Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Ajeng Sekar
Logo ASEAN

Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah integrasi ekonomi dan perdagangan internasional yang dicanangkan pada tahun 2015 oleh negara-negara anggota ASEAN dan diharapkan menjadi batu pijakan yang memberikan lebih banyak kesempatan perkembangan pasar.

Sesuai dengan cetak biru MEA tahun 2025 yang ditandatangani pada tahun 2015 lalu, terdapat tujuan dan visi MEA yang berdasarkan nilai-nilai MEA yang diharapkan dapat dicapai oleh ASEAN pada tahun 2025, yaitu integrasi dan kohesif, kompetitif, inovatif, dan dinamis, konektivitas sektoral, ketahanan dan inklusivitas dalam konteks komunitas yang semuanya itu terintegrasi dengan ekonomi global.

Dapat kita merefleksikan bahwa nilai-nilai yang dimiliki MEA sebagai bentuk kerjasama ekonomi regional ASEAN, memiliki keunggulan yang dijiwai oleh nilai-nilai yang dimiliki oleh ASEAN. Indonesia sebagai bagian dari ASEAN dan ikut serta dalam MEA diharapkan dapat mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai proyeksi dari adanya integrasi ekonomi regional dan investasi yang diharapkan dapat terjalin.

Dalam dinamika pelaksanaannya, MEA memunculkan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan apakah sebenarnya MEA ini menguntungkan bagi Indonesia atau tidak. Pertanyaan ini diajukan oleh BKPM atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menyatakan bahwa Indonesia perlu menimbang kembali keanggotaan Indonesia dalam MEA karena disebut tidak menguntungkan jika dipandang dari sisi investasi yang masuk ke Indonesia.

BKPM menyebutkan bahwa pada triwulan II 2020, total penanaman modal asing yang masuk ke Indonesia sebesar Rp 97,6 T atau hanya sekitar 50,9% dari total realisasi investasi yang ditetapkan untuk periode tersebut, yang dapat dikatakan menurun sebesar 0,4% dibandingkan periode sebelumnya yaitu Triwulan I 2020. Indonesia dinilai perlu melakukan peninjauan ulang terkait kebermanfaatan keanggotaan MEA bagi Indonesia.

Disandingkan dengan keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa melalui Brexit, Indonesia diharapkan mampu mengambil keputusan yang sama jika menemukan bahwa keanggotaan dalam MEA tidak menguntungkan. Akan tetapi, analogi Brexit tidak dapat dikenakan kepada isu MEA karena ASEAN memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan Uni Eropa. Hal ini yang menjadi pertimbangan Indonesia terkait pertimbangan keuntungan dalam keanggotaan MEA.

ASEAN dasarnya didirikan dengan tujuan non-ekonomis untuk mengakomodasi kepentingan integrasi kawasan Asia Tenggara. Meskipun dalam prinsip dasar yang dideklarasikan melalui Deklarasi Bangkok (1967) terdapat penekanan pada aspek ekonomi, dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) tahun 1976, ASEAN memiliki nilai inti yang menitikberatkan pada aspek keamanan, perdamaian, dan non-intervensi.

Bahkan, pedoman perilaku ASEAN dalam ASEAN Way pada dasarnya memandu negara-negara anggotanya dalam berkonfrontasi, berdiplomasi, berkomunikasi, dan perhitungan trade-off sebagai strategi dalam penyelesaian konflik global (Goh, 2000). Ketika ASEAN Way direfleksikan pada sektor perekonomian, terdapat otentisitas yang kontras antara struktur integrasi ekonomi regional barat dan Asia Tenggara—bukan hanya perhitungan untung-rugi dalam pasar (Davidson, 2004).

Selaras dengan MEA dan pilar-pilar lainnya di ASEAN diinisiasi juga rencana konektivitas ASEAN yang pada dasarnya berkepentingan untuk membentuk instrumen kooperasi regional yang sifatnya “lunak” (Desierto, 2020). ASEAN Connectivity yang merupakan salah satu proyek yang bertujuan mengamplifikasi MEA dan menguatkan perekonomian ASEAN secara inheren menguatkan daya tawar kawasan Asia Tenggara dalam komunitas internasional (Sundram, 2010).

Melalui proyek tersebut, terjadi proses pertukaran pemahaman kultural antar negara dalam menciptakan perdamaian dan harmonisasi penyatuan kawasan. Sama halnya dengan MEA, integrasi ekonomi melalui perdagangan ASEAN bukan hanya didasari oleh penghitungan untung rugi, melainkan juga realisasi sentralitas ASEAN yang lebih memprioritaskan pada inklusivitas integrasi ekonomi dengan keuntungan yang dapat dirasakan secara adil oleh seluruh negara (Andal, 2017).

Merealisasikan tujuan konektivitas dan sentralitas, ASEAN bukan hanya merealisasikan pertumbuhan ekonomi yang signifikan bagi anggotanya, melainkan juga peningkatan timbal balik intra-ASEAN sehingga daya tawar ASEAN terhadap tekanan eksternal dari aktor-aktor hegemon dapat dipertimbangkan (Mueller, 2020).

Berdasarkan analisis di atas, dapat dipahami bahwa latar belakang pembentukan ASEAN bukan hanya didasari tujuan ekonomis dan kalkulasi untung-rugi, melainkan juga aspek-aspek lain yang berkelindan. Meskipun kedepannya Indonesia hanya keluar dari MEA, tindakan Indonesia berpotensi memunculkan sentimen dari negara-negara anggota ASEAN lainnya.

Selain itu, Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam MEA akan kehilangan posisi tawarnya terhadap negara-negara hegemon seperti Cina, Jepang, dan AS. Berbeda dengan kasus Brexit, dasar regionalitas EU adalah integrasi ekonomi dan konsiderasi perdagangan yang lebih menguntungkan bagi anggotanya; sedangkan ASEAN berpedoman pada ASEAN Way yang dibangun dengan prinsip perdamaian, kekeluargaan, dan sentralitas.

MEA dan sektor ekonomi merupakan salah satu pilar yang dibentuk ASEAN untuk mendiversifikasi pola kerja sama untuk menguatkan dependensi regional. Untuk itu, apabila Indonesia keluar dari MEA, Indonesia berpotensi kehilangan kesempatannya untuk memenuhi perannya—sebagai pendiri ASEAN—dalam membangun koherensi ASEAN. Pada akhirnya, untuk mengetahui ketepatan keputusan Indonesia—untuk keluar dari MEA—terbuka kembali pertanyaan apakah Indonesia status quo lebih memprioritaskan keuntungan ekonomis semata atau posisi politiknya dalam komunitas internasional?

Referensi

  • AUD, BAR, (2020, July 22). Tiru Brexit, Bahlil Isyaratkan RI Tinggalkan MEA. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200722150543-92-527673/tiru-brexit-bahlil-isyaratkan-ri-tinggalkan-means
  • Andal, E. G. T. (2017). ASEAN centrality amidst economic integration in the Asia Pacific region. Journal of the Asia Pacific Economy, 22(2), 273-290. doi: 10.1080/13547860.2016.1239394
  • ASEAN. (1967). The Asean Declaration (Bangkok Declaration) Bangkok, 8 August 1967. Retrieved October 2020, from https://asean.org/the-asean-declaration-bangkok-declaration-bangkok-8-august-1967/
  • ASEAN. (1976). Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia Indonesia, 24 February 1976. Retrieved October 2020, from https://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/
  • Davidson, P. J. (2004). The ASEAN way and the role of law in ASEAN economic cooperation. SYBIL, 8, 165.
  • Desierto, D. A. (2020). Pre-Charter and post-Charter ASEAN: Cross-pillar decision-making in the Master Plan for ASEAN Connectivity 2025. In ASEAN Law and Regional Integration (pp. 24-38). Routledge.
  • Goh, G. (2000). The ‘ASEAN Way’: Non-Intervention and ASEAN’s Role in Conflict Management. Pacific Review, 13(3), 113-118.
  • Mueller, L. M. (2020). Challenges to ASEAN centrality and hedging in connectivity governance—regional and national pressure points. The Pacific Review, 1-31. doi: 10.1080/09512748.2020.1757741
  • Sundram, P. (2010). ASEAN connectivity and the ASEAN economic community. 24th Asia-Pacific Roundtable. Kuala Lumpur.
  • Vineles, P. (2017). ASEAN connectivity: Challenge for an integrated ASEAN community. S. Rajaratnam School of International Studies. https://hdl.handle.net/11540/11025.

Ajeng Sekar

Baca Juga