Jakarta panas bukan berita baru, tapi akhir-akhir ini panas terasa berbeda. Bukan sekadar terik, tapi menyesakkan. Udara di siang hari terasa seperti oven terbuka, membuat bayangan pun tampak enggan bergerak.
Di tengah kondisi seperti itu, ketika banyak orang hanya bisa mengeluh atau bersembunyi di ruangan ber-AC ada sekelompok warga yang justru bergerak: menyulap lahan-lahan kosong di antara gang sempit menjadi kebun vertikal. Bukan hanya indah dipandang, tapi juga menyegarkan secara harfiah maupun simbolis.
Inisiatif semacam ini muncul di beberapa RW di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur terutama sejak gelombang panas mulai menghantam pada pertengahan 2024.
Mengutip dari laporan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta (2024), tercatat lebih dari 200 titik kebun vertikal dan lorong hijau aktif dikembangkan warga secara swadaya dengan pendampingan komunitas urban farming.
Di antara tembok beton dan aspal yang menyerap panas, tanaman-tanaman sayur, rempah, dan bunga merambat naik, menciptakan ruang hijau kecil yang memperbaiki suhu mikro sekitar.
Hal yang menarik, kebun-kebun ini bukan semata proyek hijau gaya-gayaan. Mereka lahir dari kebutuhan nyata. Banyak warga menyadari bahwa memproduksi sebagian kebutuhan pangan sendiri meski kecil, bisa mengurangi ketergantungan pasar saat harga sayur melonjak akibat cuaca ekstrem.
Selain itu, ruang hijau mikro ini juga berkontribusi menurunkan suhu lokal. Berdasarkan studi dalam Jurnal Arsitektur Lanskap Tropis (2023), keberadaan kebun vertikal di wilayah padat terbukti menurunkan suhu permukaan dinding dan udara sekitar hingga 3,5 derajat Celsius dibanding dinding tanpa tanaman.
Lebih dari sekadar efek termal, yang tumbuh dari kebun vertikal ini adalah rasa kepemilikan terhadap lingkungan. Saat warga terlibat langsung menanam merawat dan memanen hasilnya, muncul kembali hubungan antara manusia dan ruang tinggalnya.
Tembok bukan lagi sekadar pemisah rumah, tapi juga media hidup. Jalan sempit bukan lagi sekadar jalur motor, tapi ruang tumbuh bagi sayur dan solidaritas.
Dan mungkin, dari sinilah kita bisa mulai memahami bahwa adaptasi terhadap krisis iklim tidak selalu harus menunggu negara. Ia bisa dimulai dari tanah kosong, ember bekas, dan keberanian untuk menanam.
Namun tantangannya tetap besar. Tidak semua wilayah punya akses air yang cukup atau lahan kosong yang bisa dikelola. Banyak wilayah padat tak punya ruang tersisa, dan program semacam ini masih sangat bergantung pada inisiatif warga.
Maka perlu ada kebijakan kota yang lebih serius mendorong pertanian mikro di wilayah padat bukan sekadar lomba taman RW tahunan, tapi regulasi yang benar-benar memberi insentif, dukungan teknis, dan perlindungan atas ruang hijau yang berhasil dibangun.
Gelombang panas mungkin akan terus datang. Ini bukan sekadar prediksi, tapi kenyataan iklim yang semakin terasa di kota-kota besar termasuk Jakarta.
Suhu rata-rata meningkat hujan datang tak menentu dan udara menjadi lebih kering dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam situasi seperti ini, banyak yang merasa tak punya kuasa apalagi ruang untuk bertindak.
Tapi apa yang dilakukan warga Jakarta menanam di lahan sempit menyulap tembok menjadi media hijau dan mengubah ruang mati menjadi ruang hidup menunjukkan bahwa bahkan dalam keterbatasan fisik sekalipun, ruang adaptasi selalu bisa diciptakan.
Kebun vertikal yang tumbuh di sela gang bukan hanya soal ketahanan pangan atau penurunan suhu mikro. Ia adalah bukti bahwa warga kota yang kerap dianggap pasif dan sibuk dengan urusan masing-masing masih punya daya untuk merawat lingkungan bersama.
Setiap pot gantung berisi kangkung atau daun mint bukan sekadar tanaman, tapi simbol kecil dari harapan dan keteguhan. Mereka yang menanam bukan ahli hortikultura bukan aktivis iklim profesional. Mereka hanya orang-orang biasa yang memilih tidak diam menghadapi krisis.
Dan di sinilah letak pelajaran paling penting, bahwa adaptasi terhadap perubahan iklim tidak harus selalu menunggu kebijakan besar atau anggaran negara miliaran rupiah.
Ia bisa dimulai dari keberanian untuk bertindak di ruang yang tersedia. Dari gang sempit di Jakarta kita belajar bahwa solusi tak selalu datang dari atas. Kadang, ia tumbuh pelan-pelan dari bawah dari tangan warga, dari akar rumput, dan dari keinginan sederhana untuk tetap bertahan dan hidup lebih layak, meski panas tak kunjung reda.
Baca Juga
-
Boros karena FOLU: Waspada Perilaku Konsumtif dari TikTok Shop
-
Desain Kebijakan yang Lemah: Pelajaran dari Program Makan Bergizi Gratis
-
Eco-Friendly Lifestyle: Hidup Sehat dengan Peduli Sampah Elektronik
-
Tari Kontemporer Berbalut Kesenian Rakyat: Kolaborasi Komunitas Seni Jogja
-
Fenomena Klithih di Jogja: Masalah dan Solusi dari Perspektif Generasi Muda
Artikel Terkait
-
Mitigasi Banjir Jakarta: Benahi Hulu atau Keruk Hilir? Ini Perang Logika Para Pemimpin
-
Sekolah Swasta Gratis di Jakarta Tahun Ini? Gubernur Tunggu Perpres Prabowo
-
Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta Sambangi Warga Terdampak Banjir
-
Kapan Riko Simanjuntak Gabung ke Persija? Mauricio Souza: Yang Saya Tahu, Dia...
-
Bau Sampah RDF Rorotan Belum Hilang, Gubernur DKI Janji Beres Sebelum 22 Agustus: Mungkinkah?
Rona
-
Pesut Mahakam: Nyawa Sungai yang Perlahan Menghilang
-
Harga Udara Bersih di Jakarta: Mahal, Langka, dan Terpinggirkan
-
Wahabi Lingkungan: Stigma, Kuasa, dan Luka yang Tak Kunjung Pulih
-
Surga Terakhir di Bumi yang Hilang: Ketika Raja Ampat Dikepung Tambang
-
Hari Hutan Hujan Sedunia: Suara Global untuk Menyelamatkan Paru-Paru Bumi
Terkini
-
Dari Sahabat Pena ke Chatbot AI: Bagaimana Teknologi Mengubah Cara Kita Berteman?
-
Karakteristik Schadenfreude dalam Psikologi Massa Sound Horeg
-
Kisah Affandi Koesoema, Dari Poster Film Menjadi Maestro Lukis
-
4 Exfoliating Toner Glycolic Acid Atasi Bruntusan dan Tekstur Kulit Kasar
-
Ulasan Buku Menjemput Keberuntungan, Motivasi dari Para Tokoh Sukses Dunia