Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Budi Prathama
Patung Bung Karno di Aljazair. (Dok: Istimewa)

Siapa, sih, yang tak kenal Bung Karno? Sosok proklamator bangsa sekaligus presiden pertama Republik Indonesia. Perjuangan dan gagasan Bung Karno terhadap bangsa Indonesia amatlah besar, sehingga tidak heran jika ia memang dianugerahi sebagai pahlawan revolusi Indonesia. Walau pejuang bangsa Indonesia amat banyak, tetapi kiprah Bung Karno untuk mencapai Indonesia merdeka amatlah besar. 

Hingga akhirnya Bung Karno bersama Bung Hatta berhasil memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Gagasan Bung Karno tentang persatuan dan ingin membebaskan manusia dari belenggu penjajahan telah menjadi cita-cita Bung Karno sejak dari awal. Hingga melalui beberapa perhelatan pun, Bung Karno berhasil merumuskan suatu ajaran untuk mencapai kemerdekaan yang populer dikenal dengan ajaran Marhaenisme Bung Karno. 

Ajaran Marhaenisme adalah teori perjuangan yang digunakan oleh Bung Karno untuk membebaskan rakyat menuju kemerdekaan Indonesia. Bung Karno pernah berkata bahwa, “untuk memahami Marhaenisme diperlukan dua syarat, yaitu memahami ajaran Marxisme dan memahami kondisi Indonesia.” 

Bung Karno memang banyak belajar dari ajaran-ajaran sosialisme dari Barat, tetapi bagi Bung Karno ajaran yang ada di Barat tidak sepenuhnya bisa diterapkan di Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa beragam, banyak suku dan budaya, serta termasuk bangsa yang ber-Tuhan. Sehingga Bung Karno mampu melihat ajaran yang cocok bagi bangsa Indonesia yakni Marhaenisme dengan konsep Nasionalisme kemanusiaan, dan itu ia temukan dari bumi Indonesia sendiri. 

Oleh karena itu, banyak orang yang membaca tulisan dan terpesona dengan pidato-pidato Bung Karno. Namun untuk memahami pemikiran Bung Karno dengan baik tidaklah cukup hanya dengan demikian. Berdasarkan dalam buku, “Perspektif Pemikiran Bung Karno” yang ditulis oleh H. Wuryadi, Tadjuddin Noer Effendi, dan Wisnu Wardhana, diperlukan tiga bahan baku untuk memahami pemikiran Bung Karno yan telah ia lontarkan, yaitu: 

Pertama, alur pikiran Bung Karno

Alur pikiran Bung Karno adalah alur berpikir secara dialektis, progresif (maju), radikal (berasal dari kata radix = akar, mendasar), revolusioner (perubahan yang cepat), dan visioner. Melalui historis materialisme yang digunakan oleh Bung Karno sebagai pisau analisis, mencermati keadaan dan mampu melihat sejarah perkembangan masyarakat secara dialektis. Bung Karno dalam mengajukan ide maupun konsepnya, ia tidak mau terjebak dalam kejemuhan masa lalu yang penuh dengan penindasan dan ketidakadilan, maka dari itu ia mampu melontarkan pemikirannya secara progresif dalam menuju kesejahteraan manusia. 

Untuk menghadapi keadaan yang penuh dengan penindasan dan pemerasan, Bung Karno menghendaki adanya perubahan secara radikal dan revolusioner. Sementara itu, pola pemikiran Bung Karno juga mampu mencetuskan pikirannya secara visioner, artinya jauh ke depan. Misalnya saat Bung karno meramalkan bahwa bangsa Indonesia akan merdeka saat terjadi Perang Pasifik. 

Kedua, kondisi Indonesia pada saat pemikiran itu dilahirkan 

Memahami situasi dan kondisi Indonesia merupakan faktor dominan dalam pemikiran Bung Karno. Dari situlah Bung Karno mampu melihat pertentangan yang terjadi di Indonesia dengan berbeda yang terjadi di Barat. Bung Karno menolak kalau kontradiksi pokok yang terjadi di Indonesia antara proletar (buruh) dengan kapitalisme, tetapi yang terjadi kontradiksi antara kaum marhaen (rakyat yang dimelaratkan oleh kolonialisme/imperialisme dan feodalisme) dengan kolonialisme/imperialisme. Oleh karena itu, Bung Karno menghendaki persatuan seluruh kekuatan secara revolusioner untuk menghancurkan nekolim dan neo feodalisme. 

Ketiga, untuk apa pemikiran/ajaran itu dilahirkan 

Ajaran Bung Karno lahir tak lain untuk membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan dan untuk mencapai kesejahteraannya. Sehingga Marhaenisme dilahirkan sebagai ideologi, serta sebagai teori politik dan teori perjuangan. Selanjutnya setelah bangsa Indonesia mencari dasar negaranya atau alasan didirikannya bangsa Indonesia, Marhaenisme dikemudian hari dicetuskan oleh Bung Karno dengan sebutan Pancasila melalui sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Bung karno menjelaskan bahwa Pancasila adalah falsafah hidup dan acuan berdirinya negara Indonesia. 

Untuk itulah ajaran Bung Karno mestinya mampu dipahami dengan baik, tidak hanya dijadikan sebagai simbol tetapi mampu dijadikan sebagai langkah untuk berjuang dengan menyelamatkan kaum marhaen. Tidak pula dijadikan sebagai tameng untuk kepentingan politik yang tidak ada keperpihakannya kepada rakyat. 

Budi Prathama