Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Haqia Ramadhani
Collage potret Lesty Kejora & Kalis Mardiasih. (YouTube/ 3D Entertaiment & Instagram/ kalis.mardiasih)

Keputusan Lesty Kejora mencabut laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tersangka sang suami, Rizky Billar menimbulkan kekecewaan besar publik. Kendati Lesty Kejora telah membeberkan alasan ia mencabut laporan KDRT Rizky Billar karena anak semata wayang mereka Baby L. 

Ketika berita Lesty mencabut laporan KDRT Billar tengah menjadi perbincangan hangat publik. Video lawas biduan dangdut itu meminta orang tidak mencampuri urusannya viral kembali. 

Dalam video, ibu satu anak itu berpesan pada warganet agar tidak mencampuri hidup orang lain.

"Kalian yang sok tahu ama hidup orang, udah urusin aja hidup kalian sendiri. Kalian bersyukur sama diri sendiri, senengin diri sendiri," kata Lesty Kejora dikutip dari video unggahan akun gosip, Sabtu (15/10/2022).

Video pernyataan Lesty itu menjadi sorotan tajam warganet yang geram dengan keputusannya mencabut laporan KDRT Billar. Berkaitan dengan itu, Kalis Mardiasih sebagai aktivis perempuan angkat bicara. 

Kalis Mardiasih meluruskan mengenai pemikiran apabila KDRT dinilai sebagai urusan pribadi merupakan sebuah mitos.

"Mitos kalau ada yang bilang KDRT urusan pribadi. Itu 100% salah. Sebab KDRT adalah urusan publik," ucap Kalis dikutip Yoursay.id dari unggahan video Instagram pribadinya, Sabtu (14/10/2022). 

Alasan Logis KDRT Jadi Urusan Publik

Kalis Mardiasih angkat bicara soal KDRT urusan publik. (Instagram/ kalis.mardiasih)

Aktivis perempuan ini menjelaskan mengenai alasan-alasan yang membuat KDRT sebagai urusan publik bukan urusan pribadi saja. Pertama, World Health Organization (WHO) menyatakan perlawanan terhadap kekerasan pada perempuan. 

Sebab, 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan yang berdampak pada kematian maupun disabilitas fisik permanen.

"Kalau organisasi-organisasi sedunia aja ikut ngurusin KDRT maka kamu boleh juga boleh ikutan," ucap penulis buku tentang muslimah tersebut. 

Alasan kedua, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sejak tahun 2004. 

"Dalam UU ini dinyatakan KDRT sebagaiui pelanggaran HAM. Kekerasan verbal, psikis, ekonomi, dan kekerasan fisik diatur hukum pidananya," terang Kalis. 

Negara memiliki andil dalam mengurus kasus KDRT karena sudah menyediakan anggaran besar untuk pemulihan korban, korban KDRT yang kehilangan produktivitas dalam kerja dapat menghambat pembangunan, dan anak yang menyaksikan KDRT dapat mengalami resiko kesehatan serius. 

Hal yang mengerikan ketika anak laki-laki menyaksikan KDRT akan berpeluang besar menjadi pelaku  kekerasan di masa depan.

"Anak laki-laki yang menyaksikan KDRT lebih berpeluang dua kali lebih besar untuk menjadi pelaku kekerasan," pungkas pejuang kesetaraan gender itu. 

Haqia Ramadhani