukum dan pemolisian masyarakat (community policing). Kualitas polisi sipil diukur dari kemampuannya untuk menjauhkan diri dari karakter militer dan mendekatkan diri kepada masyarakat. Oleh karena itu, menjadi Polisi Sipil harus bisa mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Karakter sipil secara luas dikaitkan dengan nilai-nilai peradaban (civilization) dan keadaban (civility). Pada polisi sipil melekat sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak melakukan kekerasan, dan mengedepankan persuasi menjadi ciri utamanya.
Namun demikian, perlu dicermati bahwa menciptakan polisi sipil tidak mudah karena polisi sipil akan memiliki banyak dimensi yang harus disesuaikan seperti organisasi, manajemen, rekrutmen, pendidikan, dan yang terpenting adalah perubahan perilaku polisi. Oleh karena itu, untuk mewujudkan polisi sipil, terdapat beberapa pekerjaan yang harus dilakukan, yakni mendekatkan polisi kepada rakyat, menjadikan polisi yang akuntabel di mata masyarakat, mengganti paradigma “penghancuran” dengan “melayani dan menolong”, serta peka dan melibatkan diri pada urusan sipil dari warga negara. Konsep Polisi Sipil juga berhubungan dengan prinsip sistem demokrasi dalam sebuah negara, salah satunya adalah penegakan hukum (law enforcement). Penegakan hukum bertujuan agar tercipta negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Terkait dengan prinsip ini, maka peran polisi menjadi penting dalam menjaga konsistensi penegakan hukum agar tercapai penerapan sistem demokrasi di negaranya. Dalam hal ini, polisi menjadi alat negara yang berfungsi di bidang penegakan hukum demi terciptanya ketertiban hukum, keamanan, dan ketentraman masyarakat.
Dalam masyarakat yang menganut sistem demokrasi, polisi dipandang sebagai institusi yang memiliki tanggung jawab utama menjamin keamanan masyarakat. Pandangan ini mengandung pengertian bahwa penegakan hukum dalam masyarakat yang demokratis adalah solusi yang diharapkan masyarakat kepada polisi, karena polisi dapat membuat rusaknya suatu tatanan masyarakat, dan juga dapat menciptakan suasana keadilan dalam tatanan masyarakat. Terkait dengan demokrasi pula, polisi juga bertindak bukan atas kepentingan penguasa, tetapi lebih kepada pelayanan kepada masyarakat. Polisi bukan dihadapkan kepada masyarakat, tetapi lebih kepada pelindung aspirasi rakyat. Hal ini merupakan konsekuensi historis di mana berdirinya institusi kepolisian yang modern dalam sistem demokrasi adalah terpenuhinya kebutuhan masyarakat oleh polisi, karena orang yang bertindak di luar aturan hukum, akan mendapatkan tindakan oleh polisi sesuai aturan hukum yang berlaku di negara tersebut. Dengan demikian, polisi benar-benar dituntut sebagai pelayan masyarakat melalui penerapan pendekatan hukum, sehingga di sana akan terlihat letak profesionalitas polisi.
Prinsip kekuasaan polisi dalam sistem demokrasi juga terkait dengan fungsi kepolisian yang menghormati prinsip HAM. Fungsi-fungsi kepolisian adalah tujuan dari organisasi kepolisian itu sendiri. Fungsi-fungsi tersebut tidak boleh dicampuraduk antara tindakan polisi dan kekuasaan yang dimiliki oleh polisi. Prinsip ini memberikan pengertian bahwa fungsi-fungsi kepolisian juga mengikuti prinsip-prinsip HAM yang relevan dengan pemolisian.
Hal ini sesuai dengan Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Pedoman Perilaku Petugas Penegak Hukum pasal 1 yang menyatakan[5] “Para petugas penegak hukum sepanjang waktu harus memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh hukum, dengan melayani masyarakat dan dengan melindungi semua orang dari perbuatan-perbuatan yang tidak sah, konsisten dengan tingkat pertanggungjawaban tinggi yang disyaratkan oleh profesi mereka.”
Dalam kerangka pemolisian demokratik, polisi sipil mengacu pada konsep demokratik, profesional, akuntabel, dan independen. Karakter polisi sipil antara lain, polisi yang menghormati hak-hak sipil, mengedepankan pendekatan kemanusiaan, membela kepentingan rakyat, serta tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi dan good governance.
Di dalam Polri sendiri, konsep-konsep tersebut diterjemahkan ke dalam fungsi pengayoman yang idealnya terbangun sinergi yang baik antara polisi dan masyarakat itu sendiri. Dalam bentuk program, hal ini yang kemudian diaplikasikan melalui program pemolisian masyarakat (polmas). Selain itu, konsep polisi sipil juga mengarahkan agar Polri melaksanakan fungsinya secara profesional karena profesinya tersebut.
Fungsinya dijabarkan ke dalam tiga bentuk, yakni preventif, pre-emptif, dan represif. Fungsi preventif terkait dengan tugas dan program pemolisian, contohnya program pemolisian masyarakat. Fungsi pre-emptif terkait dengan wacana menjadi nyata secara fisik, contohnya siskamling dan satpam. Kemudian fungsi represif yang terkait dengan tindakan hukum (law enforcement). Artinya fungsi ini diterjemahkan melalui upaya “paksa” Polri yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU).
Tampaknya kasus-kasus yang terindikasi pelanggaran HAM oleh Polri menjadi bumerang bagi Polri saat mereka melakukan fungsinya. Di satu sisi, para aparat kepolisian telah didoktrin bahwa mereka bertanggung jawab penuh atas persoalan ketertiban umum di suatu wilayah.
Tidak jarang pemahaman ini memicu personel di lapangan memperlakukan tindakan reaktif tanpa memperhitungkan indikasi pelanggaran HAM di dalamnya. Dengan adanya pemahaman absolut tentang ketertiban umum, maka upaya penegakan hukum menjadi semakin rumit dalam masyarakat di Indonesia.
Konsep kebebasan berkelompok dan mengemukakan pendapat misalnya, dipahami dan dipraktekkan oleh sebagian besar masyarakat sebagai kebebasan tanpa batas. Di satu pihak polisi berkewajiban untuk mengawal atau mengamankan berbagai bentuk unjuk rasa, di lain pihak dihadapkan pada dilema karena tidak jarang terjadi adanya unjuk rasa dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan hukum dan bahkan melanggar hukum.[6]
Dengan kata lain, Polri dituntut berkomitmen menjamin perlindungan HAM, tetapi di lain pihak Polri juga dihadapkan pada tuntutan masyarakat untuk menegakkan hukum dengan cara melanggar HAM. Memang dalam praktiknya, pekerjaan kepolisian sebagai bagian dari kekuasaan yudikatif ternyata tidak sepenuhnya dapat dipertahankan. Pekerjaan Polri hampir selalu diwarnai oleh pilihan-pilihan keputusan yang “mengadili” pelanggaran hukum.
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa hanya sebagian kecil pelanggaran hukum yang diproses polisi, sementara sebagian besar lainnya dibiarkan (selective law enforcement) atau diselesaikan sendiri (penyelesaian non yustisi). Dalam konteks ini, maka polisi sebetulnya telah bertindak “menghakimi” pelanggaran hukum dan seringkali “menghukum” pelaku walau hanya dalam bentuk peringatan atau teguran.
Tambahan pula, sebetulnya penggunaan kekerasan oleh polisi dalam melaksanakan tugas dan fungsi penegakan hukum sebagai upaya menciptakan kamtibmas telah diatur dalam beberapa regulasi, antara lain pertama, Pasal 3 Code of Conduct for Law Enforcement Officials (1979).
Pasal ini menyatakan bahwa petugas penegak hukum diperkenankan menggunakan kekerasan sepanjang penggunaan kekerasan tersebut bersifat eksepsional dan fungsional atau dengan kata lain penggunaan kekerasan merupakan pengecualian yang bersifat tertentu yaitu mencegah terjadinya kejahatan, memudahkan serta membantu menangkap/menahan tersangka berdasarkan prosedur yang melanggar Undang-Undang, landasan penggunaan kekerasan adalah asas proporsionalitas.
Kedua, Kongres PBB tentang Prevention of Crime and Treatment Offender di Havana, Kuba (1990) yang telah mengadopsi prinsip-prinsip dasar yang memuat ketentuan tentang syarat-syarat penggunaan senjata api. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain[7] untuk membela diri, untuk menghadapi kondisi terbunuh atau luka berat terhadap ancaman fisik pribadi, untuk mencegah terhadap kejahatan yang membahayakan kehidupan, untuk menangkap seseorang dalam kondisi yang berbahaya dalam melawan kejahatan, untuk mencegah seseorang melarikan diri, dan kecuali dalam kondisi yang mendesak untuk mencapai tujuan.
Ketiga, Hukum positif yang mengatur penggunaan kekerasan oleh Polri dalam melaksanakan tugas, antara lain UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dalam Pasal 18 (1) yang menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, pejabat Polri dalam melaksanakan tugasnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Selanjutnya, KUHP Pasal 50 yaitu menjalankan peraturan perundang-undangan dan Pasal 51 KUHP yaitu atas perintah jabatan.
Akan tetapi, terlepas dari legalitas penggunaan kekerasan yang diperbolehkan, tetap harus ada pembatasan tindakan saat polisi menghadapi beberapa pilihan dalam menyelesaikan tugasnya. Pilihan-pilihan tersebut akan bergantung bagaimana penilaiannya terhadap pilihan tindakannya. Polisi yang baik idealnya mampu menjadikan moralitas sebagai bagian integral dari pekerjaannya. Pekerjaan polisi yang boleh menggunakan kekerasan ditujukan untuk mencapai satu dari sekian banyak tujuan moral, yaitu kelangsungan hidup manusia.[8]
Hal ini yang kemudian membuat posisi Polri dilematis, karena ia dihadapkan pada tuntutan tersebut. Polri sebagai penegak hukum dan Kamtibmas mempunyai posisi yang sentral dalam melaksanakan tugas sebagai representasi kekuasaan. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut memang telah diatur penggunaan kekerasan baik secara nasional maupun internasional, namun menjadi problematik jika penggunaan kekerasan beralih pada penyalahgunaan wewenang sehingga berpotensi terjadi pelanggaran HAM.[9]
Untuk menghindari potensi-potensi pelanggaran HAM, dan pada saat yang sama aparat kepolisian tetap dapat melaksanakan fungsi ketertiban umum dengan optimal, maka diperlukan wawasan yang luas atas tindakan yang harus diambil. Wawasan inilah yang ditanamkan di setiap personel, sehingga pada satu titik tertentu mereka dapat mendefinisikan berbagai kriteria. Kriteria-kriteria ini sebetulnya digunakan dalam pengelolaan ketertiban umum yang tentu memerlukan perencanaan, persiapan, komunikasi, dan kepemimpinan.
Beberapa kriteria ini antara lain[10] yaitu ukuran yang digunakan untuk memutuskan kapan suatu peristiwa umum (aksi unjuk rasa) berubah menjadi kekerasan. Ukuran ini juga mengarahkan pada timing (kapan) tingkatan kekerasan cukup untuk memperbolehkan penggunaan kekuatan, dan kekuatan semacam apa yang diperlukan. Tindakan yang dilakukan oleh personel polisi saat menyesuaikan tingkat kekuatan yang berbeda atas situasi yang berbeda pula. Selanjutnya menentukan jenis kekuatan yang dapat digunakan terhadap suatu kelompok (misal: penggunaan gas air mata dan sejenisnya). Lalu menentukan taktik yang boleh dan tidak boleh digunakan. Terakhir Menentukan senjata yang boleh dan tidak boleh digunakan.
Menjadikan Polri sebagai kekuasaan publik yang berwatak sipil memang memiliki banyak aspek yang harus dipenuhi, mulai dari mengubah penampilan fisik sampai dengan perubahan perilaku. Pada penampilan fisik tentu terkait dengan kesiapan ekonomi negara untuk menyokongnya, atau justru menjadi penghalang. Sedangkan pada perubahan perilaku dapat dilihat pada pola rekrutmen dan pendidikan serta pemahaman yang terus menerus diterapkan sebagai bagian dari komitmen Polri sebagai polisi sipil.
Upaya Polri untuk mengubah wajah dan tingkah laku Polri dari yang dulu menjadi bagian dari ABRI, dan karena itu aspek militeristiknya dulu masih ada. Menjadi Polri yang berwajah sipil di tengah perkembangan politik Indonesia yang semakin demokratis, merupakan langkah Polri yang amat signifikan. Dalam kaitan itu pula pendekatan dialogis dan preventif dalam penanganan masalah keamanan diutamakan, ketimbang pendekatan yang represif dan tidak manusiawi. Hal ini perlu terus menerus dikedepankan oleh jajaran Polri dari tingkat pusat sampai ke daerah. Langkah represif harus menjadi pilihan langkah terakhir yang dapat dilakukan aparat Polri jika pendekatan dialogis sudah tidak lagi dapat dilakukan.[11]
Berdasarkan tulisan ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Polisi dalam menjalankan segala tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara pemerintahan harus memiliki keterbukaan dan akuntabilitas. Hal ini semata-mata agar Polisi dalam berinteraksi dengan masyarakat terhindar dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggotanya, dimana Polisi pada saat ini adalah mitra sejajar masyarakat dalam melawan tindak kriminal dan tidak diskriminatif terhadap kelompok tertentu baik dalam kepolisian maupun dalam pelaksanaan tugasnya, serta dapat menciptakan Polisi ke dalam institusi sipil yang professional yang bertanggung jawab terhadap masyarakat.
Presiden juga perlu mengawasi masalah tersebut melalui lembaga pemerintahan karena presiden mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini merupakan tugas dan fungsi Presiden sebagai kepala negara untuk mengatur sistem pemerintahan yang ada. Bukan hanya mengatur pemerintahan, presiden juga bertanggung jawab pada rakyatnya untuk mewujudkan keadilan, keamanan, kesejahteraan sosial, dan kemakmuran ekonomi yang merata.
Referensi:
[1] Farouk Muhammad. 2008. Menuju Reformasi Polri. Jakarta: PTIK Press & Restu Agung, hlm. 105.
[2] Muhammad Nasir. 2011. Polri di Era Demokrasi: Dinamika Pemikiran Internal. Jakarta: LIPI Press, hlm. 14-16.
[3] Sarah Nuraini Siregar. 2017. Pencapaian Reformasi Instrumental Polri Tahun 1999-2011. Yogyakarta: Penerbit Andy, hlm. 66-67.
[4] Satjipto Rahardjo. 2007. Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: Kompas, hlm. 53.
[5] Anneke Osse. 2007. Memahami Pemolisian. Jakarta: Rinam Antartika CV, hlm. 80.
[6] Farouk Muhammad. Op. Cit., hlm. 83.
[7] Iza Fadri. 2011. Jurnal Dignitas: HAM Dan Realitas Transisional, Vol. VII, No. 1. Jakarta: ELSAM, hlm. 112-113.
[8] Ibid., hlm. 111.
[9] Ibid.
[10] Anneke Osse. Op. Cit., hlm. 141.
[11] Sarah Nuraini Siregar. Op. Cit., hlm. 151.
Daftar Pustaka
- Fadri, Iza. 2011. Jurnal Dignitas: HAM Dan Realitas Transisional, Vol. VII, No. 1. Jakarta: ELSAM.
- Muhammad, Farouk. 2008. Menuju Reformasi Polri. Jakarta: PTIK Press & Restu Agung.
- Nasir, Muhammad. 2011. Polri di Era Demokrasi: Dinamika Pemikiran Internal. Jakarta: LIPI Press.
- Osse, Anneke. 2007. Memahami Pemolisian. Jakarta: Rinam Antartika CV.
- Rahardjo, Satjipto. 2007. Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: Kompas.
- Siregar, Sarah Nuraini. 2017. Pencapaian Reformasi Instrumental Polri Tahun 1999-2011. Yogyakarta: Penerbit Andy.
Penulis Artikel:
Nama : Wahid Megantoro
NPM : 2006558070
Jurusan : Pascasarjana Ilmu Politik UI
Dosen : Chusnul Mar’iyah, Ph.D
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Polisi Tembak Polisi: AKP Dadang Iskandar Diketahui Punya Beberapa Properti dan Mobil
-
Beda Kekayaan AKP Dadang Iskandar vs AKP Ryanto Ulil di Kasus Polisi Tembak Polisi
-
Profil dan Pendidikan AKP Dadang Iskandar: Tersangka Polisi Tembak Polisi yang Tewaskan AKP Ulil
-
Kronologi Kasus Polisi Tembak Polisi: AKP Dadang Habisi AKP Ulil, Nyaris Bunuh Kapolres Solok Selatan
-
Beda Gaji AKP Dadang Iskandar vs AKP Ulil Ryanto: Pelaku-Korban Polisi Tembak Polisi
News
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Kampanyekan Gapapa Pakai Bekas, Bersaling Silang Ramaikan Pasar Wiguna
-
Sri Mulyani Naikkan PPN Menjadi 12%, Pengusaha Kritisi Kebijakan
Terkini
-
Byeon Woo Seok Nyanyikan Sudden Shower di MAMA 2024, Ryu Sun Jae Jadi Nyata
-
Pep Guardiola Bertahan di Etihad, Pelatih Anyar Man United Merasa Terancam?
-
3 Drama Korea yang Dibintangi Lim Ji Yeon di Netflix, Terbaru Ada The Tale of Lady Ok
-
Review Ticket to Paradise: Film Hollywood yang Syuting di Bali
-
Ulasan Novel Under the Influence Karya Kimberly Brown, Kisah Cinta dan Kesempatan Kedua