Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Amsal Simanjuntak
Ilustrasi imigrasi. (Sumber: Shutterstock)

Hukum keimigrasian sebagai bagian dari hukum administrasi negara yang menjalankan pemerintahan dalam arti sempit, mempunyai tugas dan fungsi dalam memberikan pelayanan keimigrasian, penegakan hukum dan keamanan negara, serta fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat. Terjadinya tindak pidana keimigrasian seperti pemalsuan identitas diri dalam dokumen perjalanan yang secara sah seharusnya dikeluarkan oleh pejabat imigrasi, memerlukan upaya penegakan hukum meliputi pengawasan terhadap orang yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan terhadap WNA di wilayah Negara Republik Indonesia.

Permasalahan pemalsuan identitas diri dalam dokumen perjalanan tidak lepas dari perilaku para pemohon, serta tidak menutup kemungkinan juga dari kelembagaan pemerintah  mulai dari proses pengurusan identitas diri hingga pada penerbitan dokumen perjalanan para pemohon. Hal tersebut dapat terjadi karena secara administratif, sejumlah kelembagaan pemerintah berperan  mengurus kelengkapan dokumen kependudukan seperti: Akta Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Kartu Keluarga (KK).

Paspor sebagai salah satu dokumen perjalanan Republik Indonesia, sangat rentan dengan berbagai jenis penyalahgunaan dan pemalsuan. Dengan merujuk pada asumsi bahwa “Crime is always follows the technology” yang berarti kejahatan selalu mengikuti kemajuan teknologi, institusi Keimigrasian Indonesia selain mengawasi lalu lintas orang juga dituntut untuk dapat mengantisipasi perkembangan kejahatan transnasional terorganisir seperti Human Trafficking atau perdagangan manusia.

Sanksi Bagi Pengguna Dokumen Perjalanan Palsu

Beberapa ketentuan hukum yang berlaku dapat digunakan untuk menjerat pelaku pemalsuan dokumen perjalanan, antara lain ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Keimigrasian, yakni UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, maupun ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

Berdasarkan UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, sanksi pidana bagi pengguna dokumen perjalanan palsu diatur dalam pasal 119 dan pasal 126-129 dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Selain itu juga pejabat imigrasi berwenang untuk melakukan tindakan administratif keimigrasian sebagaimana diatur dalam pasal 75, yaitu berupa: pencantuman dalam daftar cekal; pembatasan, perubahan, atau pembatalan izin tinggal; larangan untuk berada di wilayah Negara Republik Indonesia; pengenaan biaya beban; serta deportasi dari wilayah Negara Republik Indonesia. Sedangkan dalam pasal 266 KUHP, perbuatan memasukkan keterangan palsu ke dalam dokumen perjalanan yang dapat menimbulkan kerugian, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

Upaya Pencegahan Pemalsuan Dokumen Perjalanan

 Sistem pelayanan pembuatan dokumen perjalanan, secara yuridis diatur dalam PERMENKUM HAM No. 8 Tahun 2014 tentang Paspor Biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor. Dalam pasal 11 dijelaskan bahwa penerbitan paspor biasa dilakukan melalui mekanisme yang terdiri dari : Pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan persyaratan; Pembayaran biaya paspor; Pengambilan foto dan sidik jari; Wawancara; Verifikasi; dan Adjudikasi.

Pejabat imigrasi bertanggungjawab untuk melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen pemohon. Apabila hasil pemeriksaan telah memenuhi persyaratan, maka dapat dimuat dalam Sistem Informasi  Manajemen Keimigrasian (SIMKIM). Apabila pejabat imigrasi yang ditunjuk menemukan kecurigaan terhadap persyaratan permohonan, keterangan pemohon atau keabsahan dokumen asli persyaratan, maka permohonan dapat ditangguhkan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Proses verifikasi dan adjudikasi terhadap penerbitan dokumen perjalanan., dilakukan dengan mencocokan data biometrik pemohon dan basis data yang telah tersimpan dalam SIMKIM. Apabila pada tahapan verifikasi dan adjudikasi tidak ditemukan duplikasi data pemohon, maka proses penerbitan paspor biasa dilanjutkan pada tahapan pencetakan dan uji kualitas.

Saat ini sistem pembuatan dan penerbitan dokumen perjalanan sudah dikelola dengan baik, namun pada kenyataannya masih saja terjadi adanya pemalsuan identitas diri dalam pembuatan dokumen perjalanan dengan memberikan data dan keterangan yang tidak benar, sehingga banyak dari mereka yang lolos dari jerat hukum pidana.

Upaya preventif yang sudah dilakukan Keimigrasian Indonesia untuk mencegah pemalsuan identitas adalah dengan cara sistem foto terpadu berbasis biometrik serta pemeriksaan dokumen kependudukan menggunakan alat pendeteksi dokumen palsu.

Dalam hal pemeriksaan dokumen, tentu saja membutuhkan keterlibatan dari pihak yang menerbitkan dokumen kependudukan tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah jaringan pelayanan yang kompleks dan komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak melalui pelayanan satu atap. Keterlibatan berbagai pihak dalam pembuatan dokumen perjalanan ini menjadi sangat penting, mengingat perkembangan teknologi informatika saat ini membuat orang lebih mudah untuk menduplikasi sebuah dokumen. Dengan adanya pelayanan satu atap dalam pembuatan dokumen perjalanan, pastinya akan sangat membantu mencegah terjadinya penerbitan dokumen perjalanan palsu dengan menggunakan identitas palsu.

Sedangkan upaya represif yang sudah dilakukan Keimigrasian Indonesia adalah dengan cara memberikan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) PERMENKUM HAM No.8 Tahun 2014 berupa penangguhan pemberian permohonan paspor dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, maupun sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Amsal Simanjuntak

Baca Juga