Life in Flux membuat saya tertarik dengan novel ini sejak membaca blurnya. Ditambah dengan covernya yang biru cerah dan ada ilustrasi cupcake, apel, dan minuman.
Saya menebak mungkin cerita di dalamnya berkaitan dengan koki. Ternyata benar, karena ada tokoh pria yang berprofesi sebagai koki yang ingin menarik perhatian sang tokoh utama.
Life in Flux bercerita tentang Lilu yang hidupnya dikelilingi oleh 3 lelaki yang kepribadiannya langsung digambarkan melalui burb-nya.
Ada Balthazar, bos barunya yang tampan, cerdas, stylish, sopan, sangat gentlemen tapi sedikit berkepribadian ganda. Lalu Andrew, sahabatnya yang terlalu platonis, dan Alex, koki dengan orientasi seksual ambigu.
Namun, setelah membaca novel ini secara lengkap, saya merasa deskripsi tokoh di blurb sedikit berlebihan. Balthazar belum bisa dibilang berkepribadian ganda dan Alex tidak bisa dikatakan berorientasi seksual ambigu. Hanya saja, Andrew emang platonis.
Buku ini menggunakan sudut bercerita orang ketiga (PoV ketiga), sehingga terkesan kurang pas dalam penggambaran tokoh-tokohnya.
Namun sesuai blurb, novel ini menyuguhkan romansa komedi di beberapa bagian sehingga membuat saya tertawa dan bikin gereget selama membaca. Hanya saja, genre ini tidak begitu kental.
Ketika membaca Life in Flux membuat saya bertanya-tanya, akhir dari pria yang akan dipilih Lilu di antara ketiga pria itu mengingat wanita ini sempat mengalami kegagalan percintaan.
Membaca buku ini membuat saya untuk lebih awas dalam mengambil keputusan, terutama ketika sedang jatuh cinta.
"Lu, ketika seseorang jatuh cinta, ia cenderung menutup pikiran dari hal-hal yang akan menyakiti mereka. Otak mereka seolah diprogram untuk menerima sinyal-sinyal yang memberikan kesenangan walaupun sinyalnya salah," ucap Dannis (Life in Flux hal. 322).
Saya suka setiap karakter yang digambarkan begitu kuat dan khas. Mereka juga punya cara tersendiri untuk menarik perhatian Lilu.
Namun dari semua hal menarik ini, saya kurang menikmati novel karangan Elma Wolfe ini karena alurnya terlalu lambat alias bertele-tele. Konfliknya juga terkesan dimudahkan. Bisa dibilang, konflik yang ada hanya karena Lilu mengetahui fakta tentang kakaknya, Dean. Selebihnya tidak ada lagi.
Jadi, selama membaca buku 384 halaman terbitan Gramedia Pustaka Utama ini, saya merasa hanya diajak menyelami keseharian Lilu bersama teman-temannya dan tidak ada keseruan di dalamnya.
Baca Juga
-
Tak Hanya Sesama Teman, Saat Guru dan Dosen Juga Jadi Pelaku Bully
-
Kisah Relawan Kebersihan di Pesisir Pantai Lombok
-
Viral Tumbler KAI: Bahaya Curhat di Medsos Bagi Karier Diri dan Orang Lain
-
Ricuh Suporter Bola hingga War Kpopers, Saat Hobi Tak Lagi Terasa Nyaman
-
Budaya Titip Absen: PR Besar Guru Bagi Pendidikan Bangsa
Artikel Terkait
-
Review Anime Machikado Mazoku, Kombinasi Lucu dari Pahlawan dan Iblis
-
Ulasan Novel Bungkam Suara, Dunia Fiksi yang Tak Terlihat di Peta Dunia
-
Ulasan Buku 'Malioboro at Midnight', Kisah Rumit dengan Hadirnya Orang Ketiga
-
Siasat Basi Firli Bahuri Buru-buru Mundur Biar Tak Dihukum, Pernah Dilakukan Saat Masih Jadi Deputi
-
Mundur buat Hindari Sanksi Etik, Novel Baswedan Sebut Pola 'Jahat' Firli Bahuri Terulang Lagi
Ulasan
-
Menyantap Sunyi dalam Novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati
-
Ulasan Buku The Demon of Unrest: Sejarah Kelam Dunia
-
Ulasan Film Qorin 2: Mengungkap Isu Bullying dalam Balutan Horor Mencekam
-
Ulasan Buku "Revenge of the Tipping Point", Kombinasi Psikologi Dunia
-
Review Film Wasiat Warisan: Komedi Keluarga dengan Visual Danau Toba
Terkini
-
Jangan Ketipu Label! 5 Makanan Berkedok Sehat Ini Diam-diam Bisa Bikin Diet Ambyar
-
Sepatu Gubernur Aceh Disorot saat Jemput Prabowo Menuju Lokasi Banjir
-
Siap Comeback, F4 Akan Gandeng Jay Chou dan Ashin Myday
-
Infinix Siapkan Tiga Model Note 60 Series di Indonesia, Bodi Tipis dan Chipset Lebih Kencang
-
Mengapa Taktik Pe-Pe-Pa ala Indra Sjafri Tak Berjalan di Laga Kontra Filipina? Ini Penyebabnya!